My Cycling Weekend: Krueng Jreu – Waduk Keuliling


20130707-IMG_5562

Krueng Jreu

Agenda bersepeda di akhir pekan ternyata cukup konsisten kami lakukan sampai sekarang. Setelah sebelumnya sudah saya ceritakan di sini, sini, dan sini, Sabtu (6/7) lalu mungkin akan menjadi agenda terakhir sebelum vakum selama bulan ramadhan. Mencoba mencari sensasi baru, tujuan kami bersepeda kali ini agak jauh dari Banda Aceh. Adalah rute Krueng Jreu – Waduk Keuliling di Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar yang menjadi tujuan susur sepeda kali ini.

Jarak Banda Aceh – Indrapuri adalah sekitar 30 km. Untuk menyingkat waktu dan menghemat energi, kami menuju ke sana menggunakan labi-labi, jenis angkot yang hanya ada di Aceh. Kami menaikkan sepeda kami ke dalam dan ke atas labi-labi. Dengan uang 100 ribu, kami berlima bisa menguasai labi-labi tersebut hanya untuk kami. Istilah kerennya sih carter.

Hari masih cukup pagi ketika kami sampai di Krueng Jreu. Sebenarnya saya kurang suka dengan rute masuk melalui Krueng Jreu. Walaupun sebenarnya pemandangan di sana masih cukup indah dinikmati, namun jalan masuk menuju ke sana bisa menjadi sangat berdebu karena (lagi-lagi) eksploitasi penambangan bahan galian C. Beberapa kali saya ke sana selalu terganggu dengan debu-debu yang menusuk paru-paru. Beruntung pagi itu kegiatan penggalian belum dimulai. Jalanan masih sepi dari truk-truk besar pengangkut pasir dan tanah.

Adalah Mas Tardi, salah satu dari kami yang sudah pernah menyusuri rute Krueng Jreu – Waduk Keuliling ini. Usai melewati Krueng Jreu, hal pertama yang kami lihat adalah perkebunan sawit yang masih remaja. Ironis, di pinggir sungai dipasang papan peringatan untuk melestarikan sungai namun di sana pula ditanami sawit yang notabene sangat tidak bersahabat dengan alam.

20130707-IMG_5575

Istirahat sejenak di rerumputan

Lupakan tentang tanaman sawit. Yang menarik dari rute ini adalah kami bisa menyusuri perbukitan berumput ditemani lanskap gunung Seulawah Agam di sebelah kiri dan Seulawah Inong di sebelah kanan. Dan kalau kami tak bersuara, yang terdengar hanya kicau burung dan desau angin. Tapi suasana syahdu dan lanskap indah itu tak sepanjang jalan kami rasakan. Perbukitan yang kata Mas Tardi beberapa bulan lalu masih tak tersentuh tangan manusia, yang kami saksikan sekarang sudah berbeda. Sudah ada jalan lebar yang dipakai oleh kendaraan-kendaraan berat masuk ke hutan untuk mengambil kayu atau bahan galian. Pembukaan lahan menjadi jalan itu berdampak pada hilangnya rute kami dan memaksa Mas Tardi untuk mengingat lebih keras kemana lagi kami akan mengayuh pedal sepeda.

Karena memang kondisi alam sudah berubah sejak terakhir kali Mas Tardi ke sana tahun lalu membuat kami tersesat. Padahal dulu rute ini adalah salah satu rute favoritnya, yang di sepanjang jalur, menuruni perbukitan, sepeda tidak perlu dikayuh pun tetap meluncur kencang. Di tengah ketersesatan itu, kami berpacu dengan waktu yang semakin siang, semakin panas. Kami tidak merencanakan akan sampai siang menyusuri jalur ini. Bekal pun kami bawa seadanya, beberapa buah pisang dan botol air minum.

20130707-IMG_5581

Gunung Seulawah Inong menjadi background kami

20130707-IMG_5583

Seulawah Agam tampak di kejauhan

Ketika tersesat itulah kami menemukan sebuah telaga indah. Sekelompok burung air bermain dengan asyik di tengah telaga sebelum mereka terganggu dengan kedatangan kami. Cukup lama kami melepas lelah di sana. Telaga ini dikelilingi oleh padang rumput. Sepertinya asyik kalau suatu saat saya bisa berkemah di sini.

Kami semakin hilang arah. Tujuan yang sebelumnya ke Waduk Keuliling berubah. Karena waktu sudah menjelang tengah hari dan perut yang semakin keroncongan , fokus kami adalah menemukan jalan pulang. Kami harus menemukan jalan raya Medan – Banda Aceh untuk mencari labi-labi. Perjuangan kami menemukan jalan pulang berhasil setelah bertanya dengan petani di sawah dan beberapa orang yang sedang nongkrong di warung kopi saat sampai di pedesaan. Misi Krueng Jreu – Waduk Keuliling gagal kami eksekusi. Mungkin lain kali kami akan menyusurinya kembali.

Dalam perjalanan pulang, di dalam labi-labi saya kepikiran, sudah sering saya blusukan ke hutan dan perbukitan di sekitar Aceh Besar. Kenapa selalu saya temui penebangan hutan dan eksploitasi bahan galian C? Memang masih banyak spot indah terhampar, tapi saya tidak yakin akan bertahan beberapa tahun lagi. Saya khawatir tidak akan bisa saya lihat keindahan alam itu di masa mendatang. Kisah bersepeda akhir pekan saya kali ini menyisakan kegalauan.

20130707-IMG_5611

Telaga di tengah perbukitan

20130707-IMG_5602

Pose wajib: Levitasi hore

Hijaunya sawah di perkampungan

Hijaunya sawah di perkampungan