Gajah Aceh, Dahulu dan Sekarang


“…Kemudian datanglah raja di atas seekor gajah besar dan gagah yang dihias dengan mewah dan tubuhnya ditutupi dari kepala hingga ke kaki, kainnya disangga dengan bambu, menyerupai kura-kura raksasa, yang terlihat hanya kaki, telinga, mata, dan belalainya. Sang raja duduk di atas singgasana mewah yang di atasnya ditutupi oleh sepasang naungan tinggi atau kubah yang sangat mewah. Ketika raja lewat, rakyat melakukan sembah dengan mengangkat kedua telapak tangan yang disatukan ke atas kepala. Ketika sampai di panggung tinggi di lapangan berumput, raja turun dari gajah tersebut, melewati ruang kosong di antara kerumunan, dan menaiki gajah lain yang telah menunggunya di sana, Kubah di atas kepala gajah itu terbuat dari tambacca, logam campuran dari emas dan tembaga yang jauh lebih dihargai…” 

Adu Gajah

Fighting of Elephants (Adu Gajah), diambil dari Anthony Reid, (2002), Indonesian Heritage: Sejarah Modern Awal, Jakarta: Buku Antar Bangsa, hlm. 134

Itulah gambaran keagungan gajah sebagai tunggangan raja yang dituliskan oleh Peter Mundy, seorang pelancong asal Inggris yang berkunjung ke Aceh pada 22 April – 2 Mei 1637. Catatan Peter tentang Hari Raya Idul Adha 1637 adalah salah satu catatan perjalanan yang cukup lengkap dalam menggambarkan peranan gajah di Aceh saat perayaan Idul Adha. Mulai dari parade gajah, penggambaran adu gajah, sampai tentang Pulau Gajah, sebuah pulau yang terkenal untuk mengembangbiakkan gajah yang berada di Krueng Aceh. Membaca catatan milik Peter, terlihat gamblang bahwa ia sangat kagum dengan gajah-gajah Aceh.

Jauh sebelum Peter menceritakan tentang gajah di era Kesultanan Aceh setelah Sultan Iskandar Muda, Ibn Batutta, seorang penjelajah asal Maroko, dalam catatan perjalanan saat mendarat di Kesultanan Pasai sekitar tahun 1345, juga menceritakan bahwa gajah juga menjadi tunggangan sang Sultan. Ketika meninggalkan masjid, sultan mendapati beberapa ekor gajah dan kuda di pintu gerbang. Menurut adat, jika sultan mengendarai gajah, bawahannya harus mengendarai kuda, begitu sebaliknya”, Ibn Batutta menggambarkan.

Dan menelisik sejarah tentang gajah di Aceh, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kisah kemahsyuran Sultan Iskandar Muda. Berdasarkan catatan milik seorang pelaut asal Perancis yang bernama Augustin De Beaulieu, Raja memiliki senjata yang terbesar dan paling dibanggakannya, yaitu pasukan yang terdiri dari 900 ekor gajah. Raja yang sangat menyayangi gajah ini memberikan nama kepada masing-masing gajah, dan sangat menghormati gajah yang menurutnya paling berani dan paling terlatih. Bahkan saking sayangnya beliau dengan gajah, diceritakan pula ketika gajah-gajah itu berjalan-jalan di luar, raja akan memerintahkan anak buahnya untuk membawakan payung bagi mereka. Berdasarkan sumber yang lain, sejak kecil Sultan Iskandar Muda memang sudah akrab dengan gajah. Adalah seekor anak gajah bernama Indra Jaya yang menjadi teman bermain Iskandar Muda kecil. Kakeknya, Sultan Alau’ddin Riayat Syah, menghadiahkan gajah itu saat Iskandar berumur 5 tahun. Ketika umur 7 tahun, Iskandar Muda sudah mulai berburu gajah liar di dalam hutan. Saat itu, gajah liar diburu bukan untuk dibunuh kemudian diambil gadingnya, tetapi untuk dijinakkan. Setelah jinak, gajah terbaik dan terbesar dijadikan gajah sultan, sedangkan sisanya untuk armada perang. Dan ketika sudah menjadi raja, disebut sebagai orang yang memiliki kemampuan terbaik dalam menjinakkan dan memperlakukan gajah. Gajah pun menjadi tunggangan kebanggaan Sang Sultan.

Selain menjadi tunggangan raja-raja, gajah pada masa lampau digunakan untuk menyambut tamu asing. Berikut kesaksian John Davis, seorang Navigator Atlantik Utara asal Inggris yang bekerja untuk Belanda, saat berkunjung ke Aceh pada tanggal 23 (Agustus 1599), “pangeran memanggil saya. Saya berkendara ke istananya dengan seekor gajah. Ia memperlakukan kami dengan sangat baik. Makan dan minum yang berlebihan adalah hiburan kami”. Davis juga mengungkapkan bahwa gajah juga digunakan sebagai alat eksekusi hukuman mati. Jika raja memerintahkan untuk membunuh seseorang, maka akan dilakukan dengan cara membiarkan gajah-gajah merobek badan orang itu hinga pecah berkeping-keping”, terang DavisPernyataan Davis ini juga didukung oleh seorang pedagang Perancis bernama Francois Martin yang berkunjung ke Aceh pada 1602.

Sudah sejak berabad-abad lalu gajah ikut menorehkan sejarah di Aceh. Ketika Aceh dipimpin oleh para ratu pada tahun 1670-an, berdasarkan kesaksian Thomas Bowrey, gajah masih digunakan untuk armada perang dan penyambutan tamu. Namun, posisi penting gajah mulai tersisih seiring dengan meredupnya Kesultanan Aceh. Nasib gajah menjadi memprihatinkan memasuki abad ke-20. Gajah hanya menjadi barang buruan dan dagangan, bahkan menjadi musuh warga. Padahal gajah masih menunjukkan sikap setia terhadap manusia. Saat terjadi musibah tsunami yang maha dahsyat di tahun 2004 contohnya, gajah turut serta membantu manusia. Salah satunya Mido, seekor gajah yang berada di Pusat Latihan Gajah Saree pernah diperbantukan untuk membuka akses jalan yang tertutup material berat.

Seekor gajah dewasa ditemukan mati dengan leher putus yang diyakini akibat terjebak ranjau besi di pinggir sungai kawasan Desa Ranto Sabon, Aceh Jaya, Sabtu (13/7) dini hari (courtesy: Tribunnews.com)

Kini, nasib gajah semakin naas. Beberapa pekan lalu, lini masa di twitter ramai dengan kematian seekor gajah jantan bernama Papa Genk. Papa Genk mati secara mengenaskan dengan kondisi leher putus setelah terjebak ranjau besi di Desa Ranto Sabon, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, Sabtu (13/7) sekitar pukul 01.00 WIB dini hari. Papa Genk ditemukan tanpa gading. Kemarin, Jumat (26/7), kembali muncul berita kematian dua ekor gajah yang diduga diracun. Dua ekor gajah itu ditemukan di kebun sawit Desa Blang Tualang, Kecamatan Bireum Bayeun, Aceh Timur. Namun, ironis dengan peribahasa “gajah mati meninggalkan gading”, gajah itu pun mati dengan gading yang sudah hilang. Selain itu, berita kematian bayi gajah Raja dan Raju yang kehilangan induknya juga mewarnai tajuk berita di Aceh akhir-akhir ini. Kalau kita lebih jeli mencari berita di dunia maya, dari tahun ke tahun semakin banyak saja gajah yang dibunuh. Entah karena dianggap hama atau karena diambil gadingnya.

Saya pribadi merasa cukup dekat dengan gajah. Beberapa kali saya berkunjung ke tempat latihan gajah. Saya pernah berkunjung ke Pusat Latihan Gajah Saree dan ke CRU Sampoiniet (sudah pernah saya ceritakan di sini). Tujuan saya berkunjung untuk mengenal lebih dekat hewan yang dijuluki pomeurah oleh masyarakat Aceh ini. Tak kenal maka tak sayang bukan? Dan, setelah mengenal para gajah ini, rasanya sakit dan sedih mengetahui pembantaian gajah yang marak terjadi di Aceh. Sungguh suatu ironi di mana di tanah rencong yang dulunya mengagungkan dan menghormati gajah tapi sekarang gajah dibantai tanpa rasa berdosa. Andai Sultan Iskandar Muda ada di sini sekarang, saya rasa ia akan sangat murka.

Pada awal tahun lalu, WWF Indonesia pernah mengumumkan bahwa Gajah Sumatera diperkirakan akan punah dalam 30 tahun. Mungkinkah nanti kisah-kisah tentang keagungan gajah hanya bisa kita ceritakan ke anak cucu kita? Ah, saya tak sanggup membayangkannya. Bila memang kelak gajah benar-benar punah, manusialah yang patut untuk disalahkan.

Referensi : 
Reid, Anthony. 2010. Sumatera Tempo Doeloe. Depok: Komunitas Bambu
Gajah Aceh yang Agung
Kepala Gajah Terpenggal Ranjau Besi yang Dipasang Pencari Gading
Menengok Gajah Penolong Dampak Tsunami Aceh
Kurang Gizi Akut, Bayi Gajah Sumatera Mati
Ditemukan Lagi 1 Gajah Mati di Aceh, Diduga Diracun
WWF: Gajah Sumatera terancam punah dalam 30 tahun