Jurnal Perjalanan: Dieng (Day 1)


Sebenarnya agak impulsif juga perjalanan ke Dieng pertengahan November kemarin. Berawal dari kepastian saya melakukan perjalanan dinas ke kota Yogyakarta, keinginan untuk traveling setelah urusan dinas tersebut selesai mendadak membuncah. Rencana awal saya ingin ke kota Solo dan sekitarnya, ingin mengunjungi Candi Sukuh dan Candi Cetho (sumpah penasaran banget saya sama kedua candi ini). Namun akhirnya saya kalah dengan iming-iming seorang kawan yang mengajak ke Dieng bermotor ria dari Semarang.

Sabtu, 19 November pagi selepas subuh kami mulai berangkat menuju Dieng. Estimasi perjalanan sekitar 4 jam. Rute yang kami lalui adalah Semarang-Ambarawa-Temanggung-Wonosobo-Dieng. Perjalanan Semarang-Ambarawa karena sudah sering sekali saya lewati, tidak terlalu menarik perhatian saya. Baru ketika perjalanan menuju Temanggung-Wonosobo-Dieng yang pertama kali saya lewati saat itu mulai menarik perhatian saya. Pemandangan hamparan hijau sawah padi terlihat sepanjang perjalanan menuju Temanggung. Begitu melewati Temanggung menuju Wonosobo, udara mulai terasa dingin dan view menakjubkan dari gunung Sumbing dan Sindoro mulai terlihat. Bagi saya yang baru pertama kali kesana, memang agak susah membedakan yang mana gunung Sumbing dan yang mana Sindoro. Tak jadi soal ketidakmampuan saya mengidentifikasi mana Sumbing dan mana Sindoro, yang pasti pesona lembah gunung Sumbing dan Sindoro mampu membius saya. Ada kalanya di perjalanan kami takjub dengan besarnya gunung (yang saya yakin Sindoro.. atau Sumbing? errr…) yang berada tepat di depan kami. Adrenalin terpacu seiring dengan laju motor yang kencang membuat kami bergairah untuk sampai di ujung jalan yang sepertinya berujung di sebuah gunung besar itu.

Sekitar pukul 9.30 kami sampai di Dieng. Langsung menuju ke Penginapan Bu Jono yang kebetulan sudah saya pesan 1 kamar untuk bermalam. Setelah beristirahat sejenak dan menghangatkan badan dengan segelas jahe hangat (welcome drink dari Penginapan Bu Jono nih.. hehe), kami langsung explore tempat-tempat menarik yang tidak jauh dari penginapan. Ternyata di Dieng, jarak antara tempat wisata satu dengan tempat lain tidak terlalu jauh.

Komplek Telaga Warna dan Telaga Pangilon

Telaga Warna

Telaga Pangilon

Walaupun cuaca mendung ketika kami sampai di tempat ini, kami tetap menikmati suasana indah dan magis yang ditawarkan oleh Telaga Warna. Ditambah dengan datangnya kabut tipis menambah suasana menjadi seolah penuh misteri. Konon, Telaga Warna ini mempunyai beberapa warna air seperti kuning, hijau, biru, dan beberapa warna lain. Tapi yang terlihat saat itu hanya warna hijau keputih-putihan. Tahu kisah Jaka Tarub yang mencuri selendang seorang bidadari khayangan yang sedang mandi bernama Nawang Wulan? Konon, tempat Jaka Tarub mencuri selendang itu ada di Telaga Warna. Berdampingan dengan Telaga Warna, ada Telaga Pangilon. Keistimewaan telaga ini ada pada airnya yang sangat jernih. Saking jernihnya bisa untuk bercermin (ngilo -bahasa jawa-). Walaupun hujan gerimis mulai turun, kami tetap melanjutkan menuju komplek gua yang berada di antara Telaga Warna dan Pangilon. Ada 3 buah gua, yaitu Gua Semar, Gua Jaran, dan Gua Sumur. Ketiga gua tersebut sering digunakan sebagai tempat semedi. Menurut cerita, 2 orang almarhum mantan Presiden kita, Pak Karno dan Pak Harto dikabarkan pernah melakukan semedi disana. Bahkan, penyanyi terkenal Mayang Sari pun konon pernah juga melakukan semedi disana. Tidak heran, suasana di komplek gua tersebut saya rasakan agak mistis.

Dieng Volcanic Theater

Inside Dieng Theater

Dikarenakan hujan gerimis yang tak kunjung reda, kami memutuskan untuk ke Dieng Volcanic Theater, yaitu tempat pemutaran film tentang Dataran Tinggi Dieng, dengan tujuan sambil nonton film sekalian berteduh dari hujan. Dieng Volcanic Theater dari Telaga Warna bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik kendaraan. Kami memilih jalan kaki menaiki tangga dan sedikit mendaki bukit selama sekitar 10 menit untuk mencapai Theater tersebut. Jika ingin mengetahui secara lengkap sejarah dan deskripsi tentang Dataran Tinggi Dieng, silakan menonton film berdurasi sekitar 30 menit yang diputar di Dieng Volcanic Theater itu. Kapan pun kawan-kawan sampai sana, langsung diputarkan film-nya, tidak perlu menunggu kursi theater penuh.

Kawah Sikidang

Kawah Sikidang

Air lumpur menggelegak di Kawah Sikidang

Memang beresiko kehujanan kalau datang ke Dieng ketika musim hujan. Tapi untungnya saya sudah cukup persiapan, membawa jas hujan. Selama di Kawah Sikidang, sambil menghirup dinginnya udara, menghindari asap tebal belerang, dan memanjakan mata melihat putihnya kabut, saya memakai jas hujan. Kawan saya terpaksa menyewa payung untuk jalan-jalan disana. Kawah Sikidang adalah salah satu dari banyak kawah yang ada di Dieng. Karena paling mudah dicapai oleh para wisatawan, menjadikan Kawah Sikidang ini kawah paling terkenal dan paling banyak dikunjungi di Dieng. Jangan lewatkan mengunjungi kawah dengan air lumpur yang menggelegak dan asap belerang yang menyengat ini jika mengunjungi Dieng.

Komplek Candi Arjuna

Komplek Candi Arjuna (dari kiri ke kanan: Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra)

Setelah menghangatkan diri dengan wedang jahe (gak berani minum purwaceng, bahaya kalo gak ada pelampiasan. Haha.. ), mie rebus, dan kentang goreng di parkiran Kawah Sikidang, kami melanjutkan ke lokasi wisata lain di Dieng. Berbekal peta buta yang dikasih sama Mas Didik (karyawan Penginapan Bu Jono) sampailah kami di komplek Candi Arjuna. Hujan makin deras mengguyur membuat saya tetap ber-jas hujan ria dan kawan saya menyewa payung lagi. Dikelilingi perbukitan dan lahan pertanian kentang milik penduduk komplek Candi Arjuna terlihat eksotis dari kejauhan. Menyusuri jalan setapak sambil merasakan hawa dingin menyumsum kami mendekat ke arah komplek candi. Di komplek Candi Arjuna ada 5 buah candi yang berdiri tegak. Berurutan dari selatan ada Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Ada 1 buah candi lagi yang berhadapan dengan Candi Arjuna, yaitu Candi Semar. Kumpulan candi ini diperkirakan dibangun pada akhir abad 8 sampai dengan awal abad 9 dan diduga sebagai candi tertua di Jawa. Di komplek candi ini juga di waktu tertentu digunakan sebagai tempat untuk upacara ruwatan anak berambut gimbal. Ada beberapa komplek candi lagi sebenarnya selain Candi Arjuna ini, yaitu Candi Bima, Candi Gatotkaca, dan Candi Dwarawati, namun tidak semua bisa kami kunjungi karena hari sudah menjelang maghrib.

Menjelang malam, hujan masih rintik-rintik membasahi bumi Dieng, dan saya memberanikan diri mandi tanpa memakai air hangat. Busyet, dingin sekali. Air es yang paling dingin yang pernah saya minum saja kalah sama dinginnya air di Dieng. Usai maghrib, saya dan kawan saya lengkap dengan jaket tebal dan penutup kepala bersiap menonton pertandingan semifinal Sea Games Indonesia melawan Vietnam sambil makan nasi goreng telur khas Penginapan Bu Jono. Sambil makan malam, kami ngobrol sama Mr. John, seorang Traveler dari Belgia. Ngobrol apa aja, mulai dari pengalaman dia traveling kemana-mana sampai ngomongin Pajak. Penginapan Bu Jono semakin rame ketika menjelang babak pertama sepakbola usai ada para pecinta Vespa yang baru saja sampai Dieng setelah konvoi dari Semarang. Hari pertama di Dieng yang sangat menyenangkan. Karena esok pagi harus bangun subuh untuk menyapa matahari terbit di gunung Sikunir, akhirnya saya tidur sebelum pertandingan bola selesai.