Hujan dan Lubuk Sukon


Minggu, 24 Februari 2013

Hujan yang labil di siang hari, AC mobil yang dingin, dan perut kosong yang meronta ingin diisi adalah kombinasi combo siksaan bagi saya siang itu. Sarapan seadanya di pagi hari sudah menguap menjadi energi berkeliling daerah Krueng Raya. Tujuan berikutnya siang itu adalah sebuah desa di Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar bernama Lubuk Sukon. Di desa itulah kami akan melepas lelah dan mengisi kembali perut yang kerontang. Bukan hanya saya, Mbak Olive dan teman-teman dari komunitas iloveaceh pasti juga merasakan yang saya rasakan, lapar pakai banget. 

20130224-IMG_3123

Hidangan santap siang

Ya, hari itu saya dan Mbak Olive sebagai pemenang lomba blog I Love Aceh Story dalam rangka ultah komunitas iloveaceh yang ke-3, dibawa berkeliling sekitar Banda Aceh oleh iloveaceh. Dan Desa Lubuk Sukon adalah salah satu destinasinya. Ini adalah pertama kalinya saya berkunjung ke desa yang beberapa waktu lalu dinobatkan sebagai desa wisata oleh Pemerintah Aceh. Memasuki jalan desa, terlihat perumahan pedesaan yang berderet rapi. Bukan bangunan modern yang berderet, namun di beberapa bagian tampak rumah-rumah panggung khas Aceh atau biasa disebut Rumoh Aceh, dengan halaman luas dan dihiasi dengan hijaunya pepohonan. Kalau di perkotaan, saya biasa melihat setiap rumah terpisah pagar tembok yang terkadang tinggi sekali, di desa ini antar tempat tinggal berpagar tanaman hias. Sepertinya kekerabatan antar warga di sini masih sangat erat. Jalanan basah akibat hujan pun tak tampak keramaian kendaraan bermotor layaknya di kota. Relatif sepi dengan sesekali motor atau mobil melintas. Kesan pertama yang indah bagi saya. 

Mobil kami yang dibawa oleh Bang Faisal berbelok ke sebuah Rumoh Aceh yang masih berbentuk cukup otentik, beratapkan rumbia dan berwarna merah kecoklatan. Begitu turun dari mobil, kami disambut oleh tuan rumah, seorang ibu berparas cantik dan berpenampilan anggun bernama Ibu Cut Tresia. Di bagian bawah rumah panggung itu sudah terhidang makanan khas Aceh. Beberapa di antaranya adalah sie manok asam keu’eung, keumamah, udeng asam keu’eung, sambai udeng, krupuk muling dan ie boh timon. Yang pasti, semuanya enak. Namun sebelum bersantap, saya menunaikan shalat dzuhur terlebih dahulu sementara hujan yang sempat reda mulai deras kembali. 

Nasi putih yang terbungkus daun pisang sudah terhidang di piring ditemani dengan menu lain. Perut kerontang, hujan cukup deras, dan menu makan siang yang luar biasa adalah kombinasi yang pas untuk merasakan salah satu nikmat Ilahi. Mungkin saat itu adalah salah satu pengalaman makan saya yang paling nikmat.  

Usai makan, perut pun kenyang dan hujan masih betah mengguyur bumi. Tampaknya di mana-mana sama saja ya, bahwa perpaduan perut kenyang dan udara dingin membuat mata berat ingin tidur. Namun suasana yang cukup mengakrabkan membuat kantuk saya sirna. Saya berbincang dengan Ibu Cut dan baru ketahuan bahwa ternyata Ibu Cut ini adalah keluarga Pak Fuad Rahmany, atasan saya, Pak Dirjen Pajak. Obrolan pun jadi semakin akrab.  

Hari semakin sore dan tetap saja mendung masih menggelayut cukup pekat menurunkan gerimis-gerimis kecil. Kami berpamitan dengan Ibu Cut dan pindah tempat nongkrong di sebuah warung kopi di tepi desa. Kopi, sore hari, dan hujan. Tentu bagi sebagian orang adalah perpaduan sempurna. Andai lambung saya bersahabat dengan kopi, mungkin saya akan sependapat. Saat yang lain menyesap kopi, saya cukup meneguk teh hangat. Pun begitu, tak mengurangi suasana ceria sore itu. Duduk bersantai di warung kopi saat sore hari yang gerimis, bercengkerama bersama warga yang ramah, sambil memandang persawahan yang menghijau, ya.. Lubuk Sukon menawarkan itu semua. “Kalian harus merasakan suasana desa kami ini saat perayaan Maulid Nabi atau saat panen padi. Pasti kalian akan senang sekali”, saran Bang Darzam, seorang warga lokal yang menjadi pemandu kami.

20130615-IMG_5396

Rumoh Aceh di Lubuk Sukon

Minggu, 16 Juni 2013

Juni yang seharusnya mulai masuk musim kemarau entah kenapa di Aceh malah hampir setiap hari turun hujan. Saya rasa pun bukan hanya di Banda Aceh, tapi cuaca dan iklim di seluruh dunia juga sudah tidak bisa diprediksi lagi akibat global warming. Siang itu saya kembali menyambangi Lubuk Sukon lagi. Masih bersama Mbak Olive, namun kali ini ditemani oleh Ibu Endang Moerdopo, penulis novel Perempuan Keumala, dan Kak Linda, pemilik Linda Homestay yang juga seorang reporter di RRI Banda Aceh. Mbak Olive yang sangat mencintai Aceh ini untuk ketiga kalinya pergi ke Banda Aceh. Namun kali ini sangat spesial karena bersama sang idola, Ibu Endang Moerdopo. 

20130615-IMG_5442

Jembatan masuk Desa Lubuk Sukon

Saya yang jauh hari sudah tahu agenda Mbak Olive selama di Banda Aceh, menyempatkan diri untuk ikut menemani rombongan Mbak Olive ini berkunjung kembali ke Lubuk Sukon. Yah, saya juga sudah rindu sama suasana Lubuk Sukon. Hari itu cuaca sangat labil dan tidak bisa ditebak. Terkadang hujan turun sangat deras tanpa peringatan, namun sebentar kemudian reda. Tepat saat adzan dzuhur kami sampai di Lubuk Sukon. Kami dijemput Bang Darzam di masjid lalu kemudian menuju ke rumah Bang Darzam. Ternyata di sana sudah disiapkan makan siang. Perut sudah keroncongan, tapi kami urung bersantap. Pasalnya kami masih menunggu seorang teman lagi. Adalah Citra Rahman, seorang blogger kondang asli Meulaboh bersama seorang temannya yang kali ini ikut bergabung juga dengan kami.

Rumah Bang Darzam berbentuk Rumoh Aceh, namun tidak terlalu otentik. Atap rumah yang seharusnya asli terbuat dari rumbia, berganti atap seng. Walaupun begitu, rumah ini masih terasa adem. Mungkin karena cuaca yang dingin dan ventilasi yang lebih dari cukup terdapat di rumah itu. Jendela lebar terpasang di berbagai sudut rumah. Dengan pekarangan depan dan belakang rumah yang sangat luas, saya mendadak iri. Ingin rasanya suatu saat punya rumah seperti ini. Rumah di mana masih terdapat ruang kosong untuk saya menemani anak-anak saya bermain dan berlarian kelak. Akhirnya kami menyantap hidangan yang sudah disediakan. Menunya juga lengkap, sama dengan menu di rumah Ibu Cut pada kunjungan saya sebelumnya. Tentu saja rasanya tetap enak. Saking enaknya, saya saja yang sekitar 3 jam sebelumnya sudah makan cukup banyak masih sanggup menghabiskan seporsi nasi dengan lauk yang cukup berlimpah.

Mungkin karena kami datang hanya ber-6, rasanya lebih intim dalam berbincang. Suasana menjadi riuh saat Kak Linda dan Bang Darzam bercerita tentang anekdot orang-orang Aceh, terutama Aceh Besar. Salah satunya adalah saking hobinya orang Aceh nongkrong di warung kopi, sampai-sampai mereka bisa sehari semalam berada di warung kopi. Karena kebanyakan cerita mereka menggunakan Bahasa Aceh, yang terlihat bengong gak ngerti hanya saya dan Mbak Olive. Ah, 5 tahun berada di Banda Aceh masih belum bisa membuat saya bisa mengerti Bahasa Aceh secara menyeluruh rupanya.

Lama berbincang, isi perut yang kekenyangan pun sudah turun. Saatnya berkeliling desa Lubuk Sukon. Banyak yang bisa dilihat saat berkeliling. Mayoritas adalah pemandangan rumoh-rumoh Aceh mulai dari yang masih sangat otentik sampai yang sudah mulai mendapat sentuhan modern. Kami pun mampir ke rumah Ibu Cut Tresia yang merupakan salah satu rumah paling otentik di sini, rumah yang sama yang saya kunjungi Februari lalu. Sambutan Ibu Cut tetap hangat. Dan ternyata beliau masih mengingat saya.

20130615-IMG_5388

Suasana desa

Usai berfoto dan berbincang akrab dengan Ibu Cut, kami meminta diri. Selanjutnya kami dibawa oleh Bang Darzam berkeliling sisi lain desa, yaitu persawahan dan perkebunan di pinggir sungai. Desa Lubuk Sukon ini di bagian depan desa memang dilewati Krueng Aceh, sungai yang sama yang membelah kota Banda Aceh. Di bantaran sungai mayoritas dipakai oleh warga untuk berkebun. Kebun pisang yang paling tampak terlihat. Ah, suatu saat saya harus kembali ke sini untuk menyusuri jalanan desa di bantaran sungai ini. Pasti seru.

Setelah berkeliling, kami bersantai di sebuah warung kopi yang sepertinya adalah warung kopi paling terkenal di desa ini. Pasalnya, warung kopi ini berada di dekat jembatan masuk desa. Apalagi tempatnya juga cukup nyaman dan sangat adem. Dinaungi oleh pohon asam jawa membuat para pengunjung yang duduk-duduk di kursi terbuat dari tegel keramik di depan warung akan merasa sangat nyaman, tak terkecuali kami. Kali ini saya tidak absen menyesap kopi. Sesekali tak apalah. Lupakan akibatnya nanti kalau-kalau lambung saya menjerit karena kopi. Obrolan pun masih tetap berlanjut. Layaknya sahabat karib yang sudah lama tak bertemu, kami ber-6 berbincang dengan sangat akrab. Walaupun mungkin jarak usia cukup signifikan di antara kami, dengan saya yang termuda (tapi bermuka tua), tapi keakraban tetap terjalin.  

Kebersamaan itu usai saat adzan ashar berkumandang dan hujan yang sempat reda mulai menyerang bumi dengan brutalnya. Bergegas saya, Kak Linda, Ibu Endang, dan Mbak Olive masuk mobil setelah berpamitan dengan Bang Darzam. Di depan warung kopi itu pula kami berpisah dengan Citra dan temannya. 

Dua kali saya bertamu ke Lubuk Sukon selalu hujan. Kebetulankah? Ah, apapun itu, bagi saya, Lubuk Sukon tampak memikat kala hujan. Mungkinkah kalau saya ke sana lagi kelak akan hujankah?

20130615-IMG_5444

Warung Kopi

20130615-IMG_5446

Secangkir kopi di sore hari