Kencan Pertama di Waroeng Pati


Bagi teman-teman yang sudah menikah, masih ingatkah tempat kencan pertama kalian setelah menikah? Apakah restoran mahal yang berada di atap sebuah bangunan pencakar langit dengan suasana candle light dinner yang romantis? Apakah di sebuah pantai berpasir putih yang indah saat sunset menjelang. Atau malah di sebuah gubuk di pinggir pematang sawah yang dipenuhi warna padi nan hijau? Well, di manapun itu, pasti meninggalkan kesan bagi pasangan yang telah menikah. Apalagi yang baru saja menikah seperti saya.

???????????????????????????????

Ornamen-ornamen di bagian depan Waroeng Pati

???????????????????????????????

Berkencan di Waroeng Pati

Ya, beberapa hari lalu, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Negara kita tercinta ini, saya memerdekakan diri dari status bujangan. Alhamdulillah, sekarang pertanyaan-pertanyaan mengganggu “kapan kawin” dari beberapa orang tak akan lagi terdengar. Layaknya pengantin baru di adat jawa, seharusnya kami mematuhi tradisi yang tidak memperbolehkan pengantin baru keluar rumah sebelum sepasar (5 hari pasaran jawa). Tapi, karena saya dan istri adalah orang yang tidak betah untuk diam di rumah, sehari setelah berlangsungnya pernikahan, kami sudah ngelayap. Dan tujuan kami menghabiskan waktu siang sampai sore pada hari itu adalah sebuah pusat kuliner khas kota kami, Pati, yaitu Waroeng Pati.

Sebenarnya saya sudah tidak asing lagi dengan Waroeng Pati. Beberapa waktu lalu, saya sempat berkunjung ke sana (kisahnya bisa disimak di sini) namun saat itu tidak sempat mencicipi hidangannya. Seperti yang saya kisahkan pada kunjungan terdahulu, Waroeng Pati ini berada dalam kompleks pabrik kacang dan perkantoran PT. Dua Kelinci. Saya memang sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan nuansa dan arsitektur Waroeng Pati yang Jawa banget. Bangunan utamanya berbentuk joglo dengan ornamen-ornamen kayu mendominasi. Karena bertepatan dengan waktu shalat ashar, kami shalat di mushala terlebih dahulu. Mushalanya sangat nyaman digunakan. Berbentuk bangunan kecil yang terbuat dari kayu, bangunan mushala ini pun memiliki tema yang sama dengan bangunan restoran. Beratap limasan, bertangga undakan menuju teras, berjendela kayu di kanan kiri, dan berhiaskan perabot lemari ukiran kayu sebagai tempat menyimpan peralatan shalat, mengingatkan saya pada rumah-rumah di pedesaan.

???????????????????????????????

Soto Kemiri ala Waroeng Pati

???????????????????????????????

Nasi Gandul (Naga) ala Waroeng Pati

???????????????????????????????

Es Cemue dan Si Putih

Usai shalat, kami duduk dan memesan makanan. Menu di Waroeng Pati cukup beragam. Mulai dari menu tradisional maupun nasional tersedia di sana. Namun, hidangan khas kota Pati seperti Nasi Gandul dan Soto Kemirilah yang menjadi unggulannya. Saya pun memesan nasi gandul dan es cemue, sedangkan istri memesan soto kemiri dan si putih. Nasi gandul adalah primadona masakan khas kota Pati berupa nasi berkuah santan yang berwarna coklat, berlauk daging atau jeroan sapi, disajikan khas di atas piring yang dialasi daun pisang. Rasanya, sudah pasti enak. Bumbu jintan dan ketumbar membuat rasa kuah nasi gandul menjadi seperti kuah gulai, sedangkan bumbu lengkuas dan bawang putih menawarkan rasa mirip soto. Kalau saya bilang, nasi gandul ini fusion dari masakan gulai dan soto. Sedangkan soto kemiri, sekilas sudah saya ceritakan di sini). Lebih istimewa lagi, masakan di Waroeng Pati ini tidak memakai MSG. Pasti lebih sehat dong.

???????????????????????????????

Interior toilet di Waroeng Pati

Sama halnya dengan masakan yang kami pesan, minuman yang kami pesan pun juga khas Waroeng Pati. Cemue, minuman pesanan saya adalah minuman yang terbuat dari ramuan rempah seperti jahe, serai, dan kayu manis yang dicampur dengan gula merah dan santan yang nikmat diminum panas ataupun dingin. Rasanya sudah lama sekali saya tidak minum cemue. Makanya, begitu meneguk cemue pesanan saya rasanya nikmat sekali. Sedangkan si putih, minuman yang dipesan oleh istri adalah minuman dingin yang berisi kelapa muda, sirsak, nata de coco, jelly, dan selasih. Dinamakan si putih mungkin karena isinya serba putih.

Sambil menikmati hidangan Waroeng Pati, tak lupa kami meminta mbak waitress untuk memfoto kami sebagai kenang-kenangan. “Satu.. dua.. Kelincii..”, mbak waitress memberi aba-aba dengan datar. Kami terkejut. Alih-alih bilang “cheese”, ternyata di Waroeng Pati menggunakan kata “kelinci” untuk memberi aba-aba foto. Lucu dan unik deh.

Tak terasa hampir 2 jam kami duduk menikmati suasana sore di Waroeng Pati. Bercengkerama sambil duduk di kursi kayu panjang dipayungi dedaunan kelapa dan sayup-sayup ditemani lagu-lagu barat romantis yang diaransemen keroncong seperti Endless Love dan First Love memang membuat betah berlama-lama di sana. Apalagi suasananya sedang sepi. Dunia serasa milik berdua deh. Yang lain ngontrak! Haha..

Pengalaman kencan pertama kami jadi istimewa di Waroeng Pati. Masakannya enak, harga yang reasonable, ditambah lagi suasana restoran yang berkelas, membuat hidangan khas Pati seperti Nasi Gandul dan Soto Kemiri naik ke level yang lebih tinggi. Sepertinya kami harus mencoba ke sana waktu malam hari. Pasti suasananya jadi lebih romantis.

Ada ayunan juga di Waroeng Pati, nyaman buat anak-anak

Ada ayunan juga di Waroeng Pati, nyaman buat anak-anak

Nuansa Jawa di Waroeng Pati

Screen shot 2013-10-15 at 10.18.22 PM

Tulisan ini menjadi pemenang juara 3 kompetisi blog Menikmati Jajanan Tradisional di Waroeng Pati