Sehari di Samahani


Hari minggu (3/6) kemarin tak seperti biasanya. Saya bangun pagi, bersih-bersih diri, sarapan, dan sudah rapi sebelum matahari tinggi. Padahal rutinitas saya selama beberapa minggu terakhir selain long weekend adalah bermalas-malasan, sekedar membaca buku atau majalah, menonton film di kamar, atau bahkan tidur seharian. Bagi penikmat traveling seperti saya, sudah cukup lama memang akhir pekan tidak saya gunakan untuk keluar rumah. Namun hari itu saya ada janji dengan seorang kawan untuk mengajaknya ke Samahani.

Jalan menuju air terjun

Ini bukan kunjungan pertama saya ke Samahani. Beruntung hujan badai yang melanda Banda Aceh beberapa hari terakhir, kali ini tidak menunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Tanda bahwa perjalanan kami kali ini direstui oleh Sang Penjaga para pejalan. Motor kuning kesayangan saya pun melaju menyusuri jalan utama Banda Aceh-Medan. Setengah jam kemudian, sampailah kami di Samahani yang merupakan ibukota Kecamatan Kuta Malaka, Aceh Besar. Namun tujuan utama kami bukan di kota kecil ini, melainkan adalah sebuah air terjun yang tersembunyi di balik perbukitan tidak jauh dari Samahani. Hilangnya papan petunjuk jalan sebuah perusahaan peternakan sapi sempat membuat saya kelantur hampir sampai Indrapuri. Papan petunjuk arah inilah yang menjadi pedoman di kunjungan saya sebelumnya. Dengan mengandalkan ingatan yang cukup baik, akhirnya kami bisa menyusuri jalan tanah menyibak perbukitan yang termasuk rangkaian Bukit Barisan ini.

Air Terjun Kuta Malaka

Perjalanan off road kali ini terasa lebih berat dibandingkan terakhir saya ke sini tahun lalu. Jalanan yang saya lalui masih tetap sama, menanjak curam dan menyeberangi enam sungai kecil yang memotong jalan. Bahkan di beberapa titik, terpaksa kawan saya turun agar motor tetap bisa melaju. Saya pun masih tetap mengagumi padang rumput hijau yang terhampar di lereng perbukitan dengan pemandangan Gunung Seulawah. Pantas saja banyak hewan ternak yang betah bersantai di sana.

Usai sudah menyusuri jalan terjal yang menanjak. Sampailah kami di tepi hutan, tempat masuk menuju air terjun yang dikenal dengan Air Terjun Samahani atau Kuta Malaka. Setelah memarkir motor, kami pun masuk ke dalam hutan menapaki jalan setapak yang ditutupi oleh dedaunan. Jalan yang kami lewati kali ini tampak sangat berbeda dengan kunjungan sebelumnya. Beberapa pohon tumbang memblokade jalan karena angin badai yang melanda beberapa hari terakhir. Beruntung ingatan saya masih tajam dengan rute menuju air terjun. Suara deburan air yang semakin kencang menandakan kami sudah dekat dengan air terjun. Begitu sampai di bawah air terjun yang tidak terlalu tinggi ini, saya juga masih tetap berdecak kagum layaknya pertama kali berkunjung ke sini.

Air yang mengalir deras

Air mengalir sampai jauh…

Selain kami berdua, ada beberapa anak SMP yang bermain air di sini. Setelah mengobrol dengan mereka, saya jadi tahu tentang adanya event balap mobil off road di Kuta Malaka ini yang membuat suasana menjadi ramai. Dari mereka juga, saya jadi tahu bahwa pondok di atas bukit yang saya kira selalu kosong adalah tempat berjualan makanan ketika ada event balap mobil off road. Ketika asyik menikmati segarnya air pegunungan membasuhi tubuh, suasana di sekitar air terjun ini pun semakin ramai. Beberapa pemuda menaiki jalan setapak di sisi kiri air terjun untuk menuju air terjun yang lebih tinggi. Kabarnya, air terjun ini bertingkat tujuh. Namun, ketika ditelusuri ke atas, saya hanya bisa menemukan lima tingkat air terjun. Jangan dibayangkan air terjunnya setinggi di Tawangmangu atau di Kaliurang, air terjun ini untuk satu tingkatnya kira-kira hanya memiliki tinggi sekitar tiga meter.

Setelah puas bermain air, kami memutuskan untuk pulang. Bukannya menjadi sepi, semakin siang suasana menjadi makin ramai. Namun sayang, tidak semua pengunjung peduli terhadap lingkungan. Beberapa anak yang ngobrol dengan kami tadi, semuanya merokok dan membuang puntungnya di aliran sungai. Pemuda-pemuda tanggung yang menaiki jalan setapak banyak membawa makanan ringan dan bungkusnya dibuang begitu saja. Di bebatuan sekitar air terjun juga terlihat bekas corat-coret, bahkan sebuah tong sampah kecil yang ada pun tak kuat lagi menampung sampah dari pengunjung. Alhasil banyak sampah yang tertinggal di sisi sungai. Sedih melihatnya. Mungkin memang saya belum mampu ikut membersihkannya, namun paling tidak, saya tidak mau ikut mengotorinya.

Perjalanan kami di Samahani diakhiri dengan nongkrong di Warkop Dua Saudara yang berada tepat di pinggir jalan raya Banda Aceh-Medan. Hal yang istimewa dari warkop ini adalah sajian roti selai-nya yang sudah terkenal menggugah selera. Selain kami, beberapa rombongan bermobil yang melewati Samahani juga tergoda untuk menyicip roti selai ini. Saya yang memang bukan penggemar berat roti selai, hanya menikmati satu porsi roti yang disajikan di atas cawan kecil. Cukup nikmat ditemani air nira yang disesap pelan-pelan. Berbeda dengan kawan seperjalanan saya yang sepertinya telah  jatuh hati dengan roti selai Samahani, dia menghabiskan dua porsi roti dan membawa pulang dua porsi lainnya.

Kenyang sehabis makan roti selai, kami pun melanjutkan perjalanan pulang menuju Banda Aceh saat hari menjelang sore. Saya senang bisa menghabiskan hari minggu kali ini tanpa sia-sia. Senang bisa berbagi pengalaman dengan kawan yang baru pertama kali ini mengunjungi Samahani dan bisa berbagi cerita. Ternyata perjalanan berkali-kali di destinasi yang sama belum tentu memiliki cerita yang sama.

Warkop Dua Saudara

Roti Selai Samahani

Flowing Water

Gunung Seulawah nampak di kejauhan

Perbukitan Hijau

Tulisan ini juga dimuat di eMagz The-Travelist pada 9 Juni 2012.