Banda Aceh Sehari


Tak terasa sudah seusia penjajahan Jepang di Indonesia saya hidup di Banda Aceh. Lama atau baru sebentarkah waktu yang sudah saya lalui disini? Ah, tidak ada yang pasti jika kita bicara waktu. Waktu adalah nisbi. Relatif. Tapi yang pasti saya rasakan adalah saya menikmati hidup di kota ini. Ya, dengan bangga saya mengatakan kalau saya mencintai kota ini.

Sampai kapan saya akan berada di kota ini? Itu yang saya tidak tahu. Mungkin masih lama, mungkin juga tidak lama lagi. Pola mutasi pegawai di instansi saya bekerja yang tidak bisa ditebak tidak memungkinkan saya untuk tahu kapan akan meninggalkan kota ini. Di tulisan kali ini saya akan berandai-andai, apa yang akan saya lakukan apabila besok adalah hari terakhir saya berada di kota ini. Hari terakhir menikmati kota ini.

Lapangan Blang Padang di suatu pagi

Minggu pagi, seusai sang surya mulai memancarkan sinarnya, saya mengeluarkan sepeda dan mulai mengayuh pelan menuju lapangan kebanggaan warga, Lapangan Blang Padang. Seperti biasa di lapangan ini tiap minggu pagi selalu riuh dengan warga dari berbagai kalangan yang menyatu dalam berbagai kegiatan olahraga. Ada yang senam jantung sehat, ada yang bermain basket, ada yang bermain sepak bola, ada juga yang hanya duduk-duduk sambil menikmati hidangan sarapan semacam bubur ayam, batagor, dan lontong sayur yang dijajakan oleh deretan gerobak dorong sepanjang sisi utara lapangan. Tapi saya pagi itu memilih untuk berlari-lari kecil menapaki jogging track yang berada di dalam area lapangan menyatu bersama pelari lainnya sambil sesekali saya mengambil gambar diri (untuk kenang-kenangan) berlatar monumen pesawat angkut pertama milik negara kita tercinta, Pesawat Seulawah RI-001. Cukup beberapa putaran saja saya lari. Setelah itu saya duduk menikmati sarapan bubur ayam sambil bergabung dengan hiruk pikuk warga yang kebanyakan sedang berbincang santai.

Matahari sudah mulai meninggi. Saya mengayuh santai lagi sepeda saya menuju bangunan unik di seberang lapangan Blang Padang, tak lain adalah bangunan Museum Tsunami. Museum yang ketika akhir pekan selalu ramai oleh para warga dan wisatawan yang berkunjung ini memang istimewa. Dibangun sebagai sarana edukasi dan peringatan musibah tsunami yang terjadi disini 7 tahun lalu. Tujuan utama saya kali ini adalah menonton pertunjukan film 4 dimensi tentang tsunami yang pada awal dibukanya museum ini sempat diadakan rutin. Namun tampaknya belum ada penayangan lagi hari itu, masih maintenance katanya. Tak apa, saya tetap menelusuri ruangan-ruangan dalam museum yang sudah berkali-kali saya telusuri namun tetap membuat saya kagum.

Taman Putroe Phang

Sepeda saya kayuh lagi. Kali ini saya berhenti di sebuah taman kota yang cukup indah dan sejuk tidak jauh dari Museum Tsunami. Taman Putroe Phang namanya. Taman yang merupakan salah satu situs sejarah Kerajaan Aceh ini terdengar riuh dengan celotehan anak-anak yang sedang bermain di areal taman. Saya mengamati dari kejauhan keceriaan yang terpancar dari wajah anak-anak kecil itu. Damai sekali rasanya melepas penat dengan duduk di kursi kecil yang memang tersebar di areal taman sambil melihat wajah polos dan tingkah lucu dari anak-anak itu. Ah, jadi ingin punya anak.. (Lha, kok jadi curcol?).

Pemandangan Masjid Baiturrahman dari atas menara

Menjelang waktu dzuhur, kembali saya bersepeda menuju masjid kebanggaan warga kota ini, Masjid Raya Baiturrahman. Masih cukup lama sampai adzan dzuhur berkumandang. Sambil menunggu adzan, saya menyempatkan menikmati sebagian panorama kota dari atas menara masjid. Lanskap gagah Masjid Raya dibingkai dengan hijaunya rumput dan pepohonan di halaman masjid, langit biru bersih, perbukitan yang tampak jauh di belakang masjid, serta air laut yang mengintip diantara perbukitan dan masjid membuat mulut saya berdecak kagum.

Usai dzuhur, saatnya mengisi perut yang mulai keroncongan. Saya melaju santai lagi dengan sepeda menuju jalan Panglima Polem dan berhenti di salah satu warung Mie Aceh paling terkenal di Banda Aceh, Mie Razali. Ada banyak menu enak yang dijual disana. Mie daging, mie udang, dan mie cumi diantaranya. Namun kali ini saya memesan mie kepiting ditemani dengan minuman timun kerok. Tidak ada yang lebih lezat makan Mie Aceh selain di Aceh. Setelah kenyang, mungkin lebih enak kalau saya pulang dulu. Bersantai sejenak melindungi diri dari sengatan sinar matahari yang seperti biasa cukup ganas menyerang saya di hari yang cerah itu.

Taman di tepi Krueng Aceh

Menjelang ashar, saya keluar rumah lagi. Kali ini mengendarai sepeda motor. Kuputar setang kanan menuju sebuah taman kecil yang sejuk di pinggir Krueng Aceh. Saya duduk santai sambil membaca buku fiksi yang bercerita tentang Aceh pada masa konflik di gazebo di tengah taman dengan dikelilingi macam-macam tumbuhan yang menyebarkan kesejukan. Beberapa tanaman anggrek dan teratai yang sedang berbunga menambah suasana memikat siang itu. Hanya saya sendiri disana. Berbeda kalau saya kesana sore atau malam hari, banyak muda mudi yang sekedar berbincang duduk di kursi-kursi taman yang menjorok ke sungai. Memang kalau siang kursi-kursi di pinggir sungai itu terkena terik matahari, makanya saya memilih bersantai dilindungi atap gazebo disini.

Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue

Tak terasa lewat waktu ashar. Tidak susah menemukan masjid di kota ini. Kali ini saya melajukan motor saya ke salah satu masjid bersejarah di Banda Aceh, Masjid Baiturrahim di Ulee Lheue. Masjid yang berada di pinggir pantai ini juga istimewa. Istimewa karena 7 tahun lalu masjid ini bergeming diterjang gelombang tsunami. Tidak ada kerusakan berarti akibat musibah itu. Tetap bergeming dan kokoh sampai sekarang. Usai shalat, saatnya menunggu saat-saat kembalinya sang surya ke peraduan di pinggir pantai Ulee Lheue. Masih tetap saya sambil membaca buku dan sekarang ditemani jajanan pulut bakar, yaitu ketan yang dibungkus daun pisang dan kemudian dibakar, dengan saus durian yang sangat khas. Menarik bukan bersantai sore menunggu matahari terbenam, merasakan terpaan semilir angin pantai, ngemil pulut, membaca buku sambil sesekali menebarkan pandangan ke para pemancing yang sedang berkonsentrasi, serta mendengar keriuhan suara anak-anak bermain air di kejauhan? Ah, mungkin saya tidak ingin waktu ini berlalu. Tapi matahari mulai menghilang di balik bukit menandai datangnya malam. Adzan maghrib berkumandang.

Senja di Ulee Lheue

Agaknya saya sedang tidak mood untuk makan malam nasi. Untuk mengisi perut yang belum puas hanya terisi pulut, saya menuju ke sebuah kedai yang terkenal sebagai tempat nongkrong para muda mudi Banda Aceh. Ya, saya ingin menikmati cemilan kue canai di Canai Mamak KL. Kedai yang, saya masih ingat sekali, pertama kali sampai di Banda Aceh beberapa tahun lalu langsung dibawa kesini oleh kawan-kawan baru saya. Kedai dengan makanan khas melayu yang enak, mulai dari nasi Briyani, aneka macam kue canai, serta minuman teh tarik paling enak yang saya rasakan di Banda Aceh. Seperti biasa, suasana hiruk pikuk yang kadang sedikit mengganggu selalu mewarnai tempat itu. Maka, tak lama saya berada disana.

Karena ini adalah malam terakhir saya berada di kota ini, mungkin sudah bisa ditebak apa yang akan saya lakukan. Apalagi kalau bukan menyesap kopi di salah satu warung kopi yang tersebar banyak sekali disini. Malam itu saya memilih Daphu Kupi untuk menghabiskan malam. Alasan utama saya kesini adalah dekat dengan tempat tinggal saya dan suasananya tidak terlalu ramai dan tidak terlalu sepi. Cocok untuk bersantai. Saya memilih duduk di lantai 2 dengan menghadap salah satu simpang tersibuk di Banda Aceh, yaitu Simpang Surabaya. Biasanya saya memesan sanger kalau berkunjung ke warung kopi. Malam itu, saya lebih memilih kopi pekat panas untuk saya nikmati. Apalagi kalau bukan karena ini adalah malam terakhir saya disini.. Dimana lagi tempat yang paling nikmat menyesap kopi Aceh selain di warung kopi yang berada di Aceh? Tidak saya sadari, saya ikut larut dalam suasana malam yang hangat di tengah keriuhan pengunjung warung kopi sambil merenungi tentang masa lalu, sekarang, dan masa depan.

Itulah kawan yang mungkin akan saya lakukan di hari terakhir saya berada di kota ini. Bukan untuk terus pergi dan tidak akan kembali kesini, tapi hei, siapa tau memang begitu? Tapi kawan, apabila kalian hanya punya sehari mengunjungi Banda Aceh, apa yang akan kalian lakukan? Dan bagi kawan-kawan yang belum berkunjung ke Banda Aceh, siapa tahu tulisan ini bisa menginspirasi kalian untuk melakukan seperti yang saya lakukan jika kalian hanya sehari berkunjung kesini. Sebenarnya pun aktivitas yang saya tulis diatas juga sudah sangat sering saya lakukan selama disini. Tempat-tempat lain yang menarik selain yang saya tulis diatas pun masih banyak juga. Mungkin nanti akan saya tulis lagi yang lainnya. Dan, yang pasti, suatu saat jika saya ternyata meninggalkan kota ini dan tak akan kembali, saya pasti merindukannya.