Lamsujen, Surga Pecinta Durian


Sinar mentari pagi masih bersembunyi di balik gelapnya mendung. Hujan deras semalam pun masih menyisakan rintik gerimis. Saya masih belum beranjak dari kasur ketika ada sebuah pesan muncul di layar ponsel saya “Ri, kamu suka durian gak? Pagi ini teman-teman Seksi Pelayanan pada mau ke Lhoong nih ke kebun durian punya Bang Samsul Rizal. Mau ikut?”. Walaupun saya bukan pecinta durian, tawaran berkunjung ke kebun durian dari seorang kawan tersebut tentu saja tidak saya lewatkan begitu saja. “Oke, aku ikut!”, dengan semangat saya jawab pesan itu.

20121215-IMG_0867

Pekerja pengangkut durian

Bang Samsul Rizal adalah kawan kantor saya yang bekerja di Seksi Pelayanan. Saya pun baru mengetahui sekarang bahwa Bang Samsul punya kebun durian yang ternyata milik keluarganya. Dengan menggunakan 2 mobil, 10 orang teman-teman Seksi Pelayanan, 2 orang keluarga Bang Samsul, dan saya berangkat menuju Lhoong pada pukul 09.00. Agak telat memang dari jadwal semula pukul 07.00 karena terkendala hujan.

Sekitar pukul 10.30 kami sampai di Desa Lamsujen, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Kecamatan Lhoong adalah daerah penghasil durian yang terkenal di Aceh. Sebagian besar buah durian yang beredar di Banda Aceh berasal dari daerah ini. Desa Lamsujen sendiri adalah desa yang memiliki kebun durian yang sangat luas. Ada yang unik dari nama Lamsujen ini. Dalam Bahasa Aceh, Lam artinya dalam, Su artinya suara, dan Jen artinya setan. Jadi, apabila diartikan per kata, Lamsujen berarti dalam suara setan. “Nama desa di sini memang kebanyakan nama hantu”, Bang Samsul menjelaskan. Desa ini terletak di sisi sebelah kiri dari jalan raya Banda Aceh – Meulaboh. Untuk menuju kebun durian di lereng perbukitan, mobil yang kami tumpangi harus menyusuri jalanan tanah liat berbatu yang cukup licin. Di sebelah kiri jalan terdapat sungai berbatu yang memiliki air sangat jernih dengan aliran gemericik merdu. Ini suasana baru bagi saya yang belum pernah berkunjung ke kebun durian.

Tidak saya sangka, ketika sampai di areal perkebunan, ternyata cukup banyak kendaraan bermotor yang parkir. Bukan kami saja rupanya yang ingin berpesta durian langsung dari kebunnya. Mobil-mobil berjejer rapi di areal kosong yang difungsikan sebagai tempat parkir. Bangunan warung semi permanen berjejer di pinggir sungai yang tentu saja menjajakan sajian utama buah durian. Dari areal parkir inilah kami harus menyeberang jembatan irigasi yang melintasi sungai untuk menuju ke kebun durian. Jalanan licin dan agak menanjak menyambut kami di setengah perjalanan. Sejauh mata memandang terdapat pepohonan yang menjulang tinggi, memiliki kulit batang berwarna coklat kemerahan dan mengelupas tak beraturan. Tajuknya renggang dan rindang. Pada cabang-cabang di atas pohon menempel buah-buah berduri yang kadang bergerombol. Itulah pohon durian.

20121215-IMG_0910

Kebun durian

20121215-IMG_0882

Durian yang sudah dipanen

Hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk mencapai kebun Bang Samsul. Sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan pekerja pengangkut durian dengan sebuah pikulan di pundak yang di kanan kirinya terdapat kumpulan buah durian. “Ongkos memikul durian dari kebun sampai ke areal parkir adalah Rp. 1.000,- per buah”, kali ini Bang Ardi, abang kandung Bang Samsul, menjelaskan kepada saya. Di tengah kebun itu terdapat sebuah gubuk yang di sekelilingnya bertumpuk durian-durian ranum yang sangat menggoda. Segera, menyambut kami, penjaga kebun langsung membelah durian-durian itu. Ini saatnya makan durian sepuasnya. Tidak akan habis untuk kami ber-13. Sensasi makan durian langsung di kebun ternyata berbeda. Tahu sendiri kan kalau bau durian sangat menusuk? Di kebun durian, bau menusuk itu seolah sirna. Mungkin karena berada di habitat langsung durian membuat aromanya tidak begitu tercium. Di sini, saya pun merasakan durian terenak yang pernah saya makan. Lagi-lagi hipotesis saya adalah karena saya berada di kebun durian. Alasan lainnya mungkin karena durian yang saya makan adalah durian yang masih sangat baru.

20121215-IMG_0861

Buah durian yang masih di atas pohon

“Di sini panennya menunggu durian jatuh langsung dari pohon. Untuk daerah lain masih ada yang panennya dipetik. Makanya durian Lhoong ini rasanya lebih enak daripada durian dari daerah lain di Aceh. Pohon-pohon ini kira-kira berusia 40-50 tahun”, Bang Ardi melanjutkan bercerita sambil menunjuk ke pepohonan yang menjulang. “Kalau yang masih kecil-kecil ini baru saja ditanam untuk peremajaan”, lanjutnya. Saya sibuk ngobrol dengan Bang Ardi sementara teman-teman lain duduk di teras gubuk dan di atas tikar yang digelar di sebelah gubuk sambil menikmati durian.

Kreek.. BUKK! Suara cukup nyaring berada tidak jauh dari tempat saya berdiri. Durian jatuh. Seketika niat berkeliling kebun durian saya urungkan menyadari betapa berbahayanya berkeliling tanpa memakai helm. Perlu kewaspadaan yang tinggi berada di kebun durian apabila tidak mau cedera akibat kejatuhan durian. Hebatnya, para pekerja di kebun durian ini tidak ada yang memakai helm. Beberapa hanya melindungi kepalanya dengan kain, dan beberapa lainnya bahkan tidak memakai pelindung apapun.

Sekarang adalah musim durian yang menghasilkan durian lebih banyak daripada musim sebelumnya. Bagi pecinta durian, berkunjung ke kebun durian di Lamsujen ini pasti membuat iman tergoda. Bagaimana tidak, harga durian berukuran sedang yang di Banda Aceh dijual sekitar Rp. 15.000,-, di sini hanya dijual dengan harga Rp. 5.000,-! Untuk yang ukuran lebih besar dijual sekitar Rp. 7.000,- – Rp. 10.000,-. Dahulu, ketika masa konflik di Aceh, kebun durian di Lamsujen ini tidak seramai sekarang. Tidak ada seorangpun pria desa yang memanen durian. Tugas memanen durian adalah tugas para ibu. Alasannya adalah para ibu tidak terlalu dicurigai oleh para pelaku konflik. Alhamdulillah geliat perekonomian hasil dari kebun durian di Lamsujen ini tampak sangat bergairah setelah 8 tahunusai konflik dan tsunami.

Ada cerita unik lainnya di kebun ini. Konon, Harimau Sumatra juga suka masuk ke kebun durian untuk menikmati durian. Tapi tentu saja masuknya ke kebun durian yang dekat dengan hutan. “Harimau kalau mengupas durian lebih rapi daripada manusia. Hasil belahannya tidak ada yang terpisah”, kata si penjaga kebun menjelaskan. Ah, saya harap tidak ada lagi harimau yang datang sampai kemari. Kasihan kalau harimaunya malah diburu oleh penduduk.

20121215-IMG_0900

Durian yang sudah siap untuk dipikul

20121215-IMG_0922

Sungai di pinggir kebun

Kunjungan di kebun durian ini berakhir setelah teman-teman memilih durian yang akan dibawa pulang. Banyak sekali rupanya hasil panen durian kali ini. Bukan hanya bagasi belakang mobil yang berisi durian, di bawah kaki di tiap-tiap bangku juga penuh durian. Wahaha.. Pada kalap ya. Usai memasukkan durian di mobil, kami semua mandi air sungai yang mengalir deras. Segar sekali rasanya. Hmm.. Karena ajakan tak terduga, weekend saya kali ini jadi sangat menyenangkan. Terima kasih lho yang udah mau ngajak saya 😀

Kalau dipikir, konsep wisata menikmati durian langsung dari kebunnya ini unik dan bisa menjadi daya tarik wisatawan asing dan lokal lho. Wisata di Lamsujen sebagai surga pecinta durian sepertinya cocok apabila dikembangkan untuk Visit Aceh Year 2013.

Aceh, 15 Desember 2012