Resensi Buku: Bekisar Merah


Hal yang paling saya suka dari karya sastra seorang Ahmad Tohari adalah tema-tema sederhana tentang masyarakat lapisan bawah beserta kompleksitas kehidupan mereka. Kental dengan budaya Jawa, lebih tepatnya, membuat saya, yang memang lahir dan tumbuh di Jawa, merasa tak berjarak dengan karakter-karakter dalam beberapa karya sastranya yang pernah saya baca. Paling tidak, itu yang saya rasakan ketika saya membaca Bekisar Merah.

Awalnya hidup Lasi bahagia, walaupun hanya menjadi istri dari seorang penyadap nira di sebuah kampung pedalaman bernama Karangsoga. Kesibukannya tiap hari adalah mengolah nira hasil panen suaminya menjadi gula kelapa. Walaupun jauh dari kecukupan, hidup bersama seorang yang sangat dicintai adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi Lasi. Bahkan, ketika suatu kecelakaan membuat Darsa, suami Lasi, tidak mampu memberikan nafkah lahir dan batin, Lasi tetap setia. Namun, kesetiaan itu mendapat ujian.

Tak tahan dengan pengkhianatan Darsa, Lasi minggat. Dengan menumpang truk muatan barang, sampailah dia di pinggiran ibukota. Takdir mempertemukan Lasi dengan Bu Lanting. Seorang kaya yang memperlakukan Lasi dengan istimewa. Bukan tanpa alasan. Aturan yang selama ini diyakini Lasi kebenarannya mulai terbukti. Aturan bahwa tak ada pemberian tanpa menuntut imbalan. Dan siapa mau menerima harus mau pula memberi. Bu Lanting menjual Lasi kepada Pak Han, seorang konglomerat ibukota.

Sejak saat itu hidup Lasi tak ubahnya seekor bekisar, unggas cantik yang sering menjadi hiasan rumah orang kaya. Dengan kemewahan hidup sekarang, Lasi yang merupakan keturunan Jepang dan berparas ayu, tidak juga merasakan kebahagiaan. Harapan melepaskan diri dari belenggu Pak Han muncul ketika Lasi bertemu dengan Kanjat, sahabat masa kecilnya.

Itulah sekilas plot cerita yang ada dalam novel ini. Kelebihan lain dari Ahmad Tohari adalah selalu memasukkan isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat pada waktu itu, bahkan masih terjadi sampai sekarang. Kali ini, Ahmad Tohari melempar isu kemiskinan yang dialami oleh para petani gula kelapa. Kemiskinan yang berbanding terbalik dengan keadaan para tengkulak dan pedagang besar. Bukan permasalahan tanpa solusi yang coba diungkapkan sang penulis. Solusi ditawarkan dalam sosok karakter Kanjat. Seorang terpelajar yang giat dalam kegiatan kemasyarakatan dalam upaya memperbaiki kehidupan petani gula kelapa. Mengingatkan saya pada karakter Insinyur Kabul dalam karya lain Ahmad Tohari, Orang-orang Proyek. Ber-setting awal tahun 90-an tidak mengurangi keasyikan membacanya di masa sekarang. Toh isu kemiskinan juga masih terjadi sekarang, kalau tidak bisa dibilang lebih buruk.

Seperti karya-karya Ahmad Tohari yang lain, Bekisar Merah adalah sebuah masterpiece. Bukan hanya karya sastra, tapi juga merupakan kritik-kritik sosial yang sedikit banyak menyentil kita sebagai penghuni republik ini. Dan beruntung bagi saya bisa menemukan buku langka ini di serakan buku-buku diskon berharga murah di sebuah toko buku di Surabaya.

Judul             :  Bekisar Merah
Pengarang   :  Ahmad Tohari
Terbit             :  Mei, 1993
Penerbit        :  Gramedia Pustaka Utama
Halaman       :  312 halaman