My Cycling Weekend: Levitasi Hore di Pucok Krueng


Sudah empat akhir pekan berturut-turut saya dan beberapa teman rutin memuaskan diri dengan hobi kami, bersepeda. Setelah akhir pekan sebelumnya kami melakukan perjalanan yang cukup berat (yang cerita perjalanan itu saya ikutkan dalam kontes Kisah Perjalanan Bersepeda), akhir pekan kemarin kami sedikit slow down dengan menyusuri track jalan raya Banda Aceh – Pucok Krueng – Lampuuk. Tujuannya sih biar banyak teman yang ikut. Secara akhir pekan sebelumnya, ketika menjelajah perbukitan Mata Ie, ada dua orang teman yang mundur di tengah jalan, maka kami memutuskan untuk memilih track datar dan panjang. 

Yah, walaupun jalurnya lebih mudah, tapi ternyata peserta yang ikut malah berkurang. Sebenarnya yang mau ikut cukup banyak. Namun pada membatalkan diri menjelang akhir. 2 orang katanya ada acara perpisahan dengan ibu kosnya (curiganya pake acara nangis-nangisan segala nih), 1 orang ban sepedanya pecah, 1 orang tanpa kejelasan, dan 1 orang belum beli sepeda (lho!). Akhirnya kami hanya berlima deh.  

Oh iya, di balik rutinnya kami bersepeda, sebenarnya memang ada agenda khusus sih. Gara-gara sering sepedaan, akhirnya beberapa waktu lalu saya dijadikan koordinator kegiatan bersepeda di akhir pekan oleh teman-teman kantor. Dan mendadak jadi kepikiran, kenapa gak dari dulu ya bikin kegiatan rutin bersepeda akhir pekan, di saat masih banyak teman yang suka bersepeda *lirik yang kemaren mutasi ke Langsa*. Jadi, sejak saya didapuk sebagai koordinator sepedaan, makin semangatlah saya mengajak teman-teman kantor gowes di akhir pekan.  

Gaya sepedaan kami sih santai banget. Istilah saya sepedaan gaya turis. Ya gimana, kalau dikit-dikit berhenti buat foto-foto. Dan, selain saya yang jadi koordinator, saya juga dong yang jadi tukang foto. Curang, teman-teman saya gak ada yang mau bawa kamera sendiri. “Ya, kalau kami bawa kamera malah jadi tukang foto dong, gak difoto”, mereka ngeles. 

Sebenarnya untuk rute Banda Aceh – Lampuuk terhitung sudah 3 kali kami susuri. Kalau dulu rasanya menempuh sekitar 20 km menuju Lampuuk rasanya berat banget, mungkin karena kemampuan kami sudah meningkat, kemaren rasanya relatif ringan. “Ke Pucok Krueng aja yuk!”, saya yang merasa ke Lampuuk sudah mainstream, mengusulkan. Gayung bersambut, teman-teman pada mau. Ya gimana gak mau, mereka kan belum pernah ke sana. Padahal saya udah sering sekali ke sana. Yang orang lokal siapa, yang lebih tahu daerah sana siapa. Malulah kedua teman saya yang orang Aceh asli. Hehehe..

Hujan yang mengguyur Banda Aceh dan sekitarnya hari sebelumnya membuat jalan masuk ke Pucok Krueng yang masih tanah berbatu menjadi berkubang lumpur di sana-sini. Kami dituntut gesit mengendalikan setang menghindari kubangan lumpur. Usai berjibaku dengan jalanan berlumpur, tampaklah sebuah telaga kecil dan sebuah sungai yang dibatasi dengan jalan bersemen yang mirip bendungan. Di sanalah Pucok Krueng, sebuah tempat yang berarti pucuk atau ujung sungai. Sesuai dengan namanya, Pucok Krueng ini adalah sebuah sumber mata air bagi sungai yang membelah kecamatan Lhok Nga. Dinding karst tinggi membatasi Pucok Krueng.  

Terpesona dengan lanskap Pucok Krueng, kami bergantian berpose lompat. Saya yang jarang bagus kalau difoto dengan gaya levitasi, di luar dugaan dan tidak disengaja bisa terekam dengan pose sangat konyol. Tahu serial kartun Larva? Saya merasa pose saya mirip dengan karakter cacing itu. Lihat sendiri deh hasil foto-foto kami di bawah ini. Hanya sebentar kami di sana, lanjut bersantai di Pantai Lampuuk. Seru bukan akhir pekan kami?

20130628-IMG_553520130628-IMG_5541 20130628-IMG_5545

20130628-IMG_5539

20130628-IMG_555120130628-IMG_5532