My Cycling Weekend: Krueng Jreu – Waduk Keuliling
Agenda bersepeda di akhir pekan ternyata cukup konsisten kami lakukan sampai sekarang. Setelah sebelumnya sudah saya ceritakan di sini, sini, dan sini, Sabtu (6/7) lalu mungkin akan menjadi agenda terakhir sebelum vakum selama bulan ramadhan. Mencoba mencari sensasi baru, tujuan kami bersepeda kali ini agak jauh dari Banda Aceh. Adalah rute Krueng Jreu – Waduk Keuliling di Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar yang menjadi tujuan susur sepeda kali ini.
Jarak Banda Aceh – Indrapuri adalah sekitar 30 km. Untuk menyingkat waktu dan menghemat energi, kami menuju ke sana menggunakan labi-labi, jenis angkot yang hanya ada di Aceh. Kami menaikkan sepeda kami ke dalam dan ke atas labi-labi. Dengan uang 100 ribu, kami berlima bisa menguasai labi-labi tersebut hanya untuk kami. Istilah kerennya sih carter.
Hari masih cukup pagi ketika kami sampai di Krueng Jreu. Sebenarnya saya kurang suka dengan rute masuk melalui Krueng Jreu. Walaupun sebenarnya pemandangan di sana masih cukup indah dinikmati, namun jalan masuk menuju ke sana bisa menjadi sangat berdebu karena (lagi-lagi) eksploitasi penambangan bahan galian C. Beberapa kali saya ke sana selalu terganggu dengan debu-debu yang menusuk paru-paru. Beruntung pagi itu kegiatan penggalian belum dimulai. Jalanan masih sepi dari truk-truk besar pengangkut pasir dan tanah.
Adalah Mas Tardi, salah satu dari kami yang sudah pernah menyusuri rute Krueng Jreu – Waduk Keuliling ini. Usai melewati Krueng Jreu, hal pertama yang kami lihat adalah perkebunan sawit yang masih remaja. Ironis, di pinggir sungai dipasang papan peringatan untuk melestarikan sungai namun di sana pula ditanami sawit yang notabene sangat tidak bersahabat dengan alam.
Lupakan tentang tanaman sawit. Yang menarik dari rute ini adalah kami bisa menyusuri perbukitan berumput ditemani lanskap gunung Seulawah Agam di sebelah kiri dan Seulawah Inong di sebelah kanan. Dan kalau kami tak bersuara, yang terdengar hanya kicau burung dan desau angin. Tapi suasana syahdu dan lanskap indah itu tak sepanjang jalan kami rasakan. Perbukitan yang kata Mas Tardi beberapa bulan lalu masih tak tersentuh tangan manusia, yang kami saksikan sekarang sudah berbeda. Sudah ada jalan lebar yang dipakai oleh kendaraan-kendaraan berat masuk ke hutan untuk mengambil kayu atau bahan galian. Pembukaan lahan menjadi jalan itu berdampak pada hilangnya rute kami dan memaksa Mas Tardi untuk mengingat lebih keras kemana lagi kami akan mengayuh pedal sepeda.
Karena memang kondisi alam sudah berubah sejak terakhir kali Mas Tardi ke sana tahun lalu membuat kami tersesat. Padahal dulu rute ini adalah salah satu rute favoritnya, yang di sepanjang jalur, menuruni perbukitan, sepeda tidak perlu dikayuh pun tetap meluncur kencang. Di tengah ketersesatan itu, kami berpacu dengan waktu yang semakin siang, semakin panas. Kami tidak merencanakan akan sampai siang menyusuri jalur ini. Bekal pun kami bawa seadanya, beberapa buah pisang dan botol air minum.
Ketika tersesat itulah kami menemukan sebuah telaga indah. Sekelompok burung air bermain dengan asyik di tengah telaga sebelum mereka terganggu dengan kedatangan kami. Cukup lama kami melepas lelah di sana. Telaga ini dikelilingi oleh padang rumput. Sepertinya asyik kalau suatu saat saya bisa berkemah di sini.
Kami semakin hilang arah. Tujuan yang sebelumnya ke Waduk Keuliling berubah. Karena waktu sudah menjelang tengah hari dan perut yang semakin keroncongan , fokus kami adalah menemukan jalan pulang. Kami harus menemukan jalan raya Medan – Banda Aceh untuk mencari labi-labi. Perjuangan kami menemukan jalan pulang berhasil setelah bertanya dengan petani di sawah dan beberapa orang yang sedang nongkrong di warung kopi saat sampai di pedesaan. Misi Krueng Jreu – Waduk Keuliling gagal kami eksekusi. Mungkin lain kali kami akan menyusurinya kembali.
Dalam perjalanan pulang, di dalam labi-labi saya kepikiran, sudah sering saya blusukan ke hutan dan perbukitan di sekitar Aceh Besar. Kenapa selalu saya temui penebangan hutan dan eksploitasi bahan galian C? Memang masih banyak spot indah terhampar, tapi saya tidak yakin akan bertahan beberapa tahun lagi. Saya khawatir tidak akan bisa saya lihat keindahan alam itu di masa mendatang. Kisah bersepeda akhir pekan saya kali ini menyisakan kegalauan.
Telaganya bagus, dan masih sepi, jadi bisa dinikmatin lama-lama… 🙂
SukaSuka
sepi banget mas. Cuma kami aja yang di sana. Itu juga kami kebetulan nemu telaga 😀
SukaSuka
makanya kalo sepi kan enak.. bisa leyeh-leyeh, menikmatinyaa… 🙂
SukaSuka
pemandangannya baguus >.<
SukaSuka
foto yg bawah sukaaa banget, adem rasanya
SukaSuka
Padahal cuacanya panas itu. Hehehe..
SukaSuka
wah pemandangannya keren nih…
jadi kangen Cirebon, Majalengka – dulu tiap minggu pasti lewatin sawah.
SukaSuka
liat sawah hijau memang bikin adem ya mas
SukaSuka
iya…
tapi gak berani malam2 ke sana sih 😀
SukaSuka
jadi inget, dulu ada suami istri bule keliling aceh yang bobo ditenda dan ditembak gitu.. itu dimana ya?
SukaSuka
Waduh.. Kapan tuh mbak? Belum pernah denger aku..
SukaSuka
Segar rasanya kalau melihat pemandangan yang masih asri begini
SukaSuka
iya mas. Sayang di beberapa bagian sudah terlalu dieksploitasi, penebangan liar dan pengambilan bahan galian C 😦
SukaSuka
Suka banget foto-fotonya mas… Segerrrrrrrr
kalau mira ada disitu, pasti ambil pose nunjuk bukit di belakangnya. xixixi
SukaSuka
Ayo Mira ke Aceh lagi.. Kemaren sebelum berangkat sepedaan ini aku ketemu Ega di terminal Labi-labi. Dia mau berangkat kuliah 😀
SukaSuka
Udah beli tiket promo sih bang untuk ke pulau Banyak yang di Aceh sama temen2 ngetrip, tpi via Medan, dan itu masih 3-4 yang akan datang. hehe…
Iya, ega lagi sibuk scriptshit 😀
SukaSuka
wuihh.. aku pengen juga deh ke Kepulauan Banyak
SukaSuka
Yuk… nanti ketemuan disana aja. Nanti mira kabarin kalau sudah deket2 waktunya.. 🙂
SukaSuka
Hehe.. Kalau ada waktu ya Mira 😀
SukaSuka
iya, masih lama juga mas.. siapa tau pas bisa join 😀
SukaSuka
keuliling = keliling yah? sunda banget ya tempat2 di aceh hehehe
SukaSuka
Hehehe.. begitulah. Yang lebih lucu, ada warung kaki lima di sini jualan Keuntaki Fried Chicken :p
SukaSuka
wkwkwkw … aku bingung gimana baca ulhee lheeu waktu pertama kali ke aceh :p
SukaSuka
Bacanya Ulee (e dibaca seperti e dalam bebek) Lheue (bacanya Lhe dg e seperti dalam semangka), setauku sih..
SukaSuka
tak pikir bacanya ulele (hewan lele) hahaha
SukaSuka
jadi rindu kampung halaman…heheheh
jangan lupa mampir ke gubuk ane ya. http://emblast.wordpress.com
SukaSuka
eh, ureung Aceh ya?
SukaSuka
Iya gak papa, salam kenal aja…. Biar banyak sodara….hheheheeh
SukaSuka
jd inget ketika niat ngajakin sepedaan ombolot di sini lalu malah dihantam balik dengan pertanyaan, “yakin lo, par?”
dan abis itu baru tahu bagaimana jalanan di sekitar sini
hahahahaha
SukaSuka
ngajakin aku aja mas.. aku mau sepedaan di jalanan apa aja kok.. *pasrah*
SukaSuka
Kalian benar2 pesepeda yang tangguh….dan narsiisss hahahaha
SukaSuka
tangguh sih belum tentu mbak.. kalau narsis udah pasti :p
SukaSuka
Ping balik: Rangkuman Perjalanan 2013 | The Science of Life