Honeymoon Trip: Sehari di Solo


Kalau Banda Aceh adalah kota yang memberikan arti khusus di hati saya, Solo adalah kota yang penuh kenangan bagi istri saya. Istri saya menghabiskan masa SMA dan kuliah di kota itu. Menyinggahi Solo, itulah yang menjadi salah satu alasan sebelum melakoni honeymoon trip lintas Sumatera kami, seminggu setelah kami menikah. Ini adalah perjalanan jarak jauh kami yang pertama sebagai suami istri. Saya sebenarnya sudah tidak asing juga dengan kota yang menasbihkan diri sebagai The Spirit of Java ini. Dulu sekali, saat kakak perempuan saya kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Solo, saya cukup sering berkunjung. Bahkan, saya juga dulu hampir kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Solo.

20130826-IMG_5927

Istri berpose bersama patung loro blonyo di Cakra Homestay

Usai subuh pada suatu pagi akhir agustus lalu, ransel saya sudah tarpanggul rapi. Saya dan istri berdiri menunggu bus jurusan Semarang di depan rumah. Tinggal di jalur pantura antara Pati dan Rembang ada untungnya juga, tak perlu susah-susah ke terminal untuk mencari bus. Tinggal nyegat di depan rumah, bus langsung tersedia. Tidak perlu waktu lama, kami pun naik bus jurusan Semarang untuk kemudian turun di terminal Pati.

Ada dua cara menuju Solo dari Pati, kota halaman kami. Pertama adalah via Purwodadi, dan kedua via Semarang. Pagi itu kami memilih lewat Purwodadi dengan pertimbangan jarak tempuh yang lebih dekat. Saya selalu suka melewati jalur Pati – Purwodadi – Solo. Selain karena pemandangan perbukitan dan hutan yang cukup enak dipandang, walaupun sudah banyak yang gundul di sana-sini, berteman seperjalanan dengan para petani dan pedagang juga menjadi suatu kenikmatan tersendiri. Mendengarkan mereka saling bersenda gurau dan berceloteh tentang apa saja dalam Bahasa Jawa memunculkan perasaan “rumah” bagi saya yang bertahun-tahun merantau di Bumi Serambi Mekah. Selain penumpang, berkarung-karung hasil pertanian pun ikut berbagi tempat dalam sebuah mini bus menuju Purwodadi pagi itu.

20130826-IMG_5928

Ornamen njawani di Cakra Homestay

Setelah total naik 3 bus dan menempuh perjalanan selama kurang lebih 4 jam, kami sampai di terminal kebanggaan warga Solo, Tirtonadi. Untung pagi itu bus jurusan Purwodadi – Solo yang terkenal ugal-ugalan, sedang waras. Tak ada rasa lelah dan pusing di perjalanan. Kota Solo tampaknya selalu berbenah. Wajah Tirtonadi pun berubah. Di samping bangunan lama yang terlihat rapi, terdapat pula bangunan baru terminal dengan fasilitas lebih memadai. Kami menuju bangunan itu untuk bertemu mbak Yusmei dan Halim, dua sahabat blogger yang rela kami repotkan selama di Solo.

20130825-IMG_5882

Kami bersama dua sahabat blogger kota Solo

Roda-roda motor kami sudah menggelinding menuju Cakra Homestay, tempat menginap kami selama di Solo, saat matahari sedang di titik tertinggi. Suasana berubah menjadi adem saat kami masuk areal parkir penginapan yang berada di bilangan Kauman ini. Pendopo kayu berada tepat di tengah kompleks penginapan dikelilingi oleh kamar-kamar. Senada dengan The Spirit of Java milik Solo, Cakra Homestay juga memiliki spirit yang sama. Atmosfer  njawani sangat kental di sana. Bukan hanya dari bangunannya, perabot lawasan juga semakin menguatkan atmosfer Jawa. Jangan lupakan juga detil ornamen seperti gamelan dan penampakan loro blonyo, patung sepasang pengantin jawa yang dipercaya akan memberikan kemakmuran, menjadi hiasan etnik di sebuah pendopo joglo kecil yang menghadap kolam renang berair jernih di bagian belakang penginapan. Pantaslah kalau Lonely Planet merekomendasikan penginapan ini sebagai “excelent choice for those interested in java culture”. Sepertinya kami tidak salah pilih tempat menginap.

Tanpa tujuan khusus, selama di Solo, kami lebih banyak menghabiskan waktu mengulik sedikit tentang sejarah dan budayanya. Atas rekomendasi mbak Yusmei dan Halim, kami berkunjung ke Museum Batik Danar Hadi siang itu usai menyantap selat Solo. Batik dan Solo, sepertinya dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Batik sudah mengakar dengan kehidupan masyarakat Solo sejak abad ke-17. Awalnya pemakaian kain batik sangat eksklusif, hanya keluarga keraton saja yang menggunakannya. Baru kemudian berkembang luas di masyarakat.

20130825-IMG_5809

Bangunan utama kompleks Museum Batik Danar Hadi

20130825-IMG_5810

Salah satu sudut Toko Batik Danar Hadi yang terletak satu kompleks dengan Museum

Museum Batik Danar Hadi ini adalah museum milik seorang pecinta batik bernama H. Santosa Doellah. Memamerkan sekitar 600-an lembar dari total koleksi 11.000 lembar batik miliknya, museum ini memberikan sekilas sudut pandang tentang perjalanan batik bukan hanya di Solo, tetapi juga di Indonesia. Selain tentu saja memamerkan batik keraton, mulai dari Kasunanan, Mangkunegaran, Kasultanan, dan Pakualaman, jenis batik lainnya juga mendapat tempat di museum ini. Salah satu yang unik yang saya temukan di sana adalah Batik Belanda. Batik ini bukan batik yang dibuat oleh orang Belanda, tetapi dibuat oleh pribumi Indonesia yang motifnya dipengaruhi oleh budaya Belanda. Selain itu, batik lain dari berbagai daerah di Indonesia seperti Lasem, Pekalongan, Cirebon, Kudus, Banyumas, dan Jambi juga dipamerkan di sana. Sebenarnya pengunjung bisa juga melihat proses pembuatan batik di bagian lain museum ini yang masih digunakan untuk produksi batik tulis dan cetak pada hari kerja, tapi sayang, kami berkunjung pada hari minggu. Dengan tiket seharga Rp. 25.000,- dan layanan guide museum yang sangat informatif, saya pun meninggalkan museum ini dengan rasa puas walaupun selama berada di ruangan museum tidak diperbolehkan mengambil gambar.

20130825-IMG_5827

Ribuan piringan hitam koleksi Lokananta

Menjelang sore, motor yang kami kendarai kembali menyusuri jalanan kota Solo. Kali ini kami berhenti di sebuah bangunan lawas, sepi, dan terkesan tak terawat yang terletak di jalan Ahmad Yani nomor 379. Bangunan itu adalah Studio Lokananta. Saya tertarik dengan sejarah tentang studio rekaman pertama yang ada di Indonesia ini sejak membaca sebuah artikel. Dirintis oleh pegawai RRI Surakarta bernama Oetojo Soemowidjojo dan Raden Ngabehi Soegoto Sorerjodipoero pada tahun 1950 sebagai pabrik piringan hitam, Lokananta resmi berdiri pada tanggal 29 Oktober 1956. Tujuan awalnya adalah untuk kepentingan siaran Radio Republik Indonesia. Lokananta digunakan sebagai pusat tempat rekaman dan pengarsipan lagu-lagu daerah yang disiarkan oleh RRI di berbagai kota di Indonesia.

Karena berkunjung pas hari minggu, tentu saja kantor BUMN ini tutup. Tapi kami beruntung memiliki kawan yang sudah biasa blusukan di Solo. Sudah beberapa kali rupanya dua kawan kami ini menyambangi Lokananta. Agar bisa masuk dan berkeliling di dalam ruangan-ruangan yang ada di sana, kami meminta izin kepada satpam. Mas Agus, satpam yang berjaga sore itu menyambut kami dengan hangat. Dengan senang hati ia mengantarkan kami berkeliling. Mendadak ia menjadi seorang guide.

Beberapa ruangan berisi harta musik Indonesia berhasil kami masuki. Di antaranya adalah ruangan  sederhana tanpa pendingin ruangan berisi rak-rak yang diisi oleh koleksi vinyl berusia puluhan tahun yang sedihnya, tampak tak terawat. Koleksi rekaman beberapa musisi lawas ternama seperti Waldjinah, Gesang, dan Titiek Puspa tersimpan lengkap di sana. Selain Waldjinah, kebanyakan adalah koleksi musik-musik Jawa seperti karawitan dan lagu dolanan. Piringan hitam berisi lagu-lagu daerah dari berbagai daerah di Indonesia juga masih tersimpan rapi. Bahkan, harta karun sejarah Indonesia, rekaman lagu Indonesia Raya tiga stanza juga saya temukan di sana. Sayang, rekaman itu tidak dijual untuk umum. Terbesit keinginan saya untuk memiliki salah satu dari ratusan keping rekaman Indonesia Raya itu.

20130825-IMG_5859

Ruang rekaman dengan peralatan bermerk Studer, produksi Jerman

Ruangan lain yang membuat kami kagum adalah ruangan studio rekaman. Di ruangan yang cukup untuk ratusan orang rekaman sekaligus inilah musisi seperti Efek Rumah Kaca dan White Shoes and The Couples Company merekam lagu dalam album baru mereka. Hari berikutnya, sebelum kami pulang ke Pati, kami sempatkan berkunjung ke Lokananta lagi untuk membeli beberapa album keroncong, karawitan, dan lagu dolanan musik produksi Lokananta. Solo memang menjadi salah satu kita paling bersejarah di Indonesia. Di dunia musik, Solo memiliki Lokananta. Semoga “gamelan milik khayangan yang bersuara merdu” ini tidak hanya menjadi jejak sejarah yang terlupa di jaman sekarang.

20130825-IMG_5904

Saya dan istri berpose di depan Benteng Vastenburg

Usai menunaikan shalat ashar di Masjid Laweyan, sebuah masjid tua bernuansa hindu dan jawa di Dusun Pajang, Laweyan, kami berkunjung ke Benteng Vastenburg. Saudara tua Benteng Vrederburg di Yogyakarta ini kondisinya kalah jauh dibandingkan dengan saudara mudanya. Kumuh dan tak terawat. Kisah benteng ini cukup panjang. Halim bercerita kepada kami, “dibangun pada 1745 oleh Belanda sebagai pusat pertahanan terhadap perlawanan musuh, benteng ini sempat menjadi milik perseorangan”. Saya membayangkan sekaya apa coba orang pribadi yang bisa punya benteng. “Baru pada pertengahan tahun 2012 usaha Pemkot Solo merebut benteng ini membuahkan hasil. Itu pun tidak semua bagian benteng bisa diambil alih oleh negara karena beberapa hektar halaman belakang sudah resmi dibeli oleh pihak swasta sejak lama”, Halim lanjut bercerita. “Pada tahun 2007 sempat ada event Solo International Ethnic Music yang berhasil negosiasi dan mendapatkan ijin untuk menggunakan benteng ini sebagai tempat penyelenggaraan event seni dan budaya. Tapi ya gitu, kondisi birokrasi hukum yang buruk, pemerintah korup, dan swasta kaya raya yang rakus terus membelenggu benteng ini. Miris deh mas dulu. Untung saja sekarang sudah lumayan”. Ya, sepertinya keadaan menjadi lebih baik sekarang. Terakhir diadakan event Solo City Jazz 2013 di kompleks benteng ini pada akhir September lalu. Menghabiskan sore, tanpa bisa masuk ke dalam kompleks benteng, saya dan istri hanya bisa menikmati kesuraman kisah dan keadaan benteng sambil berfoto gaya pre-wedding di bagian depan benteng.

Mengintip Benteng Vastenburg

Mengintip Benteng Vastenburg

Banyak pilihan destinasi memang di kota Solo. Alih-alih ber-honeymoon di tempat yang sepi dan bernuansa alam indah, kami malah menyusuri sedikit jejak sejarah dan budaya di kota Solo bersama beberapa sahabat. Sehari di Solo dan sehari menyambangi candi-candi di Karanganyar memang tidak akan cukup memuaskan nafsu menjelajah Solo dan sekitarnya. Tapi bagi saya dan istri, kunjungan sehari itu sudah sedikit mengobati rindu pada kota Solo. Saya pun bisa lebih mengenal secuil kisah sejarah yang ada di Solo. Sepanjang jalan berkeliling Solo, istri saya bercerita bagaimana Solo mengisi kisah hidupnya. Untung saja istri saya bukan bertujuan untuk napak tilas kisah-kisah dengan seseorang di masa lalunya yang (mungkin) masih tercecer di Solo. “Suatu saat kita menetap di Solo yuk mas. Kotanya enak buat mendidik anak-anak kita nanti. Modern tapi masih tetap mempertahankan budaya Jawa, budaya kita”, kelakar istri dalam sebuah bus menuju pulang. Saya mengangguk kecil. Saya pun teringat pepatah, tak kenal maka tak sayang. Ya, semakin mengenal Solo, saya semakin merasakan sayang dengan kota ini. Sama seperti istri, Solo sudah mendapat tempat khusus di hati saya.