Bersenang-senang di Penang (Part 2)


Day 3

Wisma Kastam

Pagi kedua saya berada di Penang. Sarapan pagi kali ini kami tinggal bertiga, karena Inggrid sudah terbang kembali ke Jakarta. Seperti pagi sebelumnya, usai sarapan saya pun mengisi tumbler  kosong yang sengaja saya bawa dari rumah dengan air putih yang tersedia di meja makan Hutton Lodge. Lumayan kan ngirit beberapa ringgit. Selain irit kan bisa ngurangin sampah plastik bekas kemasan air minum *pengennya go green gitu*

Sekitar pukul 7.30, kami menuju halte bis dekat minimart 7 Eleven di Jalan Penang untuk menunggu bis Free Shuttle CAT (Central Area Transit) yang akan membawa kami keliling kota Georgetown. Ya, pagi itu tujuan kami memang eksplore Georgetown. Bis gratisan yang sepertinya memang disediakan untuk pelancong ini benar-benar sangat memudahkan para pelancong untuk keliling Georgetown. Saya salut lah dengan Pemerintahnya yang concern banget dengan wisatawan.

Walaupun Kokoh sudah keliling Georgetown di hari pertama bersama Inggrid, dengan ikhlas dia tetap mau menemani saya dan Ombolot untuk keliling Georgetown. Selepas turun di terminal Jetty (Weld Quay), kami menyusuri jalanan Georgetown. Bangunan yang kami lewati di sekitar Jetty kebanyakan adalah bangunan bergaya kolonial. Wisma Kastam (Bea Cukai-nya Penang) dan Bangunan Wawasan diantaranya. Sepanjang jalan, kami lebih banyak berhenti untuk jeprat-jepret kamera. Suasana pagi yang tadinya sepi menjadi agak ramai ketika kami belok ke Whiteaways Arcade di Lebuh Pantai. Oooh ternyata hari itu adalah Car Free Day. Jadi banyak orang lokal yang beraktifitas mengisi hari liburnya. Suasana pagi itu diramaikan oleh muda-mudi yang bermain sepatu roda, anak-anak yang mengayuh pedal sepeda dengan ceria, dan beberapa orang yang sedang syuting iklan. Cukup semarak, walaupun pertokoan di sana belum memulai aktifitasnya.

Car Free Day

Car Free Day

Subway

Subway

Langkah kaki kami terhenti di sebuah sudut jalan karena menemukan…. Subway Sandwich. Tak kuasa menahan godaan lezatnya setangkup roti honey oat berisi tuna, sayuran, dan saus BBQ & chili, saya pun mengisi perut lagi yang bahkan belum kosong. Ya, pagi belum lewat dan kami sudah menyantap sarapan kedua. Ya gimana, selain karena mumpung kami berada di negara yang ada Subway-nya, ya memang enak juga sih sandwich-nya. Thanks to Kokoh yang sudah mengenalkan makanan enak ini pada saya *mendadak lapar pengen makan Turkey Breast-nya Subway*.

Usai sarapan ronde kedua itu, kami lanjut perjalanan menyusuri lorong-lorong kota Georgetown. Di ujung Lebuh Pantai, berderetan di Lebuh Downing dan dekat dengan Victoria Memorial Clock Tower, nampak gedung-gedung berlanggam kuno namun mewah dipergunakan sebagai kantor-kantor Bank terkenal seperti Standard Chartered dan HSBC. Memang menyusuri jalanan Georgetown ini seperti dibawa kembali ke masa lalu menikmati nostalgia berbentuk bangunan klasik yang sangat eksotis. Dengan kondisi kota penuh dengan bangunan bersejarah, tidak heran, Georgetown memperoleh predikat Heritage Site dari UNESCO.

Merasakan matahari pagi yang cukup terik, kami memutuskan untuk rehat sejenak di bawah pepohonan di sekitaran Town Hall dan CIty Hall di Padang Kota Lama. Saya merasa Padang Kota Lama ini mirip sekali dengan Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Pepohonan untuk berteduh juga sama-sama rindang. Yang membedakan adalah Padang Kota Lama ini lebih luas, dikelilingi dengan bangunan-bangunan eksotis, dan tentu saja lebih terawat dan bersih. Masih beruntung di sekitaran Lapangan Blang Padang terdapat gedung Museum Tsunami, yah.. bisa lah dibandingkan dengan keeksotisan bangunan di Georgetown.

St George’s Anglikan Church

Goddess of Mercy Temple

Masjid Kapitan Keling

Perjalanan kami berlanjut ke Jalan Kapitan Keling dimana terdapat tiga tempat ibadah dari tiga agama dengan pemeluk agama terbesar di Penang yang terletak berdekatan, yaitu St George’s Anglikan Church, Goddess of Mercy Temple, dan Mesjid Kapitan Keling. Benar-benar memperlihatkan kerukunan umat beragama kan.. Khusus untuk Masjid Kapitan Keling, lagi-lagi mengingatkan saya dengan kota Banda Aceh. Masjid Kapitan Keling tersebut mirip dengan Masjid Raya Baiturrahman, tetapi jelas lebih megah Masjid Raya Baiturrahman dong.

Mau pilih trail yang mana?

Karena hari sudah mulai siang, kami pun mengeksekusi rencana kami selanjutnya, yaitu menuju ke Tropical Spice Garden. Perjalanan menuju ke Tropical Spice Garden yang memakan waktu sekitar 40 menit ini kami tempuh menggunakan bis Rapid Penang nomor 101 dari Jetty. Saking lamanya perjalanan, di dalam bis saya sampai ketiduran. Sekitar setengah perjalanan, bapak-bapak India di samping saya membangunkan saya dan menanyakan kemana saya akan pergi. “Maaf, lanjutkan saja tidurmu”, jawab bapak itu ketika saya jelaskan saya mau ke Tropical Spice Garden bersama dua orang kawan. Mungkin bapak itu tidak mau saya ketiduran dan kelantur, makanya saya dibangunkan. Namun, gara-gara dibangunin itu, saya malah tidak bisa tidur lagi. Akhirnya saya menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Untung pemandangan sekitar Batu Ferringhi enak dinikmati.

Tropical Spice Garden ini berada pas di pinggir jalan raya Teluk Bahang. Jadi, turun bis langsung berada di depan gerbangnya. Tiket masuk ke taman ini seharga 15MYR sudah dilengkapi dengan peta taman bergambar denah 3 buah trail yang bisa dijelajahi, yaitu Spice Trail, Ornament Trail, dan Jungle Trail. Kami menyusuri trail dengan penunjuk jalan yang berwarna orange, Spice Trail. Awalnya saya mengira apa menariknya coba melihat tumbuhan rempah-rempah yang sudah sering kita lihat di sekitar. Secara, kita di Indonesia saya yakin lebih beragam memiliki rempah-rempah. Namun ternyata apa yang saya lihat membuat iri dan kagum. Perjalanan mengenal berbagai macam rempah-rempah menjadi begitu menarik di sini. Lebih dari 100 jenis rempah dan berbagai macam tumbuhan obat-obatan menyambut saya saat menyusuri Spice Trail. Ditambah dengan papan kecil yang diletakkan di tiap-tiap jenis tumbuhan tersebut yang bertuliskan deskripsi singkat serta nama dalam Bahasa Melayu, Inggris, dan Latin secara tidak sadar benar-benar menambah pengetahuan saya tentang rempah. Selain itu kami pun sangat menghibur membaca deskripsi yang kocak. Beberapa kali kami tertawa terbahak. Siapa coba yang tidak tarbahak melihat tanaman yang bernama… sundal malam?!

Silakan menunya dibuka..

Cukup puas kami menjelajah Spice Trail, kami melanjutkan ke Jungle Trail. Namun, karena tergoda dengan papan petunjuk bertuliskan Restaurant (damn! maafkan aku perut, aku sering tergoda makanan), akhirnya kami menyerah dan menuju ke Restaurant Tree Monkey. Restaurant yang masih berada dalam kompleks Tropical Spice Garden ini berada di atas platform kayu. Dari pelataran restoran yang beralas kayu ini pengunjung bisa melihat jalan raya di bawah serta bisa melihat langsung ke Selat Malaka. Pemandangan yang untuk kesekian kali mengingatkan saya dengan Aceh. Mirip dengan pemandangan di daerah Geurute, Aceh Jaya. Angin semilir yang membuai, pepohonan rimbun, serta atmosfer bangunan bernuansa Bali dan Thai membuat adem suasana siang itu. Rasa lelah keliling Tropical Spice Garden rasanya langsung terbayar. 

Saya memesan minuman mocktail Baby Monkey dan makanan Pinnaple Fried Rice. Ombolot memesan menu yang cukup aneh, yaitu Miang Kham (Thai Spice Roll). Hidangan tersebut berupa daun sirih liar beberapa lembar, irisan jahe mentah, bawang merah mentah, kacang tanah, cabe rawit, ebi, kelapa gongseng jeruk nipis, dan sambal unik. Karena penasaran, saya pun ikut mencoba. Cara makannya adalah irisan rempah tersebut diletakkan di atas daun, dibubuhi dengan sambal, bungkus daunnya, kemudian.. hap! masukin mulut. Sambal yang terasa manis, krenyes-krenyes daun sirih dipadu dengan aroma jahe dan bawang merah yang menguar dalam mulut, rasa pedas cabai rawit, kecut jeruk nipis, dan campuran lainnya menyatu dalam mulut. Enak sekali! Benar-benar susah dideskripsikan enaknya. Pineapple Fried Rice nya juga enak banget kok. Setelah menu makan sudah tandas, kami memesan nutmeg soda. Walaupun harganya cukup mahal (makan bertiga habis 150MYR), namun sangat worth it! Sebelum kami balik ke Georgetown, kami menyempatkan mengunjungi toko souvenir. Banyak sekali dijual produk bumbu-bumbu instan, produk minyak beraroma rempah, serta kerajinan tangan seperti kaos, postcards, dan tas.

Miang Kham. Mari menyirih..

Hari menjelang sore ketika kami sampai di Lorong Burma. Di sini kami mengunjungi 2 buah temple yang berhadap-hadapan, yaitu Dhammikarama Burmese Temple dan Wat Chayamangkaram Thai Buddhist Temple *lidah keseleo*. Namun sayangnya, karena kesorean, ketika kami sampai di sana kuilnya sudah tutup. Yah, cukuplah menikmati arsitektur kedua kuil ini dari halaman depan. Sempat juga saya melongokkan kepala ke dalam Thai Temple. Ternyata di dalamnya terdapat patung Sleeping Buddha.

Wat Chayamangkaram Thai Buddhist Temple

Dhammikarama Burmese Temple

Cuaca sore yang mendung akhirnya menghasilkan gerimis kecil. Untungnya, ketika gerimis turun kami sudah duduk manis di halte di Jalan Kewalei menunggu bis 103 yang akan membawa kami kembali ke Georgetown. Kata Kokoh sih dari temple tadi bisa pakai bis 101 dari Jalan Burma untuk kembali ke Georgetown, tapi kami memilih menunggu bis 103 yang jalannya 30 menit sekali! Cuaca cukup dingin akibat gerimis dipadu dengan menunggu bis yang cukup lama membuat saya merasa… lapar. Saya pun heran kenapa di trip kali ini saya sering sekali merasa lapar. Sekitar jam 7 lewat baru kami mendapatkan bis 103 untuk menuju ke Esplanade Hawker Center yang terletak di dekat Padang Kota Lama untuk makan malam.

Suasana Esplanade Hawker Center ini tidak seramai Gurney Drive, walaupun sama-sama dibagi dengan area halal dan non-halal. Nilai lebih nongkrong di sini adalah tempatnya yang berada di pinggir laut. Kalau di Banda Aceh mungkin seperti di Ulee Lheue yang sekarang sudah tidak beroperasi malam hari. Kami kembali ke penginapan setelah makan dan berfoto ria lagi di depan Town Hall.

Town Hall kala malam

Day 4

Pagi terakhir saya di Penang. Karena flight saya kembali ke Medan boarding pada pukul 11.05, maka usai sarapan saya langsung check out dan menuju ke terminal Jetty untuk mencari bis 401E yang menuju ke airport di Bayan Lepas. Karena saya masih buta arah di Georgetown, minta tolonglah saya sama Kokoh dan Ombolot untuk menemani menuju terminal. Awalnya sih mau nunggu di Komtar aja, tapi dengan pertimbangan semua bis berangkat dari Jetty, akhirnya kami berjalan kaki ke Jetty. jalan kaki ke Jetty kami tempuh sekitar setengah jam. Cukup melelahkan juga sih ya dengan tas ransel di punggung jalan kaki selama itu. Namun ternyata, sebelum sampai Jetty (padahal terminalnya udah keliatan), bis 401E terlihat mulai bergerak. Tidak mau mengambil resiko ketinggalan pesawat, akhirnya saya naik taksi saja ke airport dengan tarif 35MYR. Padahal kalau pakai bis kan bisa gratis karena masih punya Rapid Penang Passport. Kalau tahu begini, dari awal mending nungguin taksi di depan penginapan atau di Komtar.

Saya pun kembali ke Tanah Air tercinta, sedangkan Kokoh dan Ombolot lanjut ke Thailand. Til we meet again Koh & Om. Sampai jumpa di trip berikutnya.

Hiasan dinding terbuat dari metal di Georgetown

Terminal Weld Quay, Jetty

Spice Boy?

Cengkeh

Tumbuhan rempah di Tropical Spice Garden

Saya di depan Thai Temple

The end.