She May Find a Prince..


20130819-IMG_5795

Senja di balik Muria

Roda sepeda motor yang kami kendarai menggelinding menjauhi pemukiman. Jalanan beraspal sudah berubah menjadi jalanan tanah selebar dua meter. Di kanan kami tampak kapal-kapal nelayan sedang bersauh di pinggiran sungai Silugonggo. Petak-petak tambak ikan pun berderet rapi di sebelah kiri kami. Sedangkan sang surya sudah mulai kembali ke peraduan di balik sosok gagah gunung Muria.

“Benar ini jalannya dek?”, aku bertanya kepadanya saat motor kami semakin jauh menuju utara. Sudah melewati Pulau Seprapat —sebuah pulau yang berada di tengah sungai Silugonggo namun sekarang sudah menyatu dengan daratan— namun tempat yang kami tuju belum ketemu juga. “Iya, masih ke utara lagi. Setelah jembatan kecil nanti kita belok kiri”, ia menjawab mantap. 

Sore itu kami memang sengaja menghabiskan waktu menyusuri galengan tambak di pesisir utara Juwana. Selain bertujuan menikmati matahari tenggelam di balik Muria, ia juga mau menunjukkan tambak milik keluarganya kepadaku. Tambak yang penuh kenangan baginya. 

“Dulu, waktu aku masih kecil, pagi-pagi buta aku dibonceng bapak pakai sepeda menuju tambak”, ia bercerita. Sekarang aja aku pakai sepeda motor jauh begini, bagaimana dulu pakai sepeda onthel ya. Pasti bapak lelah, apalagi di bangku boncengan ada seorang anak walaupun masih kecil tapi pasti bertubuh gemuk lucu. “Kalau hari libur, aku bisa seharian di tambak. Dulu pondokan kami di tambak nyaman. Ada tempat tidur, ada pula kompor untuk masak. Bapak menjaga dan merawat udang dan bandeng yang ada di tambak, sedangkan aku baca-baca buku di dalam pondok sampai tertidur”, ia kembali bercerita memori masa kecilnya. Sederhana dan bahagia sekali.

Galengan tambak yang tadinya cukup lebar untuk dilalui mobil, kini menyempit —hanya bisa dilalui sebuah motor—. Aku yang tidak biasa naik motor di antara tambak-tambak ini tentu harus ekstra hati-hati. Untung saja, tak lama kami sudah sampai di tempat yang kami tuju, tepat saat bulatan sempurna sang surya menghilang dibalik sang Muria. Ia berdiri menatap refleksi langit jingga di air tambak. Aku berdiri di belakangnya. Hening. Yang terdengar hanya desau angin yang membelai indra pendengaran.  

Tubuhnya yang mungil terlihat bergetar. Isak lirih tertangkap telingaku. Kudekati ia dan kuusap air mata yang menetes tak terbendung. Tanpa berkata-kata, kulingkarkan tanganku ke tubuhnya, aku memeluknya dari belakang. Aku tahu yang ia rasakan.

“Dear Daddy, I may find a Prince someday but you’ll always be my KING”. Teringat aku sebuah status messenger yang pernah ditulisnya sebelum kami menikah. Kini, aku memang sudah menjadi suaminya, mungkin juga menjadi pangerannya. Tapi aku tahu, tempat Bapak —yang sudah tutup usia hampir satu dekade lalu— akan selalu sama di hatinya. Well, honey.. Here I am, your prince. Maybe I can’t be your king, but you can count on me for all of your life. 

Dan sayup-sayup adzan maghrib berkumandang memanggil kami pulang..

Juwana, 19 Agustus 2013