Idul Adha Pertama


20131015-IMG_7075

Suasana shalat Idul Adha di Masjid Al Jama’ Nurul Amin, Kampung Sekera, Bintan Utara

“Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaaha ill-Allah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa Lillah il-hamd”. Sayup-sayup takbir menggema usai subuh pagi ini. Gerimis kecil pun ikut menyambut datangnya waktu shalat Idul Adha. Ini adalah Idul Adha pertama saya selain di Pati, kampung halaman saya, atau Banda Aceh, kota domisili saya. Idul Adha kali ini saya berada di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Mungkin sekarang Bintan bisa saya bilang sebagai rumah. Karena, istri saya berdomisili di sana.

Takbir masih menggema dan saya masih melamun. Hari ini hari terakhir sebelum saya berjauhan kembali dengan istri. Kebersamaan 3 hari terakhir rasanya hanya sekedip mata. Terlalu singkat. Tak mau rasanya kembali berjauhan dan kembali menjadi seorang suami yang kurang berguna bagi istri yang sedang hamil. Ah, harus saya akhiri lamunan mellow ini. Seharusnya saya bahagia. Sekarang hari raya. Seharusnya saya merayakan hari ini dengan suka cita.

Lagoi masih dihiasi rintik gerimis ketika saya, istri, dan dua orang kawan bersiap berangkat menuju Tanjung Uban. Demi mengejar jadwal penerbangan, saya harus berangkat pagi. Rencana awal, kami akan menunaikan ibadah shalat Idul Adha di Tanjung Uban sebelum menyeberang ke Batam menggunakan speed boat. Tak seperti di kampung halaman dan di Banda Aceh yang relatif ramai, suasana Idul Adha di Pulau Bintan ini sepi. Sepanjang perjalanan Lagoi – Tanjung Uban tak terlihat aktivitas semarak menyambut hari raya. Hanya sesekali kami menyalip atau berpapasan dengan orang-orang yang bersiap menuju masjid. Mungkin karena gerimis di pagi hari membuat orang malas beraktivitas atau memang perayaan hari raya Idul Adha di sini sepi seperti ini.

Tepat Pukul 07.00 kami berhenti di Masjid Al Jama’ Nurul Amin, Kampung Sekera, Bintan Utara. Tak mau ketinggalan shalat Idul Adha, kami mengubah rencana untuk shalat di masjid yang terletak di pinggir jalan ini. Tidak tampak keramaian berlebih di masjid yang berukuran sedang ini. Ketika saya masuk masjid, baru ada 4 shaf yang penuh di depan. Karena saya memakai kaos, saya memilih duduk di belakang. Aneh rasanya kalau saya yang memakai kaos duduk di shaf depan di antara para jamaah lain yang memakai kemeja rapi. Mayoritas penduduk Bintan adalah orang Melayu. Terlihat jelas dari gaya berpakaian para jamaah pria. Warna-warna terang seperti kuning nge-jreng, hijau, jingga, dan merah muda mendominasi pakaian mereka. Baju mereka berbentuk baju kurung khas melayu minus kain sarung yang dililitkan di pinggang. Walaupun tak terlihat ramai, namun warna-warni pakaian para jamaah sanggup menyemarakkan suasana hari raya.

“Aku habis muntah mas. Begitu selesai salam aku langsung keluar masjid, udah gak tahan mau muntah”, istri saya bercerita usai shalat. Lagi-lagi perasaan kurang berguna sebagai suami menyerang saya. Pasti morning sick seperti ini setiap hari dia jalani. Tanpa saya di sisinya, pasti terasa lebih berat. Saya minta istri saya untuk tidak memaksa ikut menyeberang ke Batam. Cukup di Pelabuhan Tanjung Uban saja melepas saya. Rupanya dia bersikeras ingin ikut ke Bandara Hang Nadim. Rasanya tak tega melihat dia yang pucat dan lemas ikut perjalanan menyeberang pulau. Tapi saya teringat pesan seorang teman, “Apa saja permintaan ibu hamil, kalau bisa turuti saja”. Ya, saya mengalah. Saya ijinkan dia ikut melepas saya sampai bandara.

Waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 dan saya masih berada di sebuah restoran di area terminal keberangkatan Hang Nadim. Waktu boarding yang tertera di pass saya 10.25. Saatnya masuk ke pesawat. Sambil antri masuk pintu keberangkatan, terlihat mata istri berlinang. Salam perpisahan kami ucapkan. Sejenak dia memalingkan muka. Sepertinya dia tak mau ketahuan kalau sedang menangis. Ya, saya tahu dia sedih. Saya pun.

Berlari-lari saya masuk ke gate 4. Ruang tunggu sudah sepi. Memasuki pesawat, semua penumpang sudah duduk rapi. Sepertinya saya penumpang terakhir yang masuk dalam pesawat Boeing 737-900ER yang menuju Medan siang ini.

Idul Adha kali ini, tanpa lontong, ketupat, sate, dan daging kurban terhidang. Tanpa kehangatan keluarga yang bergotong royong menyembelih seekor sapi seperti tahun lalu. Pun tanpa undangan makan-makan dari rekan-rekan kerja di Banda Aceh seperti beberapa tahun yang lalu. Tapi tanpa semua itupun saya tetap merasa bahagia. Merayakan Idul Adha pertama sebagai suami dan calon ayah bersama istri, rasanya sudah lebih dari cukup. Rasa syukur yang saat ini juga bercampur kesedihan. Sedih karena berpisah kembali.

Bintan, 15 Oktober 2013