Telusur Sejarah Rokok Kretek di Museum Kretek Kudus
Saya bukan perokok dan malah bisa dibilang sangat anti dengan asap rokok. Hidung saya terlalu sensitif dengan asap rokok. Bahkan sebentar saja terpaksa menjadi perokok pasif, tenggorokan saya bisa gatal dan batuk-batuk. Tak jarang bisa berakhir menjadi radang tenggorokan jika badan saya sedang tidak fit. Tapi walaupun begitu, saya pernah sedikit menyelami tentang sejarah rokok dan kretek di Museum Kretek di kota Kudus, Jawa Tengah.
Jauh sebelum Djarum merajai dunia rokok kretek di Kudus pada era setelah kemerdekaan Indonesia, seorang bernama Nitisemito sudah lebih dulu mengukir sejarah sebagai pengusaha tembakau paling sukses di awal abad ke-20. Memang, sebelum Nitisemito tercatat juga sosok H. Jamhari yang mengenalkan rokok kretek pada akhir abad ke-19. Berawal dari penyakit sesak di dada, H. Jamhari mencampur cengkeh , tembakau, dan berbagai rempah yang sudah dirajang untuk dijadikan lintingan rokok. Namun, booming rokok kretek terjadi pada masa Nitisemito.
Di bawah label Tjap Bal Tiga H.M Nitisemito yang lebih diakrabi dengan Bal Tiga, Nitisemito memulai kisah suksesnya pada tahun 1914. Pada tahun 1938, usaha Nitisemito mencapai puncak keemasan. Saat itu Nitisemito memiliki 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok setiap harinya. Bahkan, saat itu pula Nitisemito mempunyai seorang tenaga pembukuan yang berasal dari Belanda. Suatu prestasi yang membanggakan di saat masih jamak seorang pribumi menjadi budak Belanda, tapi Nitisemito malah memperkerjakan seorang Belanda. Tercatat juga dalam sejarah bahwa Nitisemito adalah pengusaha pertama yang melakukan promosi dengan menyewa pesawat Fokker untuk menyebarkan pamflet kretek dagangannya. Promosi kreatif lainnya adalah memberikan bonus piring, gelas, radio, dan barang lainnya kepada pembeli rokok kreteknya. Sebuah pencapaian luar biasa untuk seorang pengusaha pribumi pada jamannya, bahkan untuk ukuran sekarang.
Awal ambruknya usaha konglomerat ini adalah ketika Nitisemito tutup usia pada tahun 1953. Tanpa generasi penerus dan perselisihan di antara ahli warisnya, perusahaan Bal Tiga pun ambruk. Selain itu, perang dunia kedua dan munculnya perusahaan rokok baru seperti Djarum juga memperburuk kondisi Bal Tiga.
Selain sekelumit kisah tentang Nitisemito, di Museum Kretek juga mengupas kisah-kisah lain. Dalam beberapa diorama digambarkan kegiatan pembuatan rokok kretek secara tradisional. Mulai dari bertani tembakau, memilih, menjemur, dan merajang tembakau untuk isi rokok. Tak lupa klobot jagung dikeringkan untuk pembungkus lintingan rokok. Alat-alat tradisional untuk membuat rokok pun tak terlewat dipamerkan. Dokumentasi berbagai merk rokok kretek asli Kudus juga terlihat cukup lengkap. Saya yang tidak mengakrabi dunia rokok hanya bisa mengenali rokok Sukun dan Djamboe Bol yang cukup terkenal dan masih eksis sampai sekarang. Dan, salah satu yang unik bagi saya adalah media promosi rokok jaman sekarang dan dahulu. Jika sekarang media promosi menggunakan barang-barang berdesain keren seperti payung, jam dinding, mug, kaos, topi, dan sebagainya, media promosi dahulu terkesan klasik. Gerabah pecah belah seperti teko, piring, gelas, dan mangkok yang terbuat dari keramik menjadi primadona promosi pada waktu itu.
Saya cukup terkejut saat menyadari bahwa ternyata saya bisa menikmati kunjungan ke Museum Kretek ini. Rokok di pikiran saya selama ini identik dengan asapnya yang mengganggu dan penyakit kronis yang mematikan. Namun di sisi lain, ternyata rokok kretek menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat Kudus, bahkan sampai sekarang. Banyak rantai kehidupan yang tergantung pada sebatang rokok. Kisah kesuksesan Nitisemito pun menjadi pembelajaran tentang usaha dan kerja keras. Dengan usaha dan kerja keras, seorang pribumi biasa bisa naik kasta menjadi golongan kelas menengah yang terpandang pada masa itu. Dan, tanpa sebuah rencana keberlangsungan usaha yang matang, sesukses apapun seorang pengusaha bisa bangkrut dan hancur lebur seketika. Saat ini peninggalan Nitisemito yang masih berdiri kokoh adalah rumah kembar di pinggiran Kali Gelis, dekat dengan Masjid Menara Kudus.
Tak rugi rasanya di suatu siang yang cukup panas sekitar setahun lalu saya memacu motor saya menuju kota Kudus untuk berkunjung ke Museum Kretek ini. Layaknya banyak museum, Museum Kretek ini pun sepi dari pengunjung. Hanya saya sendiri yang saat itu menelusuri jejak sejarah rokok kretek di sana. Terletak di desa Getas Pejaten, Kecamatan Jati, Kudus, tidak jauh dari perbatasan kota Kudus dan Demak, Museum Kretek ini bisa dikunjungi pada hari Selasa – Minggu dengan biaya Rp. 1.500,- saja. Tertarik berkunjung ke sana?
belum sempat ku posting cerita kesini, lumayan menarik cerita ttg museumnya, tapi sayang kurang terawat & sepi ya
SukaSuka
eh, kapan Mi ke sana?
SukaSuka
setahun lalu, 14 juli 2012 hahaha… kesed posting 😛
SukaSuka
Aku juga sekitar setahun lalu tuh. Pas puasa juga waktu itu. Abis perpanjang SIM di Pati terus melipir ke Kudus..
SukaSuka
posisi rumahnya kek rumah bentoel di Malang, aku paling senang main di HOS Surabaya 😉
SukaSuka
Wahh.. Aku belum pernah ke Rumah Bentoel di Malang mbak. Kalau HOS Surabaya udah pernah 2 kali ke sana
SukaSuka
pengen kesini… pengen kesini!!!!
SukaSuka
Ayo mas 😀
SukaSuka
Waaa pas banget nih…dalam waktu deket mo melipir ke Kudus bingung nyari info tentang Museum Kretek dan ternyata mas Ari wis nulis komplit. Horee… Nice share 🙂
SukaSuka
Waktu deket kapan tuh? Kalau abis lebaran mampir2 Pati ya Halim. Aku kan mudik cukup lama di rumah.. 😀
SukaSuka
Mungkin minggu depan ke Kudus – Lasem mas hehe…
Wahh siapp deh bertamu di Pati setelah Lebaran 🙂
SukaSuka
pernah kesini.. kaya rumah ga terawat gitu waktu lewat.. cuma ada simbol bal tiga itu yang pertanda..
SukaSuka
Yg ada simbol bal tiga itu rumah milik Nitisemito dulunya mbak. Kalau museumnya bukan yang itu..
SukaSuka
maksud pernah ke rumah ini.. 😀
SukaSuka
Belum pernah ke museum rokok 😦
Tapi dulu pernah tahu sedikit tentang tembakau soale simbahku dulu kan petani tembakau. Jadi diajari bagaimana menilih, menata, dan “merajang” pake pisau besar.
Dulu kenapa gak disempet2in menengok Museum Bentoel pas di Malang ya *toyor diri sendiri*
SukaSuka
eh? ada ya mbak Museum Bentoel? Aku malah belum pernah ke Malang dan sekitarnya *hiks*
SukaSuka
Hahhaha eh itu museum apa bukan ya? Soalnya dulu pernah survey transport daerah situ, dan bangunannya klasik sih Ar
*lah piye toh*
SukaSuka
Saya juga anti banget sama asap rokok, tapi kok ‘suka’ kalau lihat orang-orang ngolah dan njemur tembakau seperti yang di diorama itu lho, dan dimasukkan ke keranjang-keranjang lucu(?) dilapisi ‘debok’ (batang pohon pisang kering) <<< maklum tinggal di desa, masing kuat gotong-royongnya, padahal tahu kalau itu bakalan jadi 'pembunuh berdarah dingin' -_____-
SukaSuka
Lha.. Sama. Pas liat diorama juga jadi suka tuh.. hehe
SukaSuka
harus pintar-pintar mengelola museum. Harus dibuat semenarik mungkin untuk mengundang pengunjung, seperti HoS atau Museum BI sekarang.
Baru mau tanya gimana kondisi peninggalan rumahnya, eh dah ada fotonya. Rumah itu juga dilindungikah atau masih ada yang menempati?
SukaSuka
Kalau House of Sampoerna kan milik perusahaan swasta dan memang sebagai alat untuk mendokumentasikan mempromosikan produk milik mereka sendiri. Aku rasa sih wajar kalau lebih menarik dari museum milik pemerintah. Mungkin untuk museum di kota besar seperti Jakarta sudah mulai banyak yg berbenah, tapi aku belum pernah sih ke Museum BI.
Kondisi rumahnya mengenaskan dan tak terawat. Sepertinya sudah tidak ada yg menempati. Waktu itu sih emang sepi dan gerbang depannya tergembok, jadi gak bisa menelusuri lebih lanjut.
SukaSuka
sayang ya kalau semua museum seperti itu.
ada teman yang memang kerja di BI bagian museum. itu juga saya baru tahu belakangan. jadi BI memang sengaja membuat bagian ini utk meningkatkan museumnya. teknologi sudah mulai terlihat di sana. jadi gak melulu museum = boring.
SukaSuka
temanku keturunan Kudus pernah cerita kalo kakek buyutnya pengusaha rokok, dan mereka tinggal dekat menara Kudus.. jangan2 ini peninggalannya? jadi pengen kesana buat pembuktian, hehe..
SukaSuka
Wuihh.. Mungkinkah? Ayo mas main ke Kudus.. Terus mampir ke kampungku di Pati. Hehehe..
SukaSuka
hoho siappp.. btw Pati sama Kudus dekatkah?
SukaSuka
dekat dong. setelah Kudus, ke arah timur dikit udah sampe Pati.
SukaSuka
udah pernah review kuliner Pati? *malah ngasih PR, haha*
SukaSuka
Belum. Seringnya kalau mudik kan makan di rumah. Kalaupun makan di luar ya pas gak bawa kamera. Ntar mudik deh aku sempetin berburu bahan review. hehe..
SukaSuka
sip! ditunggu! ^^
SukaSuka
ada berapa museum rokok di kudus mas? apa ini cuma satu2nya?
SukaSuka
cuma ini Is..
SukaSuka
rokok itu dilema bangetttt….
SukaSuka
begitulah mbak..
SukaSuka
Next destinasi minggu depaaannn 🙂
SukaSuka
isssshhhh.. *mendadak iri*
SukaSuka
Ping balik: Soto Kerbau Karso Karsi, Kuliner Khas Kota Kudus | The Science of Life
Menarik banget. Sayang sewaktu ke Kudus aku gak sempat mampir ke sini 😦
Mudah-mudahan kalau pas ke Kudus lagi bisa mampir ke museum itu
SukaSuka
Iya mas. Ini museumnya bagus. Walaupun terkesan kurang terawat sih
SukaSuka
suka dengan foto bungkus2 rokoknya ituuu, dijadiin wallpaper di tembok seru kali ya
hiihihi
SukaSuka
Fotonya apa bungkus rokoknya mas? Tetanggaku ada tuh di papan dinding kamarnya penuh bungkus rokok. Hehehe
SukaSuka
oh iya dulu mas ku jg bikin tuh dari bungkus rokok djarum
hahahaha
tp yg itu lbh klasik dan unik
SukaSuka
Wah…..masih syukur peninggalan itu masih ada bro….!karena akhir-akhir ini banyak yang sudah ogah ama yang berbau kuno.pinginnya yang baru gitu loh…..!banyak orang bilang ngrawat yang kuno mahal harganya….ini musium bro….oh….oh.
SukaSuka
Kudus kota kecil memiliki keanekaragaman budaya dan food. Masyarakatnya pun sangat ramah.
SukaSuka
Nice blog dan terima kasih atas informasinya… Kudus memang indah penuh warna
SukaSuka