Menyapa Mina, Primadona Bukit Lawang


Jalan setapak menuju Taman Nasional Gunung Leuser, Bukit Lawang

“Saya tidak bisa memastikan bisa ketemu orangutan atau enggak nanti di Feeding Site“, kata Bang Jinta, seorang pemandu lokal di Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser. “Karena memang orangutan di Bukit Lawang ini dilepas liar ke hutan, tidak bisa dijamin akan bertemu orangutan kalau kita berkunjung ke Feeding Site. Apalagi kalau pas musim buah. Mereka tidak ada yang turun ke Feeding Site“, Bang Jinta lanjut menjelaskan. Berdasarkan cerita Bang Jinta, bahkan saking susahnya untuk bertemu orangutan, pernah suatu ketika ada turis asal Jerman yang beberapa hari trekking ke dalam hutan tetap saja tidak bertemu mereka. Dan saking penasarannya turis Jerman itu ingin bertemu orangutan, beberapa bulan setelah kedatangan pertama kali, dia datang kembali ke Bukit Lawang. Nampaknya keberuntungan menaungi turis tersebut di kunjungan kedua.

Saya mempercepat langkah kaki menyusuri pinggir Sungai Bahorok mencoba menjajari langkah kaki Bang Jinta. Suara air mengalir deras dihiasi dengan suara ceria anak-anak kecil  yang sedang bermain air menambah riuh sore itu. Langkah kaki terus maju melewati perkampungan. Di kanan kiri jalan setapak para penjaja souvenir berusaha menarik perhatian saya untuk sekedar mampir berbagi rezeki dengan mereka. Saya acuh dan mempercepat langkah. Saya sudah tidak sabar untuk bertemu dengan makhluk eksotis penghuni Bukit Lawang, para orangutan. Ya, sore itu saya mau berkunjung ke Orangutan Feeding Centre. Feeding Center yang dibangun pada tahun 1973 ini adalah satu-satunya yang ada di Pulau Sumatra. Tujuan dibangunnya Orangutan Feeding Center ini adalah untuk membantu para orangutan menyesuaikan diri lagi di alam bebas. Penghuninya bisa saja orangutan yang pernah ditawan manusia untuk hewan peliharaan atau orangutan yang berasal dari tempat lain akibat pembukaan hutan.

Menyeberang Sungai Bahorok

Menyeberang Sungai Bahorok

Suasana mendadak jadi mirip di Poppies Lane di Bali atau Sosrowijayan di Yogyakarta. Sepanjang gang kecil banyak sekali berjejer penginapan budget. Cafe dan warung makan yang menyediakan makanan dan minuman barat seperti Pizza, Spaghetti, atau pun sekedar bir juga nampak berderet. Saya tidak menyangka ada denyut kehidupan yang begitu ramai berdetak di pinggiran Taman Nasional Gunung Leuser ini. Dan nampaknya tidak banyak turis lokal. Yang terlihat berlalu lalang kebanyakan turis asing.

Selamat Datang di Taman Nasional Gunung Leuser

Selamat Datang di Taman Nasional Gunung Leuser

Sampailah saya di ujung jalan setapak. Untuk sampai ke Orangutan Feeding Center, di titik ini kita diharuskan naik sampan kecil yang ditarik dengan tali untuk menyeberangi Sungai Bahorok. Saya bersama 3 orang turis asing berada dalam 1 sampan. Arus deras sungai sesaat membuat oleng sampan. Tapi tenang, operator sampannya sigap kok menyeberangkannya, tidak perlu waktu lama. Hati semakin membuncah ketika saya memasuki gapura bertuliskan “Selamat Datang di Taman Nasional Gunung Leuser”. Impian saya dari setahun yang lalu memang ingin mengunjungi Bukit Lawang untuk bertemu dengan orangutan.

Dari gerbang ini perjalanan trekking cukup berat dimulai. Jalan setapak bersemen pun hanya beberapa meter saja. Selanjutnya, tanah menanjak basah bekas hujan saya tapaki. Udara tidak terlalu dingin saya rasakan. Pepohonan di kanan kiri mulai terlihat lebat. Sesekali saya lihat Bang Jinta membungkuk memungut sampah plastik seperti bungkus permen dan bungkus snack kemudian dikantongi. Sesuatu yang perlu diteladani nampaknya. Di sebuah jalan menikung terlihat para pengunjung lain berhenti bergerombol. Dua sosok makhluk berwarna oranye kecoklatan bergelantungan di batang bambu. Dua orangutan itu seperti menyambut kami. Mereka asyik dengan pisang di tangan. Acuh namun sesekali menyeringai berbentuk senyuman. Mereka adalah orangutan pertama yang saya lihat di alam bebas. Sepertinya hari ini saya beruntung.

Orangutan Penerima Tamu

Orangutan Penerima Tamu

“Ayo cepat, jalan terus. Jangan berhenti”. Terdengar suara ranger hutan yang membawa buah-buahan dalam tas membuyarkan gerombolan pengunjung yang sibuk memfoto dan mengamati dua orangutan tersebut. Saya lanjut melangkahkan kaki. Jalan makin terjal dan becek. Semakin jauh pula saya menjamah hutan lebat ini. Sesekali saya berpegangan pada ranting pohon agar tidak terpeleset. Nafas mulai terengah. Peluh menetes. Tapi semangat tetap membara demi bertemu dengan hewan endemik ini.

Sesampainya di ujung Feeding Center ternyata tidak hanya seekor orangutan yang sedang bersantai. Di kiri saya Sukma, seekor orangutan betina yang pemalu sedang bercengkerama dengan anaknya. Di sebelah kanan saya ada seekor yang lebih aktif dari Sukma. Tatapan matanya sangat menantang. Tubuhnya mengayun menyusuri rerantingan. Para pengunjung mulai membidikkan kamera. Tanpa dikomando, seperti tahu kalau sedang difoto, dia berpose dengan cantiknya. Dialah Mina, orangutan paling terkenal di Bukit Lawang.

Orangutan yang dijuluki oleh Lonely Planet sebagai The Notorious Mina ini adalah orangutan berjenis kelamin betina berumur sekitar 31 tahun dan merupakan orangutan yang paling ditakuti sekaligus paling dicintai oleh para pemandu lokal. Sejauh ini sekitar 64 orang pemandu yang menjadi korban penyerangan Mina. Perilaku Mina ini bukan tanpa alasan. Dulunya Mina pernah dipelihara oleh manusia. Perilaku agresif Mina ini biasanya karena keinginannya untuk minta makan dengan kasar. Mina memang primadona Bukit Lawang. Salah satu orangutan pertama penghuni Pusat Konservasi Orangutan Bukit Lawang.

Sukma dan Anaknya

Saya yang sedang mengamati Mina dari kejauhan dikagetkan oleh sesuatu yang menjatuhi bahu saya. Saya menengok ke bahu kanan saya. Dan terciumlah aroma semacam kotoran ayam. Noda berwarna hijau kehitaman melekat di kaos saya. Saya refleks menengadah. Dan di atas ternyata ada seekor anak orangutan yang tanpa merasa berdosa sedang bermain-main di cabang pohon. Yah, saya anggap saja ini tanda perkenalan dan persahabatan dari penghuni Bukit Lawang. Saya patut berbangga lah. Di antara banyak orang di sana waktu itu, si orangutan kecil itu memilih buang kotoran di atas saya.

Konsentrasi membersihkan kotoran orangutan yang menempel di kaos saya tiba-tiba terganggu. Kehebohan terjadi. Orang-orang panik dan mulai sedikit kocar-kacir. Tak terkecuali saya. Pasalnya Mina dengan tampang yang cukup seram mulai mendekati para pengunjung. Pelan tapi pasti Mina bergelayutan menuju bawah. Hardikan para pemandu lokal pun tidak digubrisnya. Mata Mina menatap saya lekat-lekat. Saya curiga dia mengincar tas punggung saya yang warna kuning. Mungkinkah karena warna kuning mirip dengan warna pisang? Ataukah gara-gara saya membuka tas punggung saya untuk mengambil tissue yang saya pergunakan untuk membersihkan kaos? Memang sebelumnya diberi tahu juga oleh Bang Jinta kalau kita berkunjung ke Bukit Lawang jangan membuka tas. Karena hal itu bisa dikira kita sedang mengambil makanan untuk Mina. Kecemasan masih terjadi. Mina masih mendekat dengan tenang. Sebenarnya sih mungkin tidak seram juga. Cuma karena kita tahu kalau yang mendekat itu adalah The Notorious Mina, jadinya ya takut juga deh. Untung kepanikan itu tidak berlangsung lama. Mina sudah menghilang ke tengah hutan.

Perjalanan diakhiri sampai di sini. Benar-benar pengalaman yang tidak akan saya lupa. Saya yang awalnya tidak terlalu berekspektasi untuk bertemu orangutan malah bertemu sama Mina. Dalam hati saya berniat akan kembali ke Bukit Lawang untuk menikmati lebih lama suasana hutan Taman Nasional Gunung Leuser ini. Mungkin dengan trekking pendek atau berkemah di hutan. Berdasarkan cerita Bang Jinta tidak banyak turis lokal yang berkemah di hutan Bukit Lawang. Kebanyakan yang melakukan aktifitas itu adalah turis asing. Suatu saat jika ada waktu pasti saya akan ke sana lagi. Dan sore itu saya habiskan dengan tubing atau naik ban besar mengikuti arus Sungai Bahorok. Sungguh sangat menyenangkan.

Mina bergelantungan

The Notorious Mina

The Notorious Mina