Trip Sumatera Utara Bersama Jejak Kaki


Berawal dari long weekend di bulan Januari yang hanya saya habiskan berdiam diri di Banda Aceh saja, yang ternyata cukup membosankan, saya berniat selama long weekend di tahun 2012 akan melakukan traveling. Kawan-kawan lihat kan di kalender 2012 banyak sekali long weekend? Dan pada long weekend bulan maret saya kepingin sekali pergi ke Danau Toba dan sekitarnya. Cari-cari lah di internet (cari di forum-forum traveling dan google), siapa tau ada yang mau traveling ke Danau Toba pas long weekend itu. Kan lumayan bisa buat kawan jalan. Eh ternyata nemu ada komunitas Jejak Kaki yang membuat event ke Bukit Lawang dan Danau Toba pas long weekend itu. Kebetulan saya juga sudah pengen sekali ke Bukit Lawang sejak lama. Saya tahu tentang komunitas Jejak Kaki dari salah satu post di blog-nya mbak Zee. Langsung saja saya mendaftar. Terus ngeracunin Mbak Zee juga biar ikutan.

Mejeng depan Ecolodge (photo by Pak Dasep)

Day 1

Singkat cerita, sudah hari H. Dengan berbekal 1 ransel yang cuma terisi 3/4 bagian, saya berangkat sebelum subuh menuju Bandara Sultan Iskandar Muda untuk berangkat ke Medan menggunakan flight Lion Air paling pagi. Awalnya sih mau naik bus saja dari Banda Aceh ke Medan. Cuma karena ternyata ada tiket promo yang harganya tidak jauh beda dengan harga bus, saya memutuskan untuk naik pesawat.

Sepertinya saya peserta trip Sumut Jejak Kaki yang paling pagi sampai di meeting point, Bandara Polonia. Jam 7 pagi saya sudah berada di sana, duduk manis di salah satu cafe di dekat terminal keberangkatan internasional sambil mengamati aktifitas pagi para calon penumpang. Sekitar jam 8, mbak Zee mendarat. Langsung saya bergabung dengannya. Ini adalah kali kedua kami bertemu. Yang pertama adalah pada pertengahan 2010 ketika mbak Zee main ke Banda Aceh (itu pun cuma ketemu bentar di Bandara). Ternyata mbak Zee tidak sendirian. Seorang wanita supel yang selalu tersenyum dan bergaya modis sedang bersamanya. Ialah Tante Meli, salah satu peserta Jejak Kaki yang saat itu sedang sibuk dengan koper bawaannya. Menunggu jam 10, kami bertiga menunggu di cafe Lapangan Tembak Senayan. Dan, makin lama makin rame. Bergabung dengan kami ada Tri, Anna, dan Fifi yang semuanya rame. Hmm.. Sepertinya bakal seru nih liburan kali ini. So typical me, kalau baru kenal dengan orang-orang baru saya lebih banyak diam. Lebih suka mendengarkan dan menyimak obrolan-obrolan mereka.

Menjelang jam 10, kami pindah lapak ke Dunkin’ Donuts karena di sana sudah berkumpul sebagian besar kawan-kawan Jejak Kaki. Begitu masuk ke dalam ruangan cafe pionir penjual donat itu suasana keakraban dan kekeluargaan langsung menyeruak. Saya berkenalan dengan orang-orang baru. Ada Esti yang duduk di pojokan semeja dengan Pak Dasep dan Ibu Heni, istrinya. Ada Mbak Eva sang founder Jejak Kaki, Pak Hendra dan Mbak Tari, Mbak Tami dan Ayeth, anaknya yang keliatan manis sekali (walaupun ternyata aslinya cukup annoying dengan hobi memaksa orang-orang bermain adu jari. Saya salah satu korban soalnya. *peace Ayeth* hehe.. ), dan banyak lagi. Jujur, saya gak bisa cepat mengingat nama orang. Apalagi kalau berkenalan dengan banyak orang dalam satu waktu. Saya habiskan sepanjang perjalanan menuju Bukit Lawang hari itu dengan mencoba menghapalkan nama tiap-tiap orang di kepala saya.

Jembatan gantung di Bukit Lawang

Sekitar 3 jam perjalanan yang dihabiskan oleh sebagian besar peserta dengan tidur, sampailah kami di Bukit Lawang. Langsung menuju tempat nginap kami, Ecolodge. Terletak di pinggir sungai Bahorok yang berarus cukup deras, memaksa kami harus melewati jembatan gantung yang cukup pajang untuk menuju Ecolodge. Dan dari semua peserta Jejak Kaki, gak ada yang ngalahin ramenya teriakan Fifi saat menyeberang. Jembatan gantung yang bergoyang ketika disusuri sepertinya membuat Fifi phobia. Sebelum menuju Orangutan Feeding Center, kami menikmati sajian makan siang dari Ecolodge dilanjutkan dengan pembagian kamar. Saya berbagi kamar dengan Sule, yang ternyata sudah sering ikut trip Jejak Kaki sehingga nampak sangat akrab dengan banyak orang. Saya dan Sule menempati kamar Siamang Lodge. Setelah berganti pakaian yang aman digunakan untuk basah-basahan, kami menuju ke Orangutan Feeding Center (cerita selengkapnya bisa dibaca di sini) yang dilanjutkan dengan tube rafting menyusuri Sungai Bahorok. Saya, Sule, dan Mbak Ellis berada dalam 1 tim tube rafting. Tube rafting di Sungai bahorok ini adalah aktifitas rafting menggunakan ban besar menyusuri aliran sungai yang berbatu. 5 buah ban dirangkai menjadi 1 diisi oleh navigator di ban paling depan dan belakang, sedangkan kami bertiga berada di tengah. Cukup mengasyikkan bagi saya, walaupun kurang terasa menantang.

Malam harinya, seusai makan malam bersama, acara ramah tamah dan perkenalan pun dimulai. Mulailah saya bisa lebih mengenal 30 orang peserta trip kali ini (maaf gak bisa disebutkan satu per satu. Hehe.. ). Suasana semakin akrab di sini. Saling becanda, sesekali disertai dengan ejekan-ejekan ringan menambah rasa kekeluargaan. Sepertinya saya bukan hanya menambah kawan di sini, tetapi juga keluarga.

Sebelum meninggalkan Bukit Lawang, foto bareng dulu dong (photo by: Mbak Zee)

Day 2

Hari kedua trip Jejak Kaki. Jam 7 pagi semua sudah kumpul di ruang makan Ecolodge. Sarapan pagi dan check out tidak berlama-lama kami lakukan. Nampaknya semua peserta Jejak Kaki sudah tidak sabar untuk melanjutkan perjalanan. Hari ini tujuannya adalah ke Parapat dengan rute Bukit Lawang-Medan-Berastagi-Parapat. Seharian penuh naik bis. Perjalanan di bis terasa semakin akrab ketika kami beramai-ramai karaoke lagu-lagu berbahasa Batak. Dari lagu Anak Medan sampai yang paling seru ketika nyanyi Sinanggar Tulo (videonya bisa dilihat di sini). Perjalanan sedikit tersendat sebelum mencapai Berastagi. Mungkin karena long weekend, jalanan pun relatif ramai dan macet. Belum sampai Berastagi, tetapi hasrat kawan-kawan Jejak Kaki untuk menikmati durian Sumatra Utara tidak bisa ditahan. Mampirlah kami di Pondok Durian. Rejeki bagi pemilik pondok, kawan-kawan Jejak Kaki benar-benar kalap berpesta durian. Saya hanya mengamati saja tanpa menyentuh durian satu pun. Karena bagi saya kombinasi durian dengan perjalanan darat jarak jauh adalah perpaduan yang buruk. Daripada saya mabuk darat, saya lewatkan saja pesta durian kali ini.

Jejak Kaki dalam Pesta Durian (photo by Papi Herman)

Sesampai di Berastagi, kami makan siang di Green Garden Hotel. Saking laparnya, saya mendahulukan makan siang daripada shalat dzuhur. Perut sudah terisi dan capek sudah cukup terobati saya pun berniat untuk shalat dzuhur. Mendadak saya rindu dengan Banda Aceh. Karena di hotel sebesar itu tidak menyediakan mushola. Dan ketika bertanya dengan resepsionis hotel dimana letak masjid terdekat, dia menjawab 1 km. Tidak mungkin saya ke masjid sejauh itu. Untung saja ternyata ada 1 kamar yang dipinjamkan untuk shalat. Ternyata di kamar itu sudah ada Mbak Zee dan kawan-kawan muslimah lain yang selesai shalat. Baru di sekitaran Medan aja nyari tempat shalat agak susah ya.. Berbeda sekali dengan Banda Aceh yang banyak masjid berdekatan.

Paling ganteng kan saya? (Photo by Pak Hendra)

Perjalanan dilanjutkan ke Pasar Buah Berastagi. Dari penampakannya sih lebih cocok dinamakan Pasar Bunga Berastagi karena penjual bunga jauh lebih banyak daripada penjual buah. Karena saya bukan tipe yang suka berbelanja kalau sedang traveling, saya hanya melihat-lihat saja di sini. Karena masih banyak objek wisata yang harus dikunjungi, kami tidak lama di Pasar Buah ini.

Sekitar 30 menit dari Berastagi, sampailah kami di Desa Dokan, Kecamatan Merek, Kabupaten Dokan. Di desa ini terdapat sebuah rumah adat Karo berusia sekitar 200 tahun yang di dalamnya dihuni oleh 8 keluarga. Rumah yang sepenuhnya terbuat dari kayu ini tampak kokoh dengan bentuk rumah panggung. Sang tuan rumah, Opung Raihan Ginting, menyambut kami dengan tangan terbuka. Kami dipersilakan masuk ke dalam rumah dan berbincang dengan beliau. Rumah tua hasil kebudayaan Karo ini benar-benar membuat kami berdecak kagum.

Mejeng di depan rumah adat di Desa Dokan (photo by: Mbak Zee)

Menjelang sore, kami sampai di air terjun Sipiso-piso. Karena keterbatasan waktu, tidak sampe 1 jam kami berada di sana. Tidak sempat turun mendekat ke air terjun untuk merasakan guyuran airnya. Walaupun hanya menikmati pemandangan dari atas, namun kami cukup menikmati keelokan air terjun tertinggi di Indonesia ini. Apalagi ditambah view Danau Toba di sebelah kiri. Such a breathtaking view.. Kunjungan di Air Terjun Sipiso-piso dihabiskan dengan kehebohan foto-foto ala Jejak Kaki. Yang paling heboh tentunya Mami Daisy dan Tante Meli.

Di Rumah Bolon Simalungun (photo by Mbak Zee)

Beruntung kami berada di Sumatra Utara. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 18.00 WIB, namun langit masih terang. Bagi saya yang terbiasa hidup di Aceh, tidak ada yang istimewa. Namun bagi kawan-kawan Jejak Kaki yang kebanyakan berasal dari Jakarta, membuat mereka cukup heran. Saat itu kami sudah berada di perhentian terakhir sebelum sampai di Parapat, yaitu di Rumah Bolon Simalungun yang merupakan istana Raja Purba di masa lampau. Saya merasakan suasana agak creepy di sana. Entah karena waktu berkunjung yang menjelang malam atau karena rimbunnya tumbuh-tumbuhan yang berada di jalan masuk dan sekitar kompleks Rumah Bolon atau karena gabungan keduanya, yang pasti udara di sana juga cukup dingin yang membuat tambah creepy. Apalagi ternyata di dalam Rumah Bolon itu juga terdapat peti mati yang kabarnya digunakan untuk meletakkan jenazah raja pada jaman dahulu. Untung berkunjungnya rame-rame, jadi tidak terasa seramnya. Sebelum hari benar-benar gelap, kami beranjak meninggalkan bangunan yang dikelola oleh Yayasan Museum Simalungun ini menuju Parapat.

Setelah melalui jalan berkelok menanjak naik turun selama beberapa jam dengan view Danau Toba di sebelah kanan dan tebing di sebelah kiri (walaupun gak keliatan juga sih karena malam hari. Haha.. ), sekitar pukul 21.00 akhirnya kami sampai di kota Parapat. Sempat juga mikir kalau sampe di Parapat bakal malam sekali karena di tengah perjalanan sempat terjadi macet yang disebabkan oleh pesta kawinan di salah satu rumah penduduk setempat. Sebelum check in di Danau Toba International Cottage, kami makan malam di Restoran Silaturrahim. Salah satu makan malam terenak yang pernah saya rasakan. Alasannya adalah karena sudah merasa sangat lapar. Dan sepertinya bukan saya saja yang merasa begitu. Mbak Zee pun merasakan hal yang sama (baca aja di sini). Dan begitu sampai kamar, langsung tepar.

Day 3

Pagi menyingsing, saya terbangun disambut dengan view Danau Toba. Hari ini recananya rombongan Jejak Kaki akan menjelajah Pulau Samosir. Pukul 7.00 kami sudah siap untuk sarapan. Sesi sarapan yang disertai pula dengan sesi foto-foto (terutama oleh Pak Hendra dan Papi Herman yang mempunyai gear camera paling ciamik) benar-benar menambah keakraban keluarga Jejak Kaki. Usai sarapan, kami naik ke kapal Danau Toba Cruise 07. Perjalanan yang cukup lama menuju Samosir tidak begitu terasa dengan hiburan dari 3 orang anak layaknya pengamen di dalam bis menyanyikan lagu-lagu berbahasa Batak namun minus alat musik. Seketika heboh lah kapal kami. Semua berdiri, bertepuk tangan, dan ikut berjoget. Apalagi ketika anak-anak penghibur itu menyanyikan lagu yang saya nobatkan sebagai theme song trip Sumut kali ini yaitu lagu Anak Medan dan Sinanggar Tulo. Walaupun terhitung baru kenal, kawan-kawan Jejak Kaki ini memang seru dan gak ada jaim-jaiman. Lebih seru lagi pada waktu perjalanan kembali ke Parapat, mungkin karena pada kecapekan, banyak yang tidur. Momen tidur itu beberapa saya lihat diabadikan oleh Papi Herman (dibagi-bagi dong Om foto-foto tidurnya Haha.. ). Saya sangat menikmati perjalanan hari itu. Untuk lengkapnya cerita di hari ketiga ini bisa dibaca di tulisan saya yang lain di sini. Malamnya, usai makan malam, saya dan beberapa kawan mau menjelajah kota Parapat, namun sayang gagal karena hujan gerimis mulai mengguyur.

Foto bareng usai menikmati Tari Sigale-gale (photo by Mbak Zee)

Day 4

Hari terakhir. Agenda hari ini adalah menuju Pematangsiantar, Medan, dan… pulang. Huaaaaaa.. Kurang lama liburannya. Harusnya dilamain nih trip-nya Mbak Eva. Nambah Tangkahan, Tapanuli, dan Nias!! Hehehe.. Tujuan pertama adalah kota Pematangsiantar. Cerita lebih lengkap tentang kunjungan ke Pematangsiantar bisa dibaca di sini. Sebelum benar-benar meninggalkan kota Pematangsiantar, mampir dulu ke Paten Shop. Yaitu sebuah toko oleh-oleh khas Pematangsiantar yang menjual makanan ringan sejenis enting-enting dengan berbagai macam nama dan kue-kue lain yang semuanya enak. Di saat banyak kawan-kawan Jejak Kaki heboh dan kalap membeli oleh-oleh, saya yang pada dasarnya malas bawa oleh-oleh, hanya ikutan cemal-cemil tester yang disediakan. Dengan pede dan tebal muka saya coba semua kuenya tanpa membeli satu pun. In my defense, sudah banyak juga oleh-oleh yang dibeli  kawan-kawan Jejak Kaki, jadi kalau pun saya menghabiskan tester-nya juga gak bikin Paten Shop rugi tuh. Hahahaha…

Di depan Gereja Annai Velangkani (Photo by: Mbak Zee)

Ternyata perjalanan Pematangsiantar menuju Medan lumayan lama juga. Sekitar 2 jam kemudian kami baru sampe Medan. Pemberhentian pertama di Rumah Makan ACC di Jalan Sisingamangaraja untuk makan siang. Usai makan siang, dilanjutkan dengan city tour menuju ke gereja Annai Velangkani. Walaupun sering main ke Medan, namun baru kali ini saya mengunjungi gereja yang berada di Jalan Sakura III No. 10, Tanjung Selamat Medan ini. Gereja dengan arsitektur unik perpaduan dari India dan Mogul ini membentuk bangunan seperti candi dengan kubah-kubah serupa masjid menghiasi atap. Walaupun berfungsi sebagai tempat ibadah umat Katholik, namun gereja ini juga membuka pintu lebar-lebar kepada umat agama lain untuk berkunjung. Saya pun cukup menikmati wisata religi di gereja ini. Bagi saya, semakin mengenal tentang agama lain semakin besar pula rasa toleransi yang tumbuh dalam diri saya. Tidak lupa, sebelum meninggalkan gereja ini, foto khas Jejak Kaki dengan spanduk warna ungunya harus dilakukan.

Tujuan selanjutnya adalah Istana Maimoon. Baru kali ini juga lah saya masuk ke dalam istana peninggalan Kesultanan Deli ini. Beberapa waktu lalu saya berkunjung sedang diadakan resepsi pernikahan anak seorang pejabat di sini, sehingga tidak diperbolehkan masuk. Istana yang mayoritas bernuansa kuning keemasan ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Al Rasyid pada tahun 1886 dan selesai pada 1888. Bangunan berarsitektur gabungan Melayu, Arab, Eropa, dan India ini sampai sekarang masih dipergunakan sebagai kediaman keturunan keluarga Sultan.

Usai mengunjungi Istana Maimoon, kami berkunjung ke Masjid Raya Al-Mashun atau lebih dikenal dengan Masjid Raya Medan. Ini bukan kunjungan pertama saya. Saya pribadi sedikit ilfil dengan Masjid ini. Karena pada kunjungan saya sebelumnya, saya melakukan shalat Jumat di sini dan melihat banyak orang yang membawa masuk sandal dan alas kaki mereka ke dalam areal masjid lalu diletakkan di sekitar kusen jendela. Kayak tidak ada batas suci saja. 

Sementara kawan-kawan Jejak Kaki melanjutkan perjalanan ke Bandara Polonia, saya dan Mbak Zee melanjutkan perjalanan ke Merdeka Walk untuk bertemu dengan seorang Kokohrocha. Menuju ke Merdeka Walk, kami naik bentor. Sepanjang perjalanan, mbak Zee terlihat sangat excited. Mungkin karena di Jawa gak ada bentor kali ya jadi norak-norak bergembira gini. Hahaha.. Sesampainya di Merdeka Walk, langsung menuju restoran Nelayan Jala-Jala. Di sana sudah menunggu Kokoh. Walaupun saya cukup sering menikmati sajian menu dimsum dan pancake durian punya Nelayan Jala-Jala, tetap saja kalap makan sampe di sana. Memang, dimsum dan pancake durian Nelayan ini adalah kuliner wajib dicoba kalau berkunjung ke Medan.

Ketawa-ketiwi, saling berbagi cerita, dan saling ejek antara saya, Mbak Zee, dan Kokoh harus usai karena kami harus pulang. Menuju ke Bandara Polonia, saya dan Mbak Zee pun kembali naik becak motor. Sayang sekali Mbak Zee gak bisa lama-lama di Medan. Padahal belum eksplore daerah Kesawan dan daerah menarik lainnya di Medan. 

Sesampai di Bandara, ternyata masih rame kawan-kawan Jejak Kaki yang belum boarding. Kami menghabiskan hari itu dengan ngobrol-ngobrol dan ketawa-ketiwi sampai satu per satu kawan Jejak Kaki menaiki pesawatnya masing-masing.

Berakhirlah petualangan perdana saya dengan Jejak Kaki. Selain pengalaman liburan yang menyenangkan, saya juga mendapatkan banyak kawan-kawan baru yang seru dan kental dengan suasana kekeluargaan. See you next time Jejak Kaki.. Saya akan ikut trip-trip selanjutnya, atau Jejak Kaki yang mau menjejakkan kaki di Aceh? Saya tunggu kunjungannya ke Banda Aceh.

Kokoh, saya, dan Mbak Zee di Merdeka Walk

catatan: saking serunya menikmati perjalanan dan gak mau ketinggalan foto-foto bersama, ternyata saya tidak punya foto Jejak Kaki yang rame-rame. Ijin pinjam beberapa fotonya ya Mbak Zee, Pak Hendra, Pak Dasep, dan Papi Herman buat dipasang di sini. Hehehe..