Bersenang-senang di Penang (Part 1)


“Ngapain ke Penang? Berobat?”. “Mau check-up kesehatan ya kok pergi ke Penang?”. “Apa hasil check-up nya? Sehat kan?”. Itulah beberapa pertanyaan dari beberapa orang ketika tahu saya baru saja pergi ke Penang, Malaysia. Ya, bagi sebagian besar orang yang tinggal di ujung Pulau Sumatra ini, Penang adalah tempat yang berkualitas dan relatif murah untuk melakukan pengobatan. Maka pikiran klise sebagian orang tersebut adalah kalau pergi ke Penang otomatis berobat. Kok sepertinya satu pulau itu isinya rumah sakit semua ya.. Tidak tahukah bahwa Penang adalah sebuah pulau di sebelah barat laut Malaysia yang kental dengan budaya Peranakan Baba dan Nyonya (percampuran budaya Melayu dan China)? Tidak tahukah bahwa Penang juga kental dengan budaya Eropa dan India? Tidak tahukah bahwa Penang dikenal juga sebagai “surga makanan” di Malaysia? Tidak tahukah bahwa ibukota Penang, Georgetown, memiliki bangunan-bangunan tua yang eksotis sampai-sampai dinobatkan sebagai World Heritage Site oleh UNESCO? Ya, itulah beberapa alasan saya mengunjungi Penang awal April yang lalu.

Day 1

Trip edisi ngikut sama Kokoh dan Ombolot ini sebenarnya sudah saya rencanakan sejak akhir Desember 2011 lalu. Cukup impulsif juga beli tiketnya (niat dalam hati saat itu sih berapa pun harga tiketnya mau saya beli). Tiket AirAsia MES-PEN-MES saya beli seharga Rp. 373.000,- (untung masih murah) tepat setelah saya mengetahui tidak ada nama saya untuk kedua kalinya dalam sebuah pengumuman hasil ujian saringan masuk mahasiswa sebuah perguruan tinggi kedinasan diumumkan *curcol*. Sebenarnya dari Banda Aceh ada direct flight ke Penang menggunakan maskapai Firefly, namun karena pertimbangan harga dan waktu, saya lebih memilih menggunakan AirAsia via Medan. Dan beruntungnya, pemberangkatan saya ke Penang juga bertepatan waktu dengan selesainya urusan dinas di Medan. Lumayanlah tiket promo GA 146 MES-BTJ untuk pulang malah jadi bisa diganti sama kantor.

Hutton Lodge yang bernuansa klasik

Saya mendarat di Penang International Airport sekitar pukul 8 malam waktu setempat setelah melakukan penerbangan yang hanya 30 menit dari Medan. Proses imigrasi sangat lancar.  Begitu keluar terminal, langsung saya mencari McD, meeting point saya dengan Kokoh, yang sudah berada di Penang sejak pagi. Setelah keluar pintu kedatangan, sempat clingak-clinguk lama nyari McD, kok tidak ada deretan pertokoan seperti di Bandara Polonia. Cenderung sepi malah. Mungkin karena memang sedang ada perbaikan airport, banyak ruangan toko yang sedang direnovasi. Akhirnya, nanya Kokoh lah dimana McD. Ternyata ada di lantai atas pas di depan pintu keberangkatan. Begitu naik, oooww ternyata ramai di sana, banyak cafe berjejer. Sambil menunggu Kokoh, saya menikmati ayam goreng McD.

Tidak lama saya menunggu, Kokoh datang dengan Inggrid, seorang kawan yang ikut trip Penang juga. Ngobrol-ngobrol dan ngemil-ngemil selama sejam, baru deh seorang kawan lagi, Ombolot, mendarat. Sudah lengkap peserta Penang trip kali ini. Saatnya menuju ke Hutton Lodge, tempat kami menginap yang memiliki bangunan eksotis. Karena sudah cukup larut, bis 401E yang seharusnya menuju Georgetown dari Bandara sudah tidak ada, akhirnya kami memilih naik taksi. Karena memang sampai di Penang malam hari, sesampainya di penginapan langsung bersih-bersih badan dan tidur.

Day 2

Pukul 7 pagi, kami berempat sudah berkumpul dengan manisnya di teras samping Hutton Lodge yang juga difungsikan untuk tempat sarapan. Sarapan yang disediakan adalah toast + butter dan jam, banana cake, kopi/teh, dan jus. Cukup lah untuk mengisi tenaga pagi itu. Usai sarapan, kami berjalan kaki menuju Komtar, sebuah terminal bis Rapid Penang yang mirip dengan Blok M (versi lebih bersih, teratur, dan minus Metromini tentu saja). Kesan pagi pertama di Georgetown adalah kagum dengan banyaknya burung gagak yang bertukar cincin berkeliaran. Sesampai di Komtar, saya dan Ombolot pun membeli Rapid Penang Passport seharga 30MYR, yaitu sebuah kartu pre-paid tiket bis Rapid Penang yang bisa dipakai unlimited selama 7 hari. Tapi mungkin kalau untuk 2-3 hari eksplore Penang tidak perlu beli Rapid Penang Passport sih biar lebih irit, kecuali eksplore-nya ke daerah yang jauh seperti Balik Pulau.

Di depan Bukit Bendera

Tujuan pertama hari ini adalah Penang Hill. Untuk menuju tempat yang juga dikenal dengan nama Bukit Bendera ini, kami menggunakan moda transportasi bis Rapid Penang nomor 204 jurusan Jetty-Penang Hill. Kami memang sengaja mengunjungi Penang Hill di pagi hari, dengan harapan suasananya masih sepi. Namun, begitu sampai di sana, ternyata ramainya seperti Dufan ketika liburan. Banyak sekali anak sekolah. Cukup berdesakan kami di dalam funicular menaiki Penang Hill, dengan tiket seharga 30MYR round trip. Melihat panorama lintasan rel yang naik dengan curam, pemandangan kanan kiri yang terlihat masih serupa hutan belantara, dan masuk ke terowongan berusia tua sangat menyenangkan bagi saya. Namun sayang, perjalanannya sangat singkat. Sesampainya di atas bukit, pemandangan kota Georgetown lengkap dengan Penang Bridge-nya terhampar di depan mata. Dan lagi-lagi, sayang sekali, cuaca cukup berkabut membuat kurang puas menikmati pemandangan.

Sedikit mengecewakan saya ketika di atas bukit tidak ada sesuatu yang menarik. Hanya ada atraksi foto dengan ular piton, area meneropong, restoran, kantor pos, dan sebuah food court dengan toko-toko souvenir yang berjejer. Mungkin hanya satu tempat yang cukup menarik dikunjungi. Yaitu OWL Museum. Di dalam museum yang memiliki motto Owl-some ini terdapat koleksi-koleksi benda unik seperti lukisan, kerajinan tangan, dan berbagai macam souvenir bertema burung hantu. Selain itu terdapat juga artikel-artikel singkat mengenai fakta tentang burung hantu yang dikemas dalam owlsome facts. Tiket masuk seharga 10 MYR saya rasa cukup sepadan dengan koleksi dan pengalaman yang didapatkan ketika mengunjungi museum ini. Oh iya, tiket tersebut sudah termasuk sebuah souvenir yang bisa dipakai untuk gantungan ponsel. Mungkin di bagian lain bukit ini masih banyak tempat yang menarik dikunjungi. Namun kami lebih memilih nongkrong di food court untuk sekedar melepas lelah. Saya memesan Ais Kacang, minuman berisi es serut, beberapa scoop es krim, ditaburi dengan beberapa jenis kacang-kacangan, agar-agar, sirup, dan beberapa tambahan lainnya. Rasanya segar dan enak. Cukup lah untuk mengisi tenaga sebelum menuju Kek Lok Si Temple.

Pemandangan dari funicular Penang Hill

Panorama dari atas Penang Hill

Kembali menggunakan moda transportasi bis Rapid Penang nomor 204, kami menuju Kek Lok Si Temple, yang tidak jauh dari Penang Hill. Pertama kali saya tahu tentang kompleks kuil terbesar di Asia Tenggara ini dari majalah National Geographic Traveler edisi Asia Tenggara. Kuil yang megah menjulang ini bisa dicapai dengan jalan kaki dari halte bus Air Itam. Cuaca saat itu panas sekali. Perjalanan masuk kuil yang menanjak dan melewati lorong penuh kios penjaja souvenir cukup menguras tenaga. Apalagi dengan cuaca yang panas. Basah basah basah seluruh tubuhku deh kaos yang saya pakai oleh keringat. Saya sungguh kagum dengan arsitektur kompleks kuil ini. Apalagi pagodanya yang menjulang, perpaduan arsitektur China, Thailand, dan Burma sungguh sangat mengagumkan. Dari yang saya baca di Natgeo Traveler, kompleks kuil ini dibangun oleh seorang pebisnis yang juga seorang penganut Buddha yang taat asal Fujian, China, yang bernama Beow Lean. Dengan tujuan awal untuk mengenalkan tradisi Buddha kepada masyarakat secara luas, saya rasa kemahsyuran Kek Lok Si Temple ini menjadi bukti bahwa sekarang, tradisi Buddha sudah sangat dikenal oleh masyarakat luas dan cukup banyak pengikutnya di Asia Tenggara. Terbukti juga dengan ramainya orang bersembahyang. Di sini kami juga mengunjungi patung Dewi Kwan Im berukuran raksasa di bagian atas kuil dengan menggunakan incline lift berbentuk seperti funicular seharga 2MYR sekali jalan.

Kek Lok Si Temple

Kek Lok Si Temple

Lewat tengah hari, kami berencana nongkrong dan makan siang di Straits Quay. Sekedar untuk mengganjal perut, saya membeli sebuah roti isi kari yang saya nikmati di dalam bis 204 untuk kembali ke Komtar (walaupun sebenarnya ada tanda larangan makan dan minum di dalam bis). Turun di Komtar, kami lanjut naik bis 103 menuju Straits Quay. Kunjungan ke Straits Quay ini hasil dari rekomendasi seorang kawan di sebuah jejaring sosial berbasis foto, instagram molome, yang asli dari Penang. Tempat yang katanya sedang happening dijadikan tempat nongkrong oleh kawula muda Penang ini adalah sebuah daerah properti baru yang dilengkapi dengan kompleks perumahan dan vila mewah di tepi Selat Malaka, pusat perbelanjaan, serta pelabuhan yacht bernuansa modern. Hasil kunjungan beberapa jam di Straits Quay ini adalah makan siang di Subway Sandwich dan ngemil ringan di Secret Recipe. Kalau saya sih cuma minum jus saja di Secret Recipe. Kejadian paling menarik di Straits Quay adalah pemandangan pelangi ganda di Selat Malaka usai gerimis kecil. Baru sekali ini saya melihat pelangi memiliki dua kaki, di kanan dan di kiri. Dan kunjungan singkat di Straits Quay ini diakhiri dengan menyimak penampilan bapak ibu paruh baya yang melakukan flashmob di dalam mall. Heboh dan ramai.

Patung Dewi Kwan Im

Patung Dewi Kwan Im

Tujuan selanjutnya adalah Gurney. Melipir dulu ke Gurney Plaza, sebuah mall elit di Penang, sekedar window shopping sambil menunggu perut siap diisi dengan hidangan khas di Gurney Drive Hawker Center. Di Gurney Plaza ini terjadi sebuah tragedi dengan Ombolot sebagai korban. Ketika antri di toilet, mata Ombolot ternoda oleh pemandangan seorang bapak-bapak paruh baya yang mencuci anunya di wastafel! Eww.. Alhamdulillah bukan saya yang mengalaminya. Poor Ombolot..

Karena perut sudah siap untuk diisi, tak berlama-lama di Gurney Plaza, kami melipir ke Gurney Drive Hawker Center, sebuah hawker center paling kondang se-Penang. Memasuki area pusat jajanan ini suasananya benar-benar ramai. Bukan hanya kendaraan yang padat merayap. Tapi juga orang-orang yang mayoritas beretnis China berlalu-lalang dan memenuhi sebagian besar area tempat duduk yang dikelilingi oleh gerobak-gerobak penjual bermacam kudapan. Terbagi menjadi dua area, yaitu area makanan non halal dan halal, nampak jomplang sekali. Area non halal menempati sekitar 3/4 bagian dengan tingkat keramaian lebih padat dan macam makanan yang dijual lebih beragam dibanding dengan di area halal. Saya menikmati sajian pasembur dari sebuah food stall milik seorang India yang memiliki permainan pisau yang khas dalam melayani pelanggan. Pasembur adalah makanan khas Malaysia, semacam salad atau gado-gado, berisi bermacam hidangan gorengan yang bisa dipilih sendiri oleh pengunjung. Seperti saya waktu itu memilih beberapa potong tahu goreng, udang goreng, sosis, dan beberapa gorengan lain yang bentuknya mirip risol dan lumpia. Setelah itu saya menuju ke penjualnya untuk dihitung berapa harus kita bayar dan dipotong-potong serta disiram dengan kuah kacang. Sangat mirip gado-gado namun lebih beragam isinya. Walaupun sepertinya saya hanya mengambil beberapa macam gorengan saja, namun ternyata ketika sudah dipotong-potong kok jadinya banyak. Benar-benar siksaan bagi perut saya! *elus-elus perut*. Berkumpul dengan pasukan pemakan segala memang harus siap mental dan perut.

Perut sudah kenyang, hari sudah semakin larut, badan lengket dan dekil, dan kaki pegal, sepertinya kombinasi yang sangat pas untuk kami kembali ke penginapan. Karena menunggu bis menuju Komtar lama sekali, akhirnya kami memutuskan naik taksi menuju penginapan.

Pose andalan Kokoh

Pose andalan Kokoh

Inggrid di Owl Museum

Inggrid di Owl Museum

Pelangi ganda di Straits Quay

Pelangi ganda di Straits Quay

Straits Quay

Straits Quay

Flashmob di Strait Quay

Abang India penjual Pasembur

Dipilih-dipilih pasemburnya

Suasana Gurney Drive Hawker Center kala malam

to be continued…