Wisata Alam: Pusat Latihan Gajah Saree


Gajah merupakan binatang yang tidak asing lagi bagi masyarakat Aceh. Selain karena populasi gajah yang cukup banyak di tanah rencong ini, gajah juga tidak bisa dipisahkan dalam sejarah Aceh. Saya yang awalnya kurang tahu tentang sejarah Aceh sedikit tergelitik untuk mengetahui tentang sejarah Aceh, ada arti penting apa sampai-sampai gajah menjadi lambang atau simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Iskandar Muda. Setelah membaca pelbagai artikel, akhirnya saya menemukan jawabannya. Pada masa kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, menurut catatan sejarah, Aceh memiliki kurang lebih 40.000 pasukan gajah yang terlatih. Sultan Iskandar Muda sendiri dikabarkan memiliki tunggangan pribadi seekor gajah putih. Bahkan konon, Aceh juga memiliki sebuah tempat dimana gajah sebagai armada militer pada saat itu berkumpul. Tempat itu dinamakan Pulau Gajah yang menurut catatan sejarah berada di tengah sungai atau Krueng Aceh. Sekarang, tempat itu menjadi markas Kodam Iskandar Muda sampai dengan belakang Hotel Medan. Saya sendiri pernah mengunjungi daerah itu, dan memang ada sebuah plakat yang menyebutkan dahulu disana adalah Pulau Gajah.

Lokasi Pusat Latihan Gajah Saree

Kalau dulu ada tempat seperti Pulau Gajah, sekarang ada juga tempat yang tidak jauh dari Banda Aceh yang digunakan sebagai tempat berlatihnya gajah. Bukan sebagai armada militer, tapi gajah sekarang dilatih untuk kepentingan lain. Misalnya untuk mengusir dan menghalau gajah-gajah liar yang membahayakan penduduk di sekitar hutan. Tempat itu bernama Pusat Latihan Gajah Saree. Diawali dengan rasa penasaran ingin melihat secara langsung gajah Aceh di pusat pelatihan, suatu akhir pekan yang cerah saya dan seorang kawan bermotor ria menuju daerah Saree, Aceh Besar. Lokasi Pusat Latihan Gajah Saree ada di Jalan raya Banda Aceh-Medan sebelum pegunungan Seulawah, sekitar 75km dari Banda Aceh. Atau lebih tepatnya sesaat sebelum Rumah Makan Gajah Indah, yaitu rumah makan yang sering digunakan sebagai tempat peristirahatan mobil-mobil penumpang L300 antar kota di Aceh.

Relatif masih pagi kami sampai disana. Tanpa plang ataupun tulisan lain yang menunjukkan bahwa disitu lah Pusat Latihan Gajah berada, kami nekat masuk melalui sebuah gapura. Sampai di dalam pun masih belum yakin juga, apakah benar ini tempatnya. Sepi. Jangankan gajah, orang saja tidak ada. Hanya sebuah pondok kecil yang bertuliskan sesuatu tentang perawatan gajah (saya lupa apa bunyi tepatnya tulisan itu), sebuah kubangan air, dan sebuah lahan lapang berumput yang cukup luas dikelilingi dengan pepohonan dan semak belukar yang saya temukan disana. Saya memperhatikan sekeliling. Dan ternyata di kejauhan, dekat dengan pepohonan, saya melihat sesosok gajah besar dengan gading cukup panjang sedang asyik menikmati rerumputan dan dedaunan sebagai sarapan paginya. Saya ragu untuk mendekat. Tidak tahu bahaya atau tidak kalau saya dekati. Tak lama, dari balik pepohonan yang ternyata adalah hutan yang cukup lebat, ada 2 ekor gajah, 1 gajah dewasa dan 1 gajah kecil, keluar menuju tempat saya berdiri. Kedua gajah itu tak sendiri. Ada 2 orang yang duduk di punggungnya. Oh, ini mungkin para pelatih atau pawang gajah yang bekerja disini.

Gajah dan pawangnya keluar dari dalam hutan

Gajah besar sedang menikmati sarapan

Kami pun menghampiri mereka. Ternyata gajah-gajah itu baru saja dimandikan oleh para pawangnya. Dan sekarang waktu makan pagi. Karena gajah dewasa bersama pawangnya menjauh dari kami, akhirnya kami bermain-main dengan si gajah kecil (bukan Bona namanya! :p). Amoy, itu nama si gajah kecil ini. Amoy yang berumur 3 tahun itu sudah sangat jinak. Tak lama, selain kami, ada juga pengunjung lain. Seorang ayah bersama seorang gadis kecilnya. Melihat Amoy yang terlatih itu beratraksi mengikuti perintah pawangnya, si gadis kecil itu tertawa. Tapi ketika si gadis kecil didekatkan ke Amoy, sontak gadis kecil itu menjerit takut. Tampaknya gadis kecil itu ketakutan berdekatan dengan Amoy. Pertunjukan kecil standar yang dilakukan oleh Amoy dan sang pawang cukup menghibur kami. Atraksinya antara lain duduk, naik ke kursi, dan makan pisang. Bahkan saya pun ikut memberi makan Amoy.

Atraksi naik kursi si Amoy

Amoy makan pisang

Dari hasil ngobrol dengan pawangnya, ternyata gajah-gajah yang ada di Pusat Latihan Gajah Saree ini kebanyakan dulunya adalah gajah liar yang tidak bisa diatur yang berasal dari hutan-hutan di Aceh seperti Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Aceh Utara. Gajah liar yang sudah mulai merusak lahan pertanian atau perumahan penduduk kebanyakan langsung ditangkap dan dilatih disini. Jangan kira proses latihannya enak ya. Proses latihannya sangat menyiksa bagi gajah-gajah tersebut. Pertama-tama gajah tidak diberi makan dan minum sampai beberapa lama. Setelah itu untuk melatih gajah agar menjadi penurut, dibiasakan dengan cara menyakiti gajah menggunakan suatu alat semacam palu yang ujungnya lancip seperti paku. Bahkan ketika sudah jinak pun pawangnya masih membawa alat tersebut yang digunakan untuk mengontrol si gajah. Sedih saya mendengar ceritanya. Tapi ya mau bagaimana lagi, daripada merugikan penduduk dan mengancam nyawa para gajah kan lebih baik dilatih biar berguna bagi masyarakat.

Setelah gajah-gajah tersebut menjadi terlatih, hal yang paling sering menjadi tugas mereka adalah menghalau dan mengusir gajah-gajah liar yang masih hidup di hutan yang mulai mengganggu penduduk sekitar. Selain itu gajah-gajah yang sudah terlatih ini juga bisa membantu penjaga hutan dalam menjaga upaya konservasi dari penebangan liar. Konon kabarnya, ketika tsunami di Aceh tahun 2004 lalu juga para gajah diikutsertakan dalam membantu evakuasi. Bahkan kata pawangnya, ada beberapa gajah yang disewakan sampai ke Jawa untuk keperluan akrobat sirkus, pasar malam, dan bermain bola. Kalau untuk di Aceh sendiri, yang pernah saya lihat beberapa kali, gajah-gajah terlatih ini sering diikutkan dalam upacara-upacara atau acara kebangsaan dan upacara adat, misalnya pada tahun 2010 lalu ketika acara ulang tahun Kodam Iskandar Muda sekaligus atraksi kebudayaan Tari Saman pemecahan rekor MURI sebagai rekor dunia Tari Saman dengan peserta terbanyak juga mengikutsertakan seekor gajah. Si gajah bukan sebagai peserta Tari Saman tentunya, tapi untuk memeriahkan acara saja.

Setelah asyik ngobrol seru dengan pawang, kami ditawari untuk berkeliling area Pusat Latihan Gajah dengan naik gajah. Tanpa berpikir lama, kami terima tawaran itu. Ini pertama kali pengalaman saya naik gajah. Aneh rasanya. Tidak senyaman seperti naik kuda. Beberapa kali rasanya hampir jatuh ke tanah. Entah karena posisi duduk saya yang salah atau memang karena tidak terbiasa, benar-benar tidak nyaman rasanya. Bergoyang-goyang tiap si gajah melangkahkan kakinya. Dan ternyata setelah berkeliling, saya baru tahu kalau jumlah gajah disana lumayan banyak juga. Memang, tidak mencapai puluhan sih. Atau paling tidak cuma itu yang saya lihat. Mungkin di dalam hutan masih banyak lagi.

Saya ditemani seorang pawang bersiap berkeliling naik gajah

Setelah puas bermain-main, foto-foto, dan menaiki gajah, kami memutuskan untuk berpamitan. Sang pawang menawarkan lagi kepada kami untuk foto dibawah gajah. Err… Untuk kali ini sepertinya saya lewatkan saja. Emang sih gajahnya sudah jinak. Tapi kalau tiba-tiba tidak mau nurut dan saya didudukin kan resiko juga. Saya belum siap digencet gajah soalnya. Hehehe.. Setelah memberikan tips sekedarnya dan mengucapkan banyak terimakasih, akhirnya kami pulang. Benar-benar pengalaman baru bagi saya. Kapan-kapan lagi ahh… Ada yang mau ikut?

Oh iya, sebagai informasi dari yang saya baca di sebuah artikel, populasi Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) di Aceh hanya tinggal 540 ekor dari kurang lebih 2000 ekor gajah Sumatra keseluruhan. Menurut Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, ancaman utama bagi para gajah ini adalah dari perburuan gading, konflik dengan penduduk setempat, pembangunan jalan dan pemukiman serta pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang telah mendesak habitat gajah dan memaksa gajah untuk berburu pakan lebih dekat dengan wilayah pemukiman, yang kadang-kadang berujung pada kematian mereka disebabkan oleh keracunan. Semakin sedih saya mengetahui hal itu.  Jangan biarkan gajah Sumatra punah. Apakah rela jika anak-anak dan cucu kita nanti hanya bisa mendengar tentang cerita kepahlawanan pasukan gajah Aceh dari catatan sejarah tanpa bisa melihat secara langsung bagaimana sosok kuat hewan darat terbesar di dunia ini? Sekarang tinggal bagaimana kita, maukah kita berbagi planet dengan spesies lain, dalam hal ini, gajah?