Sebuah Catatan Usai Berbulan Madu


20130826-IMG_6026

“Selamat menempuh hidup baru. Selamat menjelang hidup bahagia. Selamat menjalani kehidupan lebih berwarna. Selamat belajar.. Belajar saling mengenal, memahami, toleransi, me-manage sebel, belajar kehidupan. Semoga berkah, semoga mawadah, semoga rahmah, semoga sakinah.”

Untaian kalimat di atas adalah sebuah doa yang kami (saya dan istri) terima dari seorang kakak sepupu. Doa yang tidak biasa dan terasa spesial bagi kami. Ya, kami sadar bahwa kehidupan setelah menikah adalah belajar. Belajar apa saja. Dan bagian awal pembelajaran kami untuk saling mengenal, memahami, toleransi, dan belajar kehidupan adalah melakukan traveling bersama. 

Well, jauh sebelum melangsungkan pernikahan, saya pernah melontarkan sebuah ide berbulan madu yang cukup gila kepada (saat itu sih masih calon) istri. “Gimana kalau kita bulan madunya keliling Sumatera? Dari Lampung finish di Aceh?”, kata saya. Kenapa Sumatera? Karena kami berdua memiliki ikatan khusus dengan pulau ini. Dan gayung pun bersambut. Memang dasarnya sama-sama suka traveling, sontak istri pun mengiyakan dengan antusias. Untuk keliling Sumatera konsekuensinya tentu memerlukan waktu yang cukup lama. Saya pun mengajukan cuti alasan penting menikah selama 6 minggu (termasuk cuti bersama 1 minggu sesudah lebaran), dan alhamdulillah disetujui. Kalau istri sih jatah cutinya banyak banget. Dipakai cuti 6 minggu pun masih sisa aja gitu.

Awalnya kami berencana mulai berangkat keliling Sumatera seminggu setelah acara pernikahan. Tapi karena satu dan lain hal akhirnya kami undur beberapa hari. Malah sebelum keliling Sumatera kami sempatkan untuk jalan-jalan ke Solo selama 2 hari. Rencana awal start di Lampung pun harus kami evaluasi setelah mendengar uneg-uneg istri yang ingin tinggal di Banda Aceh cukup lama sebelum kemudian kami berpisah untuk sementara waktu. Ya, kami memang berencana untuk melakoni hubungan Long Distance Marriage.

Sebenarnya sih saya tetap ingin start dari Lampung. Taman Nasional Way Kambas adalah alasan saya. Tapi, setelah membaca beberapa catatan perjalanan hasil googling, keinginan saya berkunjung ke sana sirna. Padahal saya ingin merasakan kembali wisata yang unik bersama gajah seperti yang pernah saya lakukan di Aceh (kisahnya bisa dibaca di sini dan sini). Takut berekspektasi lebih dan membandingkan dengan wisata gajah yang pernah saya lakukan, akhirnya saya lewatkan. Mungkin lebih baik saya ke Tangkahan jika ingin lebih intim berinteraksi dengan gajah. 

Palembang pun akhirnya kami lewatkan juga karena faktor waktu. Padahal selain ingin kenal dengan kota empek empek itu kami juga ingin bertemu beberapa teman di sana, Yayan -seorang blogger kondang asal Palembang- salah satunya (Maaf ya Yan, kami gak jadi berkunjung ke sana). Semoga nanti ada kesempatan juga untuk ke sana. 

Dan hasil final diskusi kami berdua adalah perjalanan keliling Sumatera ini kami mulai dari Jambi. Trip  bulan madu ini kami lakukan tanpa itinerary detail. Padahal kalau traveling, saya biasanya sudah membuat itinerary lengkap dari penginapan, transportasi, tempat yang mau dikunjungi, dan alokasi waktu. Tapi kali ini kami go show. Ke mana kaki melangkah, melangkahlah kami. 

Alhasil selama 8 hari kami berhasil menjejakkan kaki di 6 kota (Jambi, Sawahlunto, Padang, Bukittinggi, Pekanbaru, dan Medan) dan 10 hari di Banda Aceh, kota tempat saya tinggal. Ini pertama kali dalam setengah bulan lebih kami berdua bersama. Tanpa keluarga saya, tanpa keluarga istri. Banyak kisah terangkum selama perjalanan itu. Walaupun dalam setiap perjalanan selalu ada kisah sedih, tapi suasana hati ceria dan menyenangkan lebih mendominasi. Menyesap denyut kehidupan di beberapa tempat di Sumatera walaupun sejenak adalah pengalaman berharga bagi kami. Budaya di tanah Sumatera yang jauh berbeda dari Jawa, tanah kelahiran kami, sedikit banyak menambah pengetahuan kami tentang kata toleransi. Menggali sedikit peninggalan masa lampau di Sumatera semakin menambah kekaguman kami pada tanah emas ini. Dan, usaha mengenal lebih dekat tanah tempat kami hidup selama beberapa tahun terakhir ini tak ubahnya seperti kami yang belajar saling memahami. Kisah-kisah itu nanti akan saya ceritakan satu per satu.

***

Saya merantau di Aceh, sedangkan istri di Pulau Bintan. Sebulan lalu kami pulang ke tanah Jawa untuk mengikat diri kami jadi satu, menyempurnakan agama kami. Dan, usai perjalanan singkat menapaki tanah Swarnadwipa dari Jambi sampai ke Aceh, tiba saatnya kini kami berjarak kembali, menekuni rutinitas masing-masing.  

***

Dan, sebuah surat kubaca usai keberangkatanmu…

Dear Hubby,

Terimakasih yang tak terhingga untuk 1×24 jam x 29 hari yang telah kita lalui bersama, terimakasih untuk sebuah adaptasi, saling memahami dan saling menomorduakan ego masing-masing untuk saling mengontrol emosi, waktu yang memang sangat berharga untuk sebuah awal perjalanan hidup yang masih terlalu hijau ini, maaf aku sudah meninggalkanmu, meninggalkan sementara tugas utama sebagai istri yg melayani dan ngopeni suami, sesuai kesepakatan yg telah kita buat bersama demi masa depan, istrimu satu-satunya ini Insha Allah akan tetap menunaikan tugas-tugas pokok sebagai istri dari jarak yg berbeda.

Terimakasih telah menjadikanku 1 dan 1/9, Insha Allah mulai menikmatinya dan tetap amanah menjaga titipan Allah swt ini. Selamat kembali ke dunia kerja ya. Selamat kembali memulai aktivitas. Tetap jaga kondisi tubuh dan menjaga ibadah.

Sampai ketemu lagi 🙂

warm regards,
Your Wife