Weekend Escape: Berkemah di Pulau Breueh


Pukul 14.00 tepat kapal Satria Baru mulai bersiap meninggalkan Pelabuhan Lampulo. Hampir setiap hari kapal nelayan ini mengangkut barang-barang dan penumpang menuju Desa Gugop di Pulau Breueh, sebuah pulau yang masuk dalam wilayah adminstrasi Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar. Saya bersama keempat kawan saya langsung naik ke bagian atap ruangan nahkoda begitu kapal ini mencapai hilir Krueng Aceh. Pagi hari yang sempat hujan kecil menguntungkan kami karena matahari tidak begitu galak siang itu. Sambil menyantap nasi bungkus yang kami persiapkan untuk makan siang, kami menikmati semilir angin dan pemandangan elok di perairan ujung barat Indonesia ini.

Perjalanan sekitar 2,5 jam tampak tidak terasa. Walaupun sempat deg-degan karena kapal bergoyang cukup kencang di perairan dekat Pulau Nasi, namun secara keseluruhan saya sangat menikmati perjalanan ini. Kapal pun berlabuh di pelabuhan kecil di Desa Gugop. Hiruk pikuk penduduk desa yang menurunkan barang-barang menyambut kami. Sore itu mereka menurunkan barang-barang kebutuhan pokok seperti semen, tabung gas, minyak solar dan bensin, dan berbagai bahan makanan. Ya, di Pulau Breueh ini berbagai kebutuhan pokok memang didatangkan dari Banda Aceh. “Ini belum seberapa mas, kalau hari besar seperti Maulid Nabi barang bawaan kapal ini penuh sekali. Sampai-sampai kalau oleng kena gelombang di lautan air laut bisa muncrat masuk ke kapal”, kata Zhie, kawan seperjalanan saya, menjelaskan.

Beruntung saya mengenal kawan seperti Zhie, Hidayat, dan Ony. 3 kawan baru saya ini memang sudah sangat sering berkunjung ke Pulau Breueh, apalagi Hidayat yang memang pemuda asli Desa Gugop. Usai menurunkan motor, kami langsung menuju ke rumah Hidayat yang berada sekitar 100 meter dari pelabuhan. Kami disambut dengan hangat oleh keluarga Hidayat. Hujan kecil yang mulai turun kembali menjelang sore tidak menyurutkan niat kami untuk berkemah. Memang kami sudah menyiapkan peralatan kemah seperti tenda dan sleeping bag.

Matahari semakin merendah di garis cakrawala. Kami pun sudah berada di pantai Lambaro, salah satu pantai di Desa Gugop yang menyuguhkan pemandangan matahari tenggelam terbaik di Pulau Breueh. Di pantai beralur panjang yang landai dan berpasir putih itu hanya ada kami berlima. Rasanya seperti berada di pantai pribadi. Saya pun mengabadikan detik demi detik momen matahari yang mulai menghilang di tengah laut dengan penuh rasa syukur. Menikmati sunset selalu membawa rasa haru dan tenang di hati saya. Indah sekali menyaksikan bulatan sempurna bola api raksasa itu seperti ditelan lautan di kejauhan. Di akhir sore itu, kami memutuskan pantai Lambaro akan menjadi tempat berkemah kami malam nanti.

Walaupun di Pulau Breueh bisa dibilang sarana dan prasarananya masih sangat minim, bahkan tidak saya temukan warung makan, tapi saya merasa sangat beruntung karena tidak perlu susah-susah mencari makan. Nasi putih, ikan sambal, dan kuah pliek u terhidang lengkap di rumah Hidayat. Jamuan yang diberikan oleh keluarga Hidayat kepada kami ini memang luar biasa. Suasana homey di rumah Hidayat membuat saya seperti berada di rumah sendiri. Bahkan, tidak malu-malu kami sampai nambah makannya.

Adalah bang Fauzan, rekan kantor saya, yang berperan penting dalam acara kemah kali ini. Berkat tenda milik dia, akhirnya kami bisa berkemah. Niat awal berkunjung ke Pulau Breueh sih tidak berkemah. Rencananya numpang tidur saja di rumah Hidayat. Tapi karena tenda berusia belasan tahun yang sudah dipunyai bang Fauzan sejak SD ternyata masih layak pakai, kami memutuskan untuk berkemah. Apalagi tendanya cukup besar, dengan tinggi sekitar 180 cm dan muat untuk tidur berempat. Pukul 21.00, usai makan malam dan shalat, kami kembali menuju pantai Lambaro. Kami memilih sisi kiri pantai yang berumput di pinggir tebing berbatu untuk mendirikan tenda. Hasil kerja cekatan Bang Fauzan dan Hidayat serta bantuan saya sebagai lighting man dengan senter di tangan berhasil mendirikan tenda dengan cukup cepat. Zhie dan Ony mengumpulkan kayu-kayu kering untuk dijadikan api unggun.

Tenda sudah berdiri dan api unggun pun sudah menyala. Kami duduk mengelilingi api unggun sembari berbincang dan makan snacks yang sengaja kami beli sebelumnya. Hujan yang sore tadi sempat datang tak nampak lagi bekasnya. Langit pun begitu cerah. Gugusan bintang yang tersebar di langit malam mengingatkan saya pada kebiasaan melihat bintang dari teras rumah ketika saya masih kecil dulu. Bisikan ombak berkejaran menambah romantis suasana malam itu. This is something i don’t see and feel everyday. 

Saya pernah membaca sebuah kutipan, “disebut kebahagiaan bila kita masih mensyukuri hal-hal kecil di saat segala kegemerlapan telah berlalu”. Pagi itu, saya membuka mata, keluar tenda, menatap jauh ke lautan sambil tersenyum, dan saya berlari menyongsong ombak, merasakan belaian lembut ombak di tubuh. Ya, berkemah di Pulau Breueh mengajari saya bahwa masih banyak sekali hal-hal kecil yang harus kita syukuri. Jauh dari kegemerlapan kota, kedamaian yang terasa. Terimakasih Pulau Breueh.. Til we meet again..