[Review] Nonton “Postcards from The Zoo” di Episentrum


Kapan terakhir kali kawan-kawan ke kebun binatang? Kalau saya, karena memang di Banda Aceh tidak ada kebun binatang, mungkin sekitar tahun 2008 saya terakhir kali ke kebun binatang. Tapi terima kasih kepada kawan-kawan dari Episentrum (sebuah komunitas pecinta kesenian di Banda Aceh) sudah membawa kebun binatang dalam bentuk film ke Banda Aceh. Ya, apalagi kalau bukan film Postcards from The Zoo, film yang akhir-akhir ini cukup heboh dibicarakan di jejaring sosial karena masuk dalam nominasi di beberapa festival film internasional.

Poster Postcard from The Zoo
Sumber Gambar: http://kineruku.com/postcards-from-the-zoo/

Saya merasa beruntung bisa menonton film yang diputar perdana di Banda Aceh hari sabtu (16/6) kemarin ini. Jarang sekali kan ada film sekaliber festival internasional yang baru rilis diputar di Banda Aceh. Maka, ketika tahu akan ada pemutaran film ini saya langsung meluncur ke Episentrum untuk membeli tiket seharga Rp. 20.000 (include poster dan snack). Dan lebih beruntungnya lagi, saya tidak hanya menonton film, namun juga bertemu dan bisa berdiskusi dengan Meiske Taurisia, Produser film ini.

Film dibuka dengan adegan anak kecil berumur sekitar 3 tahun yang sendirian berjalan di kebun binatang sambil berteriak memanggil bapaknya. Dialah Lana (Ladya Cheryl), seorang gadis cilik yang ditinggal oleh bapaknya di kebun binatang Ragunan. Sejak saat itu, Lana tinggal di kebun binatang bersama para satwa dan pekerja di sana. Adegan-adegan Lana dan perawat satwa berinteraksi dengan beragam satwa seperti Puji, seekor harimau yang malas makan daging ayam, Dania, seekor kuda nil yang suka sekali disuapi ketika makan, dan tentu saja Jera, seekor jerapah yang merupakan satwa paling intens berinteraksi dengan Lana di film ini, bisa membuat saya mengenang pengalaman ke Ragunan tahun 2008 lalu, yang kebetulan juga merupakan tempat syuting film ini. Kisah sehari-hari Lana di kebun binatang disampaikan dengan sangat menarik. Deskripsi dan fakta-fakta unik tentang satwa yang disampaikan oleh Lana dan beberapa karakter lain di film ini selain menambah pengetahuan saya juga memperlihatkan betapa hubungan manusia dengan satwa bisa terjalin sangat indah. Benar-benar menyentuh hati.

Kehidupan Lana mulai berubah ketika ada seorang pesulap berpakaian cowboy (Nicholas Saputra) muncul di Ragunan. Rasa penasaran Lana terhadap cowboy ini berujung pada perginya Lana dari kebun binatang mengikuti sang pesulap ini kemana pun dia pergi. Kehidupan Lana di dunia luar sebagai asisten sulap rupanya tidak bertahan lama. Tiba-tiba sang pesulap menghilang. Kesendirian Lana akibat ditinggal pergi oleh sang pesulap menggiringnya untuk menjadi seorang masseuse. Sadar dengan kesendiriannya, Lana pun kembali ke rumahnya, kebun binatang.

Mungkin sebagian orang merasa film ini cukup membosankan dengan alur yang lambat dan di beberapa bagian sangat miskin dialog. Namun bagi saya tidak membosankan. Saya sangat menikmati visualisasi kebun binatang serta interaksi satwa dengan manusia di film ini. Sangat imajinatif. Kebun binatang Ragunan tidak seindah di film ini ketika saya berkunjung ke sana.

Setelah pemutaran film selesai, saya dan para penonton lain berkesempatan untuk berbincang dengan mbak Dede, panggilan akrab Meiske. Mbak Dede bercerita banyak tentang film ini. Bagaimana karakter Lana adalah representasi dari satwa itu sendiri, bahwa adegan Lana memegang perut Jera adalah menggunakan efek karena memang tidak mungkin memegang perut jerapah, bahwa karakter Om Dave yang seperti wikipedia berjalan dan ternyata diperankan oleh suami mbak Dede adalah sama pintarnya dengan aslinya, bahwa karakter perawat satwa adalah benar-benar perawat satwa di Ragunan, dan cerita-cerita lain dibalik produksi film ini sangat menarik disimak. Terlebih ketika mbak Dee menjelaskan tentang Role of Public Funded Film dengan sebuah slide presentasi yang bagus.

Role of Public Funded Film by Meiske Taurisia

Jadi, menurut mbak Dede, berdasarkan Explore Experiment, film dibagi menjadi dua. Yaitu mass, atau film kebanyakan (misalnya Pretty Woman), dan personal, atau film dengan cita rasa pribadi (seperti halnya Postcards from The Zoo). Berdasarkan industri, film dibagi menjadi box office, distribusi film yang dipilih oleh agen, dan self-distribution (saya menyimpulkan ini adalah film indie). Biasanya, film dengan explore experiment yang personal lebih banyak ditampilkan di festival film dengan penonton kebanyakan adalah penonton yang kritis seperti halnya pecinta film dan kritikus film, sedangkan film dengan explore experiment yang mass, yang lebih banyak ditampilkan di bioskop komersial, tentu saja ditonton orang banyak dari berbagai kalangan yang kemudian mendorong film mass tersebut menjadi box office. Hmm.. Saya jadi tercerahkan kenapa sering sekali ada film yang tampil di festival memiliki cerita, plot, dan gaya bertutur yang tidak umum.

Di samping kendala molornya waktu pemutaran sampai hampir setengah jam dan listrik mati di 15 menit akhir film, saya sangat puas dengan acara nonton film Postcards from The Zoo di Episentrum ini. Setelah pengalaman kemarin, sepertinya saya akan ikut nonton film bareng lagi di Episentrum nih.