Weekend Escape: Camping, Somewhere in Jantho


Di balik matinya kota Jantho, ada sesuatu yang istimewa. Yaitu pemandangan alamnya, perbukitan yang sekilas tampak gersang namun berwarna hijau kekuningan. Perbukitan di sekitar Jantho memang unik. Terlihat kering namun tidak tandus. Terbukti di lembah perbukitan itu masih banyak masyarakat yang bertani padi. Perbukitan itulah yang menarik hati saya.
 20130302-IMG_3158

Saya pernah menuliskan kutipan di atas di post ini. Dan kali ini, saya berkesempatan lebih jauh menjelajahi perbukitan itu.

* * *

Hujan turun perlahan ketika saya dan kedua rekan saya, Bang Fauzan dan Mas Tardi, mengecap nikmatnya ikan bakar dan goreng di sebuah rumah makan cukup kondang di Jantho bernama Riung Gunung. Cuaca di Aceh memang tidak bisa diprediksi. Pagi menjelang siang ketika kami berangkat dari Banda Aceh cuaca sangat cerah. Namun menjelang sore, gerimis menghadang. Apalagi ketika melihat ke arah perbukitan, awan hitam bergulung dan terlihat jelas hujan deras di sana. Tapi tak apa, kalaupun hujan-hujanan sepertinya semakin seru.

Ya, kali ini kami memang berencana berkemah di atas bukit somewhere in Jantho. Berkendara dengan mobil tua milik Mas Tardi, kami membawa bekal cukup lengkap. 3 buah sepeda, 2 buah galon air, 1 kotak berisi makanan untuk dimasak, 1 kg daging sapi mentah, kompor portable, tenda, 2 alas tidur, 2 sleeping bag, bahkan sampai 2 buah kursi lipat kecil tidak ketinggalan kami bawa.

Saya tak ingin menjelaskan di mana lokasi tepatnya kami berkemah. Biarlah hanya sedikit orang yang tahu, termasuk kami. Biar tetap bisa jadi private place to escape buat kami. Yang pasti, jalan menuju ke sana tidak mudah. Usai melewati desa terakhir dan meminta ijin berkemah kepada kepala desa, jalanan yang tadinya landai berubah menjadi turunan dan tanjakan. Jalan tanah diguyur hujan cukup deras tentunya membuat beberapa bagian jalan serupa bubur lumpur. Dan di jalan turun pertama, kemalangan terjadi.

Melintasi sungai (photo by Mas Tardi)

Melintasi sungai (photo by Mas Tardi)

Mobil tua milik Mas Tardi memang bukan tipe mobil off road yang berlabel 4WD. Awalnya kami yakin bisa membawa mobil sampai tempat tujuan, berbekal pengalaman Mas Tardi ke sana 2 tahun lalu. Tetapi jalan turun itu terlalu curam. Mobil terpaksa diberhentikan di tengah. Dilema, antara diteruskan atau kembali. Medan di depan pasti lebih berat. Rasanya kalau diteruskan akan muncul masalah baru, kalau sudah terjebak akan lebih susah untuk kembali. Kami memutuskan untuk kembali saja. Bukan, bukan kembali pulang dan tidak jadi berkemah. Tapi kembali ke tempat aman untuk parkir mobil. Ke tempat tujuan akan kami lanjutkan dengan naik sepeda.

Keputusan untuk kembali ternyata sulit untuk dieksekusi. Skenario awal, mobil akan dimundurkan saja. Toh juga belum jauh dari jalanan datar. Tetapi asa tinggalah asa. Mobil tidak bisa dimundurkan. Ban mobil kalah dengan jalanan berlumpur. Sudah dicoba dengan tambahan tenaga dorongan kami pun mobil tetap bergeming. Yang ada malah kami harus dengan sigap mengganjal ban dengan batu agar tidak makin terperosok. Akhirnya kami putuskan untuk menuruni jalan dulu kemudian putar balik dan akan menanjak lagi ke jalan semula. Belum semeter mobil berjalan, sudah oleng dan susah dikendalikan. Jalan terlalu licin. Rem mobil jadi tidak berfungsi. Mas Tardi yang berada di belakang kemudi panik. Saya dan Bang Fauzan yang berada di luar mobil tak kalah panik. Apalagi melihat sisi kiri adalah jurang. Dengan cekatan, Mas Tardi menarik rem tangan dan Bang Fauzan menyusupkan batu cukup besar di bawah ban. Dan saya? Terpaku diam saking paniknya.

Jarum jam menunjukkan pukul 5 sore. 2 jam lagi matahari akan kembali ke peraduan. Kami putuskan meninggalkan mobil di sana saja. Perjalanan kami lanjut naik sepeda. Dengan cekatan kami turunkan sepeda, kami pasang kedua bannya, dan memilih barang-barang yang kami anggap paling penting untuk dibawa selanjutnya. Yang paling kami sayangkan adalah kami tidak bisa membawa 2 galon air. Untungnya di Banda Aceh kami sempat membeli 3 botol besar air mineral. Semoga cukup sampai besok.

Melintas rerumputan (photo by Mas tardi)

Melintas rerumputan (photo by Mas tardi)

Begitu kami mengendarai sepeda, sepanjang jalan kami bersyukur tidak memaksakan mobil untuk tetap melaju. Bukan hanya jalan berlumpur menanjak dan turunan curam yang kami temui, tetapi juga melewati aliran sungai yang cukup dalam untuk mobil. Adakalanya kami bisa ngebut di jalan turunan, tapi sering kali hanya bisa menuntun sepeda sambil menggeh-menggeh. Walaupun ditemani rintik gerimis, tapi saya senang. Warna hijau di mana-mana. Hanya kami sendiri di sana.

Sekitar 1 jam kemudian kami sampai di bukit tujuan. Penandanya adalah sebuah tower 3 lantai yang sepertinya diperuntukkan sebagai tempat pemantauan hutan. Tenda kami dirikan usai istirahat sebentar di atas tower. Angin sore membelai lembut wajah kami, mendung kelabu masih tetap menggelayut manja di langit, dan, tepat ketika tenda sudah berdiri, senja menyambut.

Saya tak menduga bisa menyaksikan senja terindah di Aceh sore itu. Saya sangka dengan mendung yang masih cukup tebal, warna lembayung senja tidak akan menyala. Namun saya salah. Langit berwarna jingga cerah menghipnotis kami. Gerimis pun mendadak reda. Apalagi pelangi muncul di arah berlawanan dengan matahari tenggelam. Magis. Entah bodoh entah gila, melihat senja sore itu kami hanya bisa teriak-teriak dan berpelukan. Saya speechless menyaksikannya.

20130302-IMG_3209

Lihat gradasi warna langitnya. Indah bukan?

Usai makan malam berupa couscous plus irisan daging, paprika, dan tomat yang direbus, saya berbaring berselimutkan sleeping bag di dalam tenda. Saya langsung tertidur lelap. Saya memang kurang tidur beberapa hari sebelumnya. Pukul 10 malam saya terbangun dan melihat Bang Fauzan dan Mas Tardi sedang mempersiapkan api unggun. Karena daging yang kami bawa masih banyak, kami mengirisnya kecil-kecil, menusukkannya ke sebuah ranting panjang, melumurinya dengan saus BBQ, kemudian kami bakar di atas api unggun. Rasanya nikmat. Saya sampai nambah 2 tusuk.

Menjelang tengah malam, langit yang tadinya gulita berubah menjadi berkelipan cahaya bintang. Di arah timur, terlihat bulan naik perlahan dari balik bukit. Malam itu bukan full moon, tapi bulan malam itu berhasil memukau kami. Pas ketika api unggun kami padam, cahaya bulan yang terang menggantikannya sebagai sumber penerangan. Bertiga, kami berbaring berjejeran beratapkan langit cerah sambil mengobrolkan sesuatu yang absurd dan tidak penting. Gelak tawa riang kami menggema di sunyinya malam. Tak puas-puasnya kami mengagumi pesona malam itu.

Sabtu malam sudah berganti jadi minggu dini hari dan kami masih terbuai dengan sihir malam itu. Semilir angin malam yang dingin memaksa kami untuk kembali ke dalam tenda. Suara babi hutan di kejauhan mengiringi saya menutup mata.

Gunung Seulawah gagah berdiri

Gunung Seulawah gagah berdiri

Matahari pagi masih mengintip malu di balik bukit

Matahari pagi masih mengintip malu di balik bukit

Bulan malam itu, magis.

Bulan malam itu, magis.

Senja jingga menyala

Senja jingga menyala

Epilog:

Mobil kami yang terdampar di tanjakan akhirnya ditarik dengan mobil 4WD hasil pertolongan dari tim ranger hutan Jantho esok paginya. Rencana awal sepedaan di perbukitan sekitar urung kami lakukan karena faktor waktu (yang habis untuk menarik mobil yang terperosok). Kami kembali ke Banda Aceh dengan tekad akan kembali ber-weekend escape berkemah di tempat yang baru lagi. Ah, sepertinya kami sudah kecanduan camping.

Jantho, 2 – 3 Maret 2013