Tubing Rasa Rafting di Sungai Jalin
Sepi, sunyi, tanpa denyut nadi, dan serupa kota mati. Itulah kesan pertama saya menginjakkan kaki di kota Jantho. Belum pernah saya berkunjung ke sebuah kota yang jalanan di pusat kotanya begitu lengang. Belum pernah pula saya berkunjung ke sebuah kota yang senyap tanpa terlihat orang-orang berkeliaran. Hanya satu dua orang sekelebatan. Padahal kota yang satu ini adalah ibukota Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Tak saya sangka sebelumnya, sebuah ibukota kabupaten bisa sehening ini.
Biasanya saya berkunjung ke Jantho untuk menikmati suasana di pinggiran kotanya dimana berjejer rumah makan yang menawarkan suasana lesehan dan pemancingan dengan makanan utama olahan ikan. Saya rasa itu juga tujuan utama dari sebagian orang bepergian ke Jantho di akhir pekan. Ya, saya berkunjung ke Jantho selalu ketika akhir pekan. Dan dari beberapa kali saya berkunjung itu suasana tidak jauh berbeda. Selalu kosong. Tak ada pusat keramaian di kota. Pertokoan pun hanya berupa ruko berderet yang hanya buka beberapa. Aktivitas lain? Hampir tidak ada. Entah ketika hari kerja. Mungkin ramai mengingat di kota ini terdapat pusat perkantoran pemerintah daerah Aceh Besar.
Di balik matinya kota Jantho, ada sesuatu yang istimewa. Yaitu pemandangan alamnya, perbukitan yang sekilas tampak gersang namun berwarna hijau kekuningan. Alih-alih pepohonan rimbun yang mengisi perbukitan itu, rumput dan ilalanglah yang memenuhinya. Perbukitan di sekitar Jantho memang unik. Terlihat kering namun tidak tandus. Terbukti di lembah perbukitan itu masih banyak masyarakat yang bertani padi. Perbukitan itulah yang menarik hati saya.
Kisah petualangan saya dengan tim Pelagisindo setelah dari Sampoiniet berlanjut di belantara perbukitan Jantho ini. Hari pertama di tahun 2013 saya diajak Mas Tardi, pemilik Pelagisindo, untuk melakukan sedikit survey lokasi yang akan dipakai untuk tubing. Menaiki sebuah motor trail, kami berdua boncengan menelusuri jalanan berbatu kerikil di sekitar perbukitan untuk mencari aliran sungai. Sungai Jalin namanya. Sungai yang melewati gampong Jalin di Jantho ini bermuara menjadi satu dengan Krueng Aceh di Selat Malaka. Berbekal GPS, Mas Tardi menandai 2 titik yang nantinya akan menjadi garis awal dan akhir tubing. Melihat aliran sungai Jalin yang cukup deras membuat saya tak sabar untuk segera melakukan tubing.
“Panjang track yang akan kita arungi nanti 15 km ya”, ujar Mas Tardi ketika menjemput kami pada hari minggu (6/1). Berapa lama itu mengarungi sungai sepanjang 15 km menggunakan ban? Saya bertanya-tanya dalam hati. Kali ini saya, Hanung dan istri, serta Bang Fauzan yang ikut tubing ke Jantho. Dari Pelagisindo membawa awak Mas Tardi, Bang Adi sebagai sopir labi-labi, dan Bang Ari Tanoga, anggota Mapala Leuser Unsyiah, yang bertugas sebagai skipper pada waktu tubing.
Sesampai di Jantho, 2 rangers hutan bergabung. Lokasi start tubing kali ini adalah dari sebuah jembatan yang berangka besi dan berlandaskan kayu yang berada di antah berantah perbukitan Jalin. Ban kami turunkan dari labi-labi dan mulai dipasang bergandengan. Berbeda dengan tubing di Sampoiniet yang setiap ban dilepas sendiri-sendiri, dengan alasan belum tahu medan, kali ini 3 buah ban kami satukan bergandengan. Jaket pelampung khusus rafting sudah kami pakai, di tangan kami sudah terpegang sebuah dayung, dan helm juga sudah terpasang erat di kepala kami ketika Bang Ari Tanoga melakukan briefing singkat.
“Jaket pelampung harus dipasang dengan kencang dan ketat biar tidak lepas kalau kita terseret air. Kalau saya nanti bilang maju, kita semua harus mendayung maju. Kalau mundur, kita semua mendayung mundur. Kalau saya bilang boom, menunduklah dan lindungi kepala kalian”, Bang Ari Tanoga memberikan beberapa instruksi yang langsung kami jawab dengan seruan semangat.
Melihat aliran sungai Jalin yang lebih deras daripada aliran sungai di Sampoiniet membuat saya deg-degan. Ban sudah berada di air. Saya naik di ban depan bersama Mas Tardi. Hanung dan istrinya di ban tengah. Bang Fauzan dan Bang Ari Tanoga di ban belakang. Kami mulai mendayung maju menuju aliran air yang deras. 2 rangers dengan masing-masing membawa 1 ban kecil mengikuti tubing di belakang kami. Agak kagok memang bagi saya yang seumur-umur belum pernah mendayung perahu. Apalagi dengan ban yang susah sekali dikendalikan.
Dan terjadilah hal yang tidak diinginkan, ban menabrak semak yang tumbuh di tengah sungai. Sontak saya dan Mas Tardi yang berada di depan langsung terlempar dari ban. Saya terseret ke aliran air yang lebih deras tepat sebelum sungai berbelok. Mas Tardi, yang tidak terlalu jauh terseret air, langsung bisa menguasai keadaan. Dia sudah berdiri dengan menahan tubuh agar tidak terseret air. Sedang saya, karena berada di aliran yang lebih deras, berdiri saja tidak mampu. Saya berlutut dan tetap mencoba menahan tubuh agar tidak terseret arus. Berat sekali rasanya melawan arus untuk menuju ke tepi sungai yang hanya berjarak 4 meter. Lutut saya tergores batu. Saya jadi panik. Mas Tardi yang tadinya cukup tenang, melihat saya panik, jadi terpengaruh juga. Kejadiannya begitu cepat. Teman-teman yang berada di atas ban sudah jauh meninggalkan kami ikut derasnya arus.
Beruntung Bang Adi masih berada di atas jembatan lengkap dengan labi-labinya. Mas Tardi pun berteriak meminta tali. Bang Adi tergopoh datang membawa tali. Tapi antiklimaks. Tali yang dibawa dilemparkan ke sungai begitu saja. Useless. Kami tidak bisa meraih talinya. Dalam keadaan sudah tidak kuat bertahan di aliran sungai berarus itu, akhirnya saya menyerah. Saya melemaskan diri dan mengikuti aliran air membawa saya kemana. Saya berpikir akan menepi di bagian lain sungai yang airnya tenang. Sekitar 15 meter setelah belokan sungai, aliran air melambat. Di tepi kanan, saya lihat teman-teman lain menunggu. Andai tahu kalau mereka menunggu di sini, saya tak akan panik dan sudah dari tadi saya menghanyutkan diri. Tak berapa lama, Mas Tardi pun menghanyutkan diri dan bergabung dengan kami.
Perjalanan kami lanjutkan. Kali ini ban yang dinaiki Bang Fauzan dan Bang Ari Tanoga berada di depan. Pertimbangannya ban mereka lebih besar dan lebih stabil jika berada di depan. Badan saya bergetar di belakang. Pun dengan Mas Tardi. Saya bergetar karena masih shocked dan kehilangan tenaga akibat kejadian sebelumnya, sedangkan Mas Tardi bergetar karena kedinginan. Maklum, Mas Tardi memang berperawakan kurus.
Tidak lama kami sudah bisa menguasai medan. Di jeram yang berikutnya, ban terbalik lagi. Tapi saya sigap memegang tali dan tetap berada di ban. Kejadiannya juga berlangsung begitu cepat. Hanung dan istri hanyut. Bang Fauzan juga hanyut. Bang Ari Tanoga sibuk mengarahkan ban mendekat ke teman-teman yang hanyut. Sebagai skipper, memang Bang Ari Tanoga ini sangat cekatan.
Tawa kami tergelak usai berkumpul kembali. Pengalaman yang seru. Suasana tegang sudah mencair. Sedikit mengevaluasi, yang membuat ban susah dikendalikan ternyata adalah posisi ban yang ditali memanjang menjadi satu. Apalagi talinya pun tidak terlalu kencang sehingga antara ban satu dengan yang lain suka tidak sinkron apabila berada di arus kencang. Kami lalu mengubah susunan ban melingkar menyerupai logo merk semen terkenal.
Setelah mengencangkan ban, perjalanan kami lanjutkan. Dengan posisi ini, saya yang berada di tengah jadi tidak bisa mendayung. Dan terbukti, dengan susunan ban yang melingkar ini kami menjadi lebih stabil. Bahkan ketika melewati arus yang lebih kencang daripada sebelumnya pun bisa kami lewati tanpa terlempar dari ban.
Ketegangan muncul kembali ketika Bang Ari Tanoga memperingatkan tentang undercut rock. “Undercut adalah jenis jeram yang arusnya menggulung ke dalam. Lihat cerukan di bawah batu itu. Cerukan itu berisi arus yang kencang. Dan apabila kita terseret ke sana, akan sangat susah untuk keluar. Arus seperti itu berbahaya”, Bang Ari Tanoga menjelaskan. Dengan kekompakan yang sudah muncul dan instruksi Bang Ari Tanoga yang jitu, kami berhasil melewati arus undercut tanpa kesulitan berarti. Yay!
Ada kalanya arus sungai cukup tenang sehingga kami bisa bermain air untuk membasahi tubuh. Memang siang itu cuaca cukup terik. Pemandangan di sepanjang sungai tidak melulu semak ilalang gersang. Perkebunan rakyat seperti kebun karet, kemiri, dan sawit juga berderet. Di bagian yang lebih jauh, tepian sungai masih berupa hutan heterogen yang tampak masih perawan. Ternyata bumi Jantho ini kaya. Kekayaan yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Hanya tampak kegiatan tambang galian C dari truk dan excavator atau alat pengeruk tanah yang mengambil material dari sungai berupa pasir, batu, dan kerikil. Pemanfaatan yang merusak. Kami miris. Keindahan alam yang kami saksikan ternoda dengan tanah berdebu yang berlubang besar dan air yang keruh akibat kegiatan pertambangan itu.
Ada kalanya kami bersorak girang melihat rombongan sapi dan kerbau yang menyeberangi sungai. Mendengar sorakan kami, sapi dan kerbau itu pun mempercepat langkah mereka. Ada kalanya aliran sungai becabang menjadi 2 atau 3. Kami yang mulai haus tantangan selalu memilih cabang yang arusnya kencang. Ada kalanya pula aliran air terlalu dangkal. Alhasil membuat kaki terantuk bebatuan di dasar.
3 jam berlalu, dan kami sudah mendekati titik akhir dari jalur sepanjang 15 km ini. Di sana sudah menunggu Bang Adi lengkap dengan labi-labinya terparkir di pinggir sungai. Menjelang akhir, kami semua menceburkan diri di sungai dan mengikuti kemana arus membawa kami. Rasanya lega dan segar.
Kembali, Pelagisindo tidak mengecewakan saya. Petualangan kali ini tetap beyond my expectation. Usai petualangan berakhir, semua berwajah ceria. 2 rangers yang tubing sendiri dengan ban kecil pun tampak sangat menikmati harinya. Bahkan Bang Ari Tanoga pun bergumam, “Kalau kita tadi pakai perahu rafting, tidak akan terasa petualangannya. Rafting menggunakan ban ternyata cukup menantang”. Hahaha.. Benar kan, ini adalah tubing rasa rafting! Next time, kita harus rafting beneran! 😀
Pengen nyoba deh. Ada no telpnya gak ya?
SukaSuka
Ini contact person-nya, Mas Tardi 08126957885
SukaSuka
Ini ceritanya Tubing Hybrid ya,ri. Aku sih udah kapok ikut tubing lagi ah. Walaupun masih pengen, tapi ya sadar diri aja udah pernah mau mati.
Btw, dari Banda Aceh ke Jantho berapa lama perjalanannya,ri?
SukaSuka
Banda Aceh ke Jantho sekitar 1 jam Koh. Kalo ngebut bisa deh 35 menit. Ini yang kemaren aku juga udah hanyut hampir mati juga kok. Tapi tetep belum kapok dong. Hahaha..
SukaSuka
Reblogged this on simple thing here… and commented:
saya jadi bagian dari kisah ini lhooo… 🙂
SukaSuka
seneeeengg jadi bagian dari kisah ini,, sempet ber”hap-hap” dia dan mengorbankan tulang ekor yg sampe hari ini masih terasa sakit, tetep aja ketagihaaaann.. dan yeay,,,,, saya sukses mereblog.. 😀
SukaSuka
Walah.. punya blog juga rupanya.. Dan aku salut sama sampeyan. Perempuan tahan banting. Hahaha.. :p
SukaSuka
haha punya blog mung nggo nduwen2 ae kok mas,, 🙂 kyaaaa,,, sebutan macam apa ituh,, >.<
SukaSuka
Wah, enaknyaaa……kapan musti nyobain ni
SukaSuka
Ayo bang.. Aku juga mau nyobain lagi kok 😀
SukaSuka
Kalau pakai kemping seru juga ya Mas ari? ketempat yg Bang Fauzan pampang potonya di BB.. xixixiii #komporbledug
*terimakasih Untuk Mas Ari yang sudah memuat dua tulisan tentang perjalananya dengan Pelagisindo Tour & Travel, semoga perjalananya terus berlanjut bersama kami.
salam
SukaSuka
Tenang mas. Aku juga masih ngiler kok sama paket wisata yang ke Ketambe itu :p
SukaSuka
mungkin karena sering diasah ya, tulisanmu dari posting ke posting jadi lebih enak dibaca. yang ini aku suka banget. jadi mikir, sebenarnya di Jawa sungai kayak gini banyak ya, tapi pas aku rafting, kenapa di poto airnya buthek mulu ya? 😥
SukaSuka
Waahhh.. Makasih Di. Jadi makin semangat nge-blog nih kalau ada yang muji begini. Hahaha.. 😀
Soal sungai butek, kalau di sini gak dirawat juga bakalan jadi butek kok. Ini karena masih belum banyak eksploitasi aja makanya masih bening airnya
SukaSuka
Huaaa asyik bangett… Ban-ban cuma diiket aja pake tali, ini asli uji adrenalin 1000% hehehe…
Dari kota Aceh menuju Jantho jauhkah jaraknya?
SukaSuka
Emang asyik banget kok Mas. Jarak Banda Aceh ke Jantho sekitar 60-70 km deh kayaknya. 1 – 1,5 jam berkendara lah
SukaSuka
Catet di note Aceh dulu…..Wajib hadir di Jantho 😀
SukaSuka
Tapi di Jantho sepi bgt lho Mas. Kalau mau aktifitas tubing atau mungkin bicycling di Jantho ya hubungi aja Pelagisindo. Biar disediain peralatan buat tubing dan bicycling-nya. Relatif murah kok biayanya.
SukaSuka
Oh iya ya lagi nyadar…kalo brankat ke sana tanpa operator tubing kan ya cuma melongo ajah di Jantho, hehe…
Info penting…hubungi Pelagisindo en siap uang yg cukup 🙂
SukaSuka
krueng (sungai) di Aceh Besar beberapa titik memang telah terlihat dampak galian C, jangan sampai nanti terus menerus digerus ya sehingga hilang kenikmatan berwisata seperti tubing itu. Dulu sempat mencari hulu krueng Aceh dan sampai ke Indrapuri, hanya terhitung beberapa tahun air sungai hilang drastis.
SukaSuka
Oh iyaa.. Aku pernah menyusuri sungai yang di Indrapuri, Krueng Jrue kalau gak salah, sudah jelek karena galian C. Sedih memang 😦
SukaSuka
kayaknya aslinya lebih menyeramkan daripada fotonya 😀
SukaSuka
Hahaha.. awal-awal doang Hen. Abis itu fun banget kok.
SukaSuka
you should try to climb seulawah agam mountain, only 7 hours :))
SukaSuka
I will! 😀
SukaSuka
Ping balik: White-water Rafting in Maine « The Science of Life
Ping balik: Weekend Escape: Camping, Somewhere in Jantho | The Science of Life
hoaaaa… aku ga berani yang begituan ari
SukaSuka
Aku aja kalau disuruh ngulang mikir-mikir kok Za. Hahaha..
SukaSuka
aku pengen lagi padahal. 😥
SukaSuka
Ping balik: Rangkuman Perjalanan 2013 | The Science of Life
Ping balik: Eat, Tour, and Doing Activity With Locals | The Science of Life