Ziarah Makam Pocut Meurah Intan


Makam Pocut Meurah Intan

Siapa tak kenal pahlawan asal Aceh seperti Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Panglima Polem, Tengku Chik Di Tiro, dan Laksamana Malahayati? Ya, ibarat sebuah padepokan silat yang mencetak pendekar-pendekar sakti, tanah rencong Aceh telah melahirkan pahlawan-pahlawan pemberani penentang tirani penjajah. Selain nama di atas, ada sebuah nama lagi yang tidak kalah hebat. Pocut Meurah Intan, pejuang yang sempat mendapatkan label sebagai most wanted person dari penjajah Belanda ini adalah seorang puteri dari keluarga bangsawan di Kerajaan Aceh. Dari namanya sudah bisa ditebak. Pocut Meurah adalah nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga Sultan Aceh. Pocut Meurah Biheu, begitu ia biasa dipanggil. Biheu adalah sebuah kenegerian yang pada masa Kesultanan Aceh berada di bawah wilayah Sagi XXXI Mukim, Aceh Besar. Bersama suaminya, Tuanku Abdul Majid, ia dikenal sebagai tokoh dari Kesultanan Aceh yang paling anti Belanda.

Menurut catatan sejarah, perjuangannya terjadi di akhir abad 19 sampai awal abad 20. Pada 11 November 1902, ia dikepung oleh serdadu khusus Belanda dari Korps Marchausse. Dengan dua tetakan luka di kepala, dua di bahu, satu urat kening dan otot tumitnya putus, terbaring di tanah penuh dengan darah dan lumpur, namun ia tetap tidak menyerah. Rencong masih tergenggam kuat di tangannya. Semangat pantang menyerahnya sangat dikagumi Belanda. Bahkan Veltman, pimpinan Korps Marcchausse memberi gelar Heldhafting (Yang Gagah Berani) kepada Pocut Meurah Intan. Berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, tanggal 6 Mei 1905, No. 24, ia beserta putranya, Tuanku Budiman, dan seorang anggota keluarga kesultanan bernama Tuanku Ibrahim diasingkan ke Blora, Jawa Tengah. Pocut Meurah Intan berpulang ke-rakhmatullah pada tanggal 19 September 1937 di Blora dan dimakamkan di sana. Sekarang namanya diabadikan sebagai nama Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan di Seulawah, Aceh Besar.

Sejak saya membaca sebuah artikel di blog iloveaceh  tentang Pocut Meurah Intan, saya bertekad untuk melakukan ziarah ke makam Pocut saat saya mudik ke Jawa. Sehari setelah HUT Kemerdekaan RI ke-67, saya menyempatkan diri untuk menunaikan tekad saya. Walaupun belum tahu di mana letak makamnya, berbekal hasil googling, petunjuk yang saya dapat adalah makam Pocut Meurah Intan berada di desa Temurejo, sekitar 5 km arah utara alun-alun kota Blora. Perjalanan ke Blora dari rumah saya membutuhkan waktu sekitar 1 jam.

Matahari belum sepenggalah ketika saya memutar gas motor keluar dari rumah. Sekitar 13 menit saya menyusuri jalan raya yang berdebu tebal, saya sampai di kota Rembang. Karena tujuan pertama saya ke Museum Kartini ternyata tutup, saya langsung melanjutkan perjalanan ke selatan menuju kota Blora. Sudah lama sekali saya tidak berkunjung ke kota yang terkenal dengan Suku Samin ini. Berdasarkan google maps, untuk mencapai desa Temurejo diharuskan berbelok ke kanan di sebuah perempatan sekitar 5 km sebelum memasuki kota Blora. Memang ada sebuah perempatan berlampu lalu lintas yang terdapat petunjuk jalan ke kanan menuju Taman Makam Pahlawan yang saya lewati, namun karena saya kurang yakin, saya lanjutkan perjalanan menuju kota Blora untuk menemukan alun-alun kota. Dari alun-alun itulah saya lalu berkendara ke utara mengikuti petunjuk yang saya temukan di sebuah artikel. Ketika menyusuri jalan tersebut, saya pun bertemu dengan perempatan. Namun saya tetap lurus ke utara melewati perempatan tanpa berbelok. Sekitar 1 km dari sana, jalanan mulai sepi dan saya bertemu sawah di kanan kiri jalan. Karena agak ragu, saya mulai berbalik ke perempatan yang sebelumnya saya lewati. Saya belok kiri dan menemukan Taman Makam Pahlawan. Saya memutuskan berhenti di sana.

Makam Pocut Meurah Intan berukirkan kalimat Syahadat

Pikir saya, tempat paling logis untuk mencari makam seorang pahlawan adalah di Taman Makam Pahlawan. Saya lalu memasuki kompleks makam dan bertemu dengan seorang penjaga. “Ow, makam Pocut Meurah Intan prapatan ngarep iki iseh ngalor mas. Sekitar 1 km mengko ono bong Chino ning kiri dalan. Lha kanan dalan bong kuwi makam Pocut Meurah Intan”, jawab penjaga tersebut ketika saya menanyakan dimana makam Pocut Meurah Intan. Ternyata jalan yang tadi saya lewati sudah benar. Saya pun mengikuti sarannya.

Saya susuri lagi jalan dengan pemandangan persawahan itu. Saya melajukan motor pelan-pelan. Saya amati kanan kiri. Tepat berhadapan dengan Bong Chino, sebutan untuk areal perkuburan warga Tiong Hoa oleh masyarakat Jawa, terdapat sebuah gapura di depan jalan desa bertuliskan Desa Temurejo. Saya berada di desa yang benar. Sekarang tinggal mencari di mana makam Pocut. Saya masuk ke jalan desa tersebut. Keyakinan saya akan menemukan makam Pocut semakin mantap karena ternyata jalan desa tersebut bernama Jalan Cut Meurah Intan. Saya mulai kebingunan ketika jalanan yang tadinya beraspal bagus mulai berubah menjadi jalanan berbatu. Di kanan kiri rumah penduduk. Namun saya tidak menemukan seorang pun yang bisa saya tanyai. Ketika saya memutuskan untuk memutar balik, saya bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang sedang bersantai di depan rumah. Kata orang, petunjuk jalan terbaik adalah penduduk lokal. Saya pun bertanya, “Bu, nderek tanglet, makame Pocut Meurah Intan teng pundi nggih Bu?”. “Sopo kuwi? Ora reti aku”, jawabnya. Sempat saya jelaskan juga siapa Pocut Meurah Intan. Tetapi tetap saja ibu itu tidak tahu. Saya pun kembali menyusuri jalan dan mencari orang lain yang bisa ditanyai lagi.

Saya berada di depan gapura desa lagi. Kebetulan ada seorang pria dan 2 orang wanita paruh baya yang nampaknya berprofesi sebagai petani bersepeda menuju ke arah saya. Saya sapa mereka dan bertanyalah saya tentang makam Pocut Meurah Intan. Ketiganya juga tidak tahu. Saya pun semakin kebingungan. Namun, harapan saya untuk menemukan makam Pocut terbit kembali saat seorang remaja yang sedang mengendarai motor berhenti. Remaja ini pun tidak tahu tentang Pocut Meurah Intan. Bahkan saya sampai menjukkan gambar makam Pocut dari pencarian google, namun hasilnya tetap nihil. Atas saran seorang pria muda berkendara motor yang ikut berhenti di kerumunan kami, saya ditunjukkan rumah Pak Lurah untuk menanyakan lebih lanjut tentang makam Pocut Meurah Intan. Sayang sekali Pak Lurah sedang tidak ada di tempat. Namun beruntungnya saya, Ibu Lurah mengetahui tentang makam Pocut dan menunjukkan lokasinya kepada saya. “Cukup sering Mas ada orang asal Aceh yang berziarah ke sana”, tutupnya ketika saya undur diri. Memang benar, petunjuk jalan terbaik adalah penduduk lokal. Tapi, kalau sudah stuck, tanyalah pada Lurah. Insya Allah tahu.

Mbah Sai’un, Sang Penjaga Makam

Areal pemakaman umum yang bergapura pohon bambu itu memang berada di depan Bong Chino, tetapi letaknya sebelum gapura masuk desa. Setelah saya clingak-clinguk mencari makam Pocut diantara ratusan nisan, saya melihat seorang pria yang sudah renta sedang leyeh-leyeh di bawah pepohonan rindang. Saya hampiri dan bertanya tentang makam Pocut. “Iya. Ning kene makame”, kata pria tua itu sambil menunjukkan letak makam Pocut. Saya pun mengikutinya. Akhirnya pencarian saya selesai. Makam berbatu nisan warna hitam itu berukirkan kalimat syahadat dan bertuliskan “Pocut Meurah Intan. Wafat: 20 September 1937”. Walaupun tanggal yang tertera di nisan berbeda dengan catatan sejarah tetapi saya yakin, tidak salah lagi, ini makam wanita Aceh pemberani itu. Seketika mata saya berkaca-kaca. Betapa biasa makam itu berjejer dengan makam-makam lain. Tidak tampak seperti makam seorang pejuang bangsa yang kebanyakan diistimewakan. Bahkan beberapa makam warga nampak lebih mewah dibandingkan dengan makam Pocut. Bagi yang tidak tahu siapa itu Pocut Meurah Intan, pasti akan berpikir jasad yang terkubur di dalam makam itu adalah orang biasa. Walaupun makamnya sangat biasa untuk seorang pahlawan bangsa, tapi saya yakin, di alam sana Pocut diberikan sebuah istana yang megah oleh Sang Pencipta. Sebaris doa meluncur dari mulut saya untuk Pocut.

Sambil duduk di depan makam Pocut, saya berbincang dengan Mbah Sai’un, nama pria tua itu. 34 tahun dari 79 tahun usianya dia habiskan untuk mengabdi sebagai pengurus areal perkuburan ini. Setiap hari dari jam 7 pagi sampai menjelang maghrib dia berada di sini. Rutinitasnya setiap hari adalah menjaga dan membersihkan areal perkuburan ini. “Biyen Pocut iki iso tekan Blora melu karo Pak Wakil Gubernur Abu Umar Imam Chourmain sing makame ning jejer makame Pocut”, kata Mbah Sai’un ketika saya tanya bagaimana sejarah Pocut Meurah Intan bisa sampai ke Blora. Tetapi, ketika saya ketik nama “Abu Umar Imam Chourmain” di mesin pencari google, saya tidak menemukan petunjuk sama sekali. “Pemda wis tuku lahan arep dinggo mindah jasade Pocut”, lanjut Mbah Sai’un bercerita. Setahu saya pada tahun 2001 Pemerintah Provinsi Aceh memang pernah berencana memindahkan jasad Pocut ke Aceh. Namun rencana itu batal karena berdasarkan wasiat Pocut kepada RM Ngabehi Dono Muhammad, seorang sahabatnya, Pocut lebih suka dimakamkan di Blora. Mungkin memang benar seperti yang diceritakan Pak Sai’un, Pemda Blora sudah membeli tanah untuk dipakai sebagai areal pemakaman Pocut Meurah Intan yang lebih layak. Tapi berita itu tidak bisa saya konfirmasi kebenarannya. Semoga saja benar.

Hasil kunjungan singkat saya memperlihatkan bahwa tidak banyak yang mengetahui tentang Pocut Meurah Intan di Blora. Semoga hanya kebetulan saja saya bertemu dengan orang-orang yang tidak mengetahui tentang Pocut. Semoga masih banyak dari kita yang mengingat kisah kepahlawanan Pocut dan meneladaninya. Apalagi dalam momen peringatan kemerdekaan seperti sekarang. Usaha kita untuk sekedar mengingat jasa para pahlawan tidak ada apa-apanya apabila dibandingkan dengan perjuangan mereka. Seperti kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya”. Apakah kita sudah cukup menghargai pahlawan kita?