I Love Aceh Story: Aceh yang Mengubahku


i-love-aceh-story

“Jangan-jangan nanti saya bakal ditempatkan di Aceh, Bu”, seorang pemuda yang baru saja lulus dari sebuah Perguruan Tinggi Kedinasan berujar kepada Ibunya. Tidak tahu kenapa, terpikir dari mana, ataupun terinspirasi dari siapa, pemuda itu keceplosan tentang penempatan kerja di Aceh. Padahal yang dia tahu tentang Aceh tidaklah banyak. Bagi dia, Aceh adalah tempat yang asing yang pernah mengalami musibah tsunami. Tidak banyak yang dia tahu tentang sejarah Aceh, budaya Aceh, orang-orang Aceh, pun dengan keindahan alam Aceh.

6 tahun berlalu dan sekarang pemuda itu menjelma menjadi seorang yang bisa dibilang sangat mencintai Aceh. Hidup di Aceh selama hampir 5 tahun telah mengubah hidup pemuda itu. Hidup  di Jawa sejak kecil, tak ubahnya seperti katak dalam tempurung, berubah setelah menginjakkan kaki di bumi serambi mekkah.

Walaupun ada hal negatif yang didengar olehnya tentang Aceh, namun tanpa keraguan, dia tetap mantap melangkahkan kaki ke Aceh. Dia yakin, hal negatif tentang Aceh itu tidak benar, dan dia akan membuktikan bahwa banyak hal positif yang ada di Aceh.

Benar saja, selama hampir 5 tahun tinggal di Banda Aceh, dia mendapatkan banyak hal positif. Bukan hanya sekedar selewat, namun menjadi pembelajaran hidup baginya. Seorang kawan, bernama Ahmad, bercerita kepadanya tentang musibah tsunami. Ahmad, menjelang tsunami, berada di sebuah rumah di sekitar Jeulingke, Syiah Kuala. Gulungan air setinggi pohon kelapa yang tidak pernah dilihat sebelumnya datang dengan cepat. Dia berpikir, inilah hari kiamat. Dia naik ke atap rumah, namun yang ada di atap hanya sang ayah. Sang ibunda ternyata terseret air. Tanpa berpikir panjang, berniat mencari sang ibu, dia terjun ke air. “Toh juga ini kiamat, kalau aku diam saja pun aku akan mati”, pikirnya. Tidak lama, dia menyesali keputusannya terjun ke air tsunami. Air pekat berlumpur itu tidak bisa direnangi. Dia berjuang untuk tetap hidup. Ketika perjuangannya sampai di titik nadir, dia melihat sebuah tong plastik mengapung di kejauhan. Dalam hati dia berdoa, “Ya Allah, jika memang belum waktuku, dekatkanlah tong itu, dan biarkanlah tong itu untukku mengapung”. Dan, atas izin Allah, tong itu mendekat. Selamatlah dia.

Mendengar cerita dari Ahmad, pemuda itu merasa beruntung sekarang hidup di Aceh. Mengetahui cerita tsunami dari buku atau tulisan tidak bisa dibandingkan dengan pengalaman mendengar langsung dari sang pelaku sejarah.

Hari-hari dilalui oleh pemuda itu untuk menikmati Aceh secara maksimal. Hampir setiap akhir pekan, dia menyempatkan mengeksplorasi Aceh. Sekedar menikmati kemolekan alam yang dimiliki Aceh, menyesap manisnya pemandangan matahari terbit dan tenggelam di pantai-pantai indahnya, mengecap masakan berbumbu khas Aceh, bercengkerama dengan sahabat di warung kopi, dan sekarang dia berkeinginan untuk bisa menjelajah dan mengenal seluruh jengkal Aceh.

Aceh mengajarkan kemandirian bagi pemuda itu. Aceh mengajarkan rasa syukur, ketabahan, dan keikhlasan pada pemuda itu. Aceh mengubah cara pandang pemuda itu tentang “rumah”. Bagi pemuda itu, Aceh adalah rumahnya. Karena, di mana hati berada, di sanalah rumah berada.

Kenalkan, sayalah pemuda itu. Dengan segala pesona Aceh yang sebagian sudah saya dokumentasikan di halaman ini, bagaimana mungkin saya tidak cinta Aceh. Yes, @iloveaceh.

20130105-IMG_1870

Kapal PLTD Apung

20130118-IMG_2019

Senja di Banda Aceh