Siapa Bilang Lawang Sewu Horror?


Siapa sih yang tidak mengenal Lawang Sewu? Sebuah bangunan ikon pariwisata kota Semarang ini menjadi sangat terkenal berkat sebuah tayangan mistis di sebuah TV swasta beberapa waktu lalu. Seram, menakutkan, dan penampakan, mungkin adalah bayangan kita apabila membicarakan tentang bangunan tua ini. Tapi, siapa sangka dibalik label seram yang melekat itu ternyata Lawang Sewu memiliki daya tarik yang lain? Siapa sangka, bangunan yang tampak menakutkan itu dipenuhi dengan riuh orang berlalu lalang di suatu malam?

Pintu Semarang Ramadhan Festival

Semarang Ramadhan Festival. Ya, event di bulan ramadhan inilah yang membuat image Lawang Sewu berubah total di mata saya. Saya berkunjung ke sana bersama mbak Zee yang dengan senang hati saya repotkan selama saya di Semarang. Awalnya sih tidak ada rencana juga berkunjung ke Lawang Sewu. Cuma, karena bingung mau kemana dan merasa bahwa nongkrong di Paragon mall adalah kegiatan yang terlalu mainstream, akhirnya kami sepakat untuk ke Lawang Sewu.

Eh, ternyata seru event Semarang Ramadhan Festival ini. Di dekat pintu masuk ada sebuah panggung kecil yang pada saat kami masuk cukup ramai pengunjung. Ternyata ada pertunjukan permainan api. Bukan mirip debus sih, tapi lebih seperti sirkus lengkap dengan atraksi juggling-nya. Di pelataran utama, kursi-kursi berderet rapi terisi penuh menghadap panggung utama. Salah satu agenda dalam festival ini adalah fashion show pakaian muslim. Para model lokal Semarang tampak elok berlenggok di catwalk. Namun saya kurang tertarik dengan acara tersebut karena ada hal yang lebih penting, yaitu makan! Setelah hanya sempat berbuka puasa sak uprit karena waktu berbuka bersamaan dengan persiapan pesawat mendarat, tampaknya perut saya mulai meronta.

Beruntung ternyata di festival ini juga bertebaran tempat makan yang merupakan perwakilan dari beberapa hotel dan restoran terkenal di Semarang. Agak bingung juga saya memilih. Para koki menunjukkan kebolehannya meracik masakan. Kursi-kursi dan meja di sepanjang lorong yang di kanan kirinya berderet stand makanan terlihat penuh. Alhasil, kami pun memutuskan untuk duduk berbagi dengan dua pengunjung lain dalam satu meja. Saya memesan gado-gado, dan mbak Zee hanya memesan minum. Cukup lama kami berbincang sambil menikmati malam yang semakin ramai.

Master chef?

Maket Lawang Sewu

Usai makan, penjelajahan berlanjut. Langkah kami terhenti di tempat seorang kartunis yang sedang sibuk menggambar. Pak Heru namanya. Kami yang awalnya hanya berniat memanjakan mata menikmati hasil karya unik milik Pak Heru, malah berujung pada Mbak Zee yang order gambar karikatur, lengkap dengan aksi tawar-menawar harga yang cukup alot. When it comes with pricey stuff, she’s tough!

Tidak afdhol tentu apabila berkunjung ke Lawang Sewu tapi tidak melakukan night tour. “Mari Mas, Mbak, ikuti saya”, Mbak Enny, guide kami malam itu menyambut dengan logat jawa yang kental. Kami pun memasuki ruangan di gedung B yang di dalamnya terdapat maket dan miniatur gedung yang dibangun sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), atau kantor pusat perusahaan kereta api milik Belanda ini. Di ruangan itu juga terdapat bannerdan poster yang memuat informasi sejarah Lawang Sewu.

Pelataran Utama

“Walaupun namanya Lawang Sewu, di bangunan ini hanya terdapat 865 pintu dan 132 ruangan”, lanjut mbak Enny menjelaskan. Thanks to Mbak Enny, saya jadi tahu kalau ternyata tidak sampai seribu jumlah pintu di sana. Kurang cocok sih sebenarnya dijuluki Lawang Sewu (Lawang Sewu artinya pintu seribu dalam Bahasa Indonesia). Mungkin seharusnya ditambah 135 pintu lagi untuk menggenapkannya biar pas dengan nama Lawang Sewu. Hehe.. Sembari tetap mendengarkan cerita dari Mbak Enny, kami pun menyusuri lorong-lorong gelap panjang seperti tak berujung. Hiruk pikuk di pelataran sudah mulai terdengar sayup.

Dari cerita mbak Enny, saya jadi semakin mengagumi sejarah dan arsitektur bangunan ini. Bangunan yang dibangun oleh Belanda pada 27 Februari 1904 ini memang istimewa. NIS mempercayakan rancangan gedung kepada seorang arsitek terkenal Belanda yang bernama Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J. Ouendag. Semua proses perancangan dilakukan di Negeri Belanda. Cetak biru yang sudah selesai baru dibawa ke Semarang. Semakin melihat Lawang Sewu dari dekat, semakin miris rasanya. Pintu-pintu dan kusen tua sudah banyak yang hilang. Entah siapa yang mengambil. Tidak perlu pula berharap menemukan barang unik peninggalan Belanda seperti meja dan kursi, wastafel antik impor dari Belanda yang dulunya ada di tiap ruangan pun sudah tidak tersisa. Hanya jejak beberapa potongan besi yang tampak masih menempel di dinding.

Bisa dimaklumi memang. Sejak berdiri, gedung ini memiliki sejarah yang panjang. Selain sebagai kantor NIS, gedung ini juga pernah ditempati oleh tentara Belanda, sebelum diambil alih oleh tentara Jepang pada tahun 1942. Ketika terjadi Pertempuran Lima Hari di Semarang yang berlangsung pada 14-19 Oktober 1945, baru kemudian gedung ini bisa dikuasai oleh bangsa Indonesia. Bahkan menurut cerita dari mbak Enny, gedung ini juga pernah ditempati oleh TNI-AD puluhan tahun lalu sebelum akhirnya dikembalikan ke PT. Kereta Api Indonesia. Sebelum benar-benar kosong, gedung ini pun sempat digunakan sebagai kantor Departemen Perhubungan Jawa Tengah.

Bagi pecinta arsitektur klasik, berkunjung ke Lawang Sewu pasti serupa surga. Saya saja yang awam dengan arsitektur bisa terkagum-kagum dengan kemegahan gedung ini. Pernah tahu tentang ruang bawah tanah di sini? Bukan tanpa alasan dulu Belanda membuat ruangan itu. Ruang bawah tanah itu dulunya dipergunakan untuk sistem drainase. Selain untuk mengontrol suplai air demi mencegah banjir, ruangan itu juga berfungsi sebagai pengatur suhu gedung Lawang Sewu. Untuk mengunjungi ruangan bawah tanah itu, pengunjung harus memakai sepatu boot karena memang terdapat genangan air di dalam sana. Kami yang memang sedang tidak ingin berbasah ria, memutuskan untuk tidak masuk ke sana. “Sekarang sering sekali tergenang air di ruangan bawah tanah. Air dari luar sering masuk karena ruangan itu letaknya lebih rendah dari sungai resapan”, Mbak Enny menambahkan.

Blueprint Lawang Sewu

Lawang Sewu at night

Usai mengelilingi gedung B kompleks Lawang Sewu ini kami beranjak ke gedung C, di mana terdapat ruangan serupa museum yang di dalamnya yang memuat koleksi peninggalan kejayaan Lawang Sewu. Beberapa koleksinya adalah replika blueprint  yang dibuat oleh arsitektur Belanda, genteng dan batu bata asli yang digunakan untuk membangun gedung, serta berderet foto-foto dokumentasi proses rehabilitasi dan perawatan gedung. Oh iya, gedung A sebagai gedung utama sudah tidak dibuka untuk umum lagi sekarang. Gedung A hanya dikhususkan untuk acara exhibition atau pameran. Jadi, pengunjung hanya dapat menikmati tour di gedung B dan gedung C.

Mengunjungi Lawang Sewu. Ada rasa bangga dalam hati saya, merasa ikut memiliki harta berupa gedung mewah dan megah ini. Ada rasa miris melihat banyak kekurangan seperti gedung yang tampak jauh dari kesan terawat dan hilangnya komponen antik di beberapa bagian. Pun ada rasa tenang dan lega begitu mengetahui keseriusan pemerintah dan PT. KAI dalam mengangkat pamor Lawang Sewu sebagai primadona wisata di kota Semarang. Bukan sebagai tempat wisata horror, namun sebagai tempat wisata yang lebih mengedukasi. Event Semarang Ramadhan Festival ini misalnya, adalah salah satu hal yang patut kita apresiasi. Jadi, siapa bilang Lawang Sewu horror?