Ranger Hitam dan Situs Purbakala Patiayam
Bagi teman-teman yang mengalami masa kecil pada dekade 90-an pasti tahu sebuah tontonan produksi Amerika bernama Mighty Morphin Power Rangers. Siapa coba pada waktu itu yang tidak mengidolakan Jason si Ranger Merah dengan tunggangan Dinozord Tyrannosaurus? Alih-alih mengikuti tren masa itu, saya lebih mengidolakan Zack Taylor, si Ranger Hitam dengan tunggangan Dinozord Mastodon. Ya, waktu itu saya suka sekali dengan Mastodon. Berperawakan besar, berwarna hitam, bergading panjang dan tajam, dan berbelalai mungil, sosok gajah purba itu menemani masa kecil saya. Dan beberapa waktu lalu, saat berkunjung ke Rumah Fosil Situs Purbakala Patiayam, saya seperti dibawa mengenang idola saya saat kecil, Mastodon.
Berada di pinggir jalan raya Pati – Kudus, tepatnya di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, museum kecil bernama Rumah Fosil Situs Purbakala Patiayam ini menyimpan bermacam fosil yang diambil dari Bukit Patiayam. Salah satu koleksi berharga yang dipamerkan di museum ini adalah fosil gajah purba. Bukan Mastodon tetapi Stegodon. Walaupun sama-sama berada pada ordo Proboscidea, Stegodon memiliki badan yang lebih besar daripada Mastodon. Pantas saja, spesies yang bernama lengkap Stegodon trigonocephalus yang ditemukan di situs Patiayam ini adalah gajah paling besar dari ordo Proboscidea. Selain itu tempat persebaran mereka juga berbeda. Mastodon di Amerika Tengah dan Utara, Stegodon berada di Asia, terutama Indonesia. Perbedaan lainnya adalah kapan punahnya. Mastodon punah sekitar 12000 tahun yang lalu, sedangkan Stegodon punah sekitar 4100 tahun yang lalu.
Bagian tubuh Stegodon yang paling mencolok di ruang pameran museum adalah fosil gading sepanjang 4 meter. Selain itu juga dipamerkan tulang-tulang panggul, gigi, rahang, dan beberapa tulang lain milik Stegodon. Bukan hanya fosil gajah purba yang ditemukan di situs purbakala yang memiliki luas mencapai 2.902,2 hektar ini. Fosil makhluk purba nenek moyang dari kerbau, badak, harimau, banteng, rusa, babi, banteng, kerang, hiu, bahkan sampai manusia purba pun ditemukan di sana.
Berdasarkan informasi dari Ibu Siti Asmah, sang penjaga museum, sudah sejak tahun 1980-an para penduduk di sekitar sering menemukan tulang purba. Balung buto, begitu mereka menyebutnya. Dalam Bahasa Jawa, balung berarti tulang, dan buto berarti raksasa. Dengan ukuran tulang yang besar, pantas saja mereka menyebutnya balung buto. Tulang yang ditemukan itu mereka simpan di rumah mereka sendiri. Baru pada November 2005, Tim Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penelitian resmi di situs Patiayam. Setelah itu, hampir sebagian besar koleksi disimpan di Rumah Fosil Situs Patiayam yang berada di kompleks kantor Kepala Desa Terban. Beberapa koleksi lain juga sudah ada yang dipamerkan di Museum Ronggowarsito, Semarang.
Dengan koleksi yang luar biasa, saya merasa kondisi Rumah Fosil Situs Purbakala jauh dari layak. Terdiri dari 2 ruang, yaitu 1 ruang untuk display dan ruang 1 lagi sebagai workshop, Rumah Fosil ini hanya berukuran sekitar 36 meter persegi, tanpa dilengkapi dengan pendingin ruangan. Koleksi yang dipamerkan disimpan dalam meja kaca yang terlihat berdebu dan kusam, sepertinya tidak rutin dibersihkan. Tapi yang patut saya acungi jempol, selain memamerkan fosil, informasi mengenai situs Patiayam dan harta berharganya terlihat cukup lengkap. Di dinding ruangan terdapat peta dan informasi mengenai hewan purba seperti poster evolusi gajah purba yang tertempel di dinding dekat pintu masuk. Penjaga museum ini juga terlihat cukup menguasai ilmu tentang fosil. Terbukti dari kisah Ibu Siti Asmah yang mengalir menceritakan tentang situs purbakala ini kepada saya.
Tentang sosok Ibu Siti Asmah, beliau adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Desa Terban. Kegiatan menjaga museum ini dilakukannya tidak tiap hari. Selama seminggu beliau absen menjaga museum pada hari senin dan sabtu. Sedangkan museumnya sendiri buka setiap hari pukul 08.00 – 15.00. Walaupun hanya sebagai pegawai honorer dari Dinas Pariwisata, beliau terlihat sangat mencintai pekerjaannya. Beliau punya mimpi untuk membuat Patiayam setara dengan Sangiran. Karena beliau yakin harta purbakala yang ada di Patiayam lebih dahsyat daripada di Sangiran. “Di Sangiran sudah banyak penduduk lokal yang bisa membuat souvenir berupa replika fosil. Saya berharap di sini juga bisa seperti itu, biar keadaan ekonomi masyarakat di sini bisa terbantu dari pariwisata”, beliau menerawang.
Kecintaannya pada pekerjaannya sudah terlihat ketika saya datang. Waktu itu saya datang pukul 14.00, namun museum dalam keadaan tertutup. Saya memperhatikan selembar kertas yang ditempel di pintu yang isinya daftar contact person yang bisa dihubungi. Saya kemudian menghubungi Ibu Siti Asmah. Tak lama, dengan mengendarai motor tuanya, beliau datang ke museum dan membukakan ruangan museum kepada saya. “Karena tempat ini sering sepi pengunjung, kadang saya tinggal mengurus anak di rumah. Kami sengaja memajang nomor telepon di pintu biar kalau ada orang datang kapan pun bisa menghubungi kami. Beberapa waktu lalu juga saya menemani tamu pas malam hari sampai di sini. Walaupun malam hari, saya tetap mau menemani. Kasihan melihat tamu jauh-jauh dari Surabaya yang menyempatkan berkunjung ke sini”, dengan akrab beliau langsung berkisah kepada saya.
Tak terasa sudah 1 jam lebih saya berbincang dengan Ibu Siti Asmah. Saatnya undur diri. Belum puas sebenarnya mencari jawaban rasa ingin tahu saya tentang situs Patiayam dan tentang fosil-fosil yang diperkirakan berumur 1 juta hingga 500.000 tahun lalu itu. Saya pun belum sempat mengunjungi perbukitan Patiayam tempat semua fosil yang ada di Rumah Fosil ditemukan. Tidak rugi deh saya meluangkan waktu sebentar berkunjung ke sana. Banyak ilmu dan hal baru yang saya dapat. Kenangan masa kecil berpura-pura menjadi Ranger Hitam menunggang Mastodon menyeruak kembali di pikiran saya. Andai bisa kembali ke masa lalu, saya ingin bersahabat dan menunggangi Stegodon.
(Sebuah catatan perjalanan hasil kunjungan ke Rumah Fosil Patiayam pada 24 Agustus 2012)
Nah ini nih yang sayang. Tempatnya kurang terawat, jadi susah menggaet pengunjung. Btw, aku jadi inget ‘nenek lampir’ yang ada di Power Rangers itu hahaha
SukaSuka
Kalau menurutku susah menggaet pengunjung bukan karena tempatnya kurang terawat sih. Tapi karena memang pada dasarnya orang Indonesia itu jarang banget yang suka ke museum. Di Museum Rahmat Gallery ini https://buzzerbeezz.wordpress.com/2012/05/03/lebih-dekat-dengan-satwa-di-rahmat-gallery/ bagus dan terawat kok. Tapi sama aja sepi, walaupun gak sesepi Patiayam ini sih.
Nenek lampir di Power Rangers itu namanya Rita Repulsa, Yan.. *masih inget* :p
SukaSuka
Rita Repulsa miripnya nyaknya si doel :p
SukaSuka
Tep idolaku Ranger Kuning 😀 *anak 90-an*
Museum disini sering sepi ya? ditempatku juga 😦
Lain kali kalau keluyuran di Kudus, mampir kesini ah
SukaSuka
Ranger kuning? Trini! Hahaha..
Museum di Tuban apa namanya mbak? Bagus gak koleksinya?
SukaSuka
kayak di sangiran ya ri? berarti harus diagendakan trip kudus, sekalian ke museum kretek 🙂
SukaSuka
Iya mbak. Kayak di Sangiran. Hmm.. Tunggu tulisanku tentang Museum Kretek yaaa.. *siap-siap pamer* :p
SukaSuka
huuuu dasar,,,,kemarin pas pulang dari rembang udah mupeng banget pas lewat depan museum kretek 🙂
SukaSuka
ndak papa, mba ..
besok si ari kita pamerin kunjungan ke museum2 di solo, pluuusss hunting sunrise di setumbu ..
#kalem
SukaSuka
Gleg!! *nahan godaan* *impulsif beli tiket ke Solo*
SukaSuka
Aku kenalnya Ranger penjaga atau Panglima Uteun kalau di Aceh
SukaSuka
Dulu aku sukanya Ranger Biru tapi setelah negara api menyerang aku berubah jadi Ranger Merah #RangerLabil ini kok ngomongin ranger? Btw, kukira dulu kudus terkenal dengan rokoknya aja, ternyata ada museum yang menarik, ntar kalo kesana maen ah…ada T-Rex ga?
SukaSuka
Kalo T-Rex gak ada Bang. Adanya di Jurassic Park tuh :p
Kalau main ke sana, mampir ke rumahku ya jangan lupa. hehe..
SukaSuka
yaaah…Ranger Merah kecewa berat..jadi di rumahmu ada t-Rex? teteup..
SukaSuka
Di foto Stegodon Trigonocephalus, ada sekilas nampak abang lagi foto. hihihi 😀
SukaSuka
Masa sih? Aku perhatiin kok gak nampak ya?
SukaSuka
Eman-eman yah museum nya, isinya bagus dan mendidik tapi sepi pengunjung… Yuk galakkan Visit Museum! 🙂
SukaSuka
Kalau aku sih tiap pergi ke mana gitu emang suka main ke museum. Dan selayaknya museum, pasti selalu sepi (kecuali museum tsunami yg tiap hari selalu rame)
SukaSuka
hampir mewek di museum tsunami …
SukaSuka
Museum di kotaku juga mengenaskan T.T http://catatanavantgarde.wordpress.com/2013/03/17/berjuta-cerita-dari-museum-kerinci/
SukaSuka
Tapi koleksinya luar biasa tuh!
SukaSuka
bapaknya udah 70 tahun dan sakit2an … T.T nggak ada yg meneruskan perjuangan belaiu
SukaSuka
orang kudus ya?
kog daku ga pernah kesana ya kalu mo ke kudus, ada toh museum fosilnya..
SukaSuka
Bukan mbak. Saya orang Pati.
Silakan mampir ke Patiayam lho kalau ke Kudus. Sayang untuk dilewatkan.. hehe..
SukaSuka
sepupuku tinggal di pati.. kalu lebaran sering kog ke pati, jalanjalan ke rembang-kudus-demak-jepara.. masih banyak sodara disana..
SukaSuka
Waahh.. Kalau pas ke Pati kabar-kabar ya Mbak.. Nanti kita kopdar. Aku temenin ke museum ini juga boleh deh. Hehehehe..
SukaSuka
Ping balik: Cintailah (Wisata) Jawa Tengah, Nak | Buzzerbeezz