Menjemput Cinta di Pulau Penyengat
Moncong dua buah meriam perang itu menatap lautan dalam diam. Di sudut Benteng Bukit Kursi, mereka teronggok kesepian. Ratusan tahun lalu, dalam kesunyian, mereka bersiap memuntahkan bola-bola baja ke arah kapal-kapal musuh di lautan biru. Pun begitu denganku. Berdiri menatap laut ingin memuntahkan suatu niat yang sudah kususun rapi, tapi mulutku kelu. Dan kau, duduk dengan manisnya di alas meriam, seperti menunggu sesuatu, tersipu saat tatapan mata kita bertemu. Ah, kau pasti ingat hari itu, setahun lalu.
Kau membawaku ke Pulau Penyengat di hari ketigaku berada di Bintan. Menumpang perahu pompong berukuran kecil pagi itu, kita bertolak menuju Penyengat dari Tanjungpinang. Saat itu musim angin utara, ombak kurang bersahabat dengan kita. Aku yang tak terbiasa berperahu, seketika pucat pasi. Duduk berdekatan denganmu, menambah gugup diriku. Saat perahu mulai bergerak, semua mata terpaku pada bangunan berwarna kuning yang kokoh berdiri di kejauhan. Bangunan bersejarah Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat terlihat ramah menyapa kita pagi itu.
Kabarnya pulau ini adalah sebuah mahar perkawinan yang diberikan oleh penguasa Kerajaan Riau-Lingga, Sultan Mahmud III, kepada Engku Puteri yang memiliki nama lahir Raja Hamidah, putri dari Yang Dipertuan Muda Raja Haji. Saat itu pergolakan politik antar Melayu dan Bugis sedang panas saling berebut kekuasaan dalam memimpin Kerajaan Riau-Lingga. Selama 8 tahun kedua pihak ini berperang. Sampai akhirnya, bulan kesembilan tahun 1803, disepakatilah sebuah Perdamaian Kuala Bulang. Sebuah kesepakatan politik yang membuat Sultan Mahmud, sebagai sosok keturunan Melayu yang berkuasa menikahi Raja Hamidah —sosok keturunan Bugis, dan penerus Raja Hasi Fisabilillah—. Tujuannya tak lain adalah untuk meluluhkan perseteruan Melayu dan Bugis. Dalam kehidupan sehari-hari dan politik.
Ah, kau pasti lebih tahu dari aku tentang sejarah ini. Sudah setengah dasawarsa lebih kau hidup di Negeri Segantang Lada. Sedangkan aku, baru tiga hari di sini. Aku pernah berkisah padamu, alasanku menempuh jarak ribuan kilometer. Ingatkah kau? Ya, alasanku kala itu adalah untuk memantapkan hati. Memantapkan hatiku untuk memilihmu. Kau pasti sudah bisa menebak.
Berdua kita mengayuh kereta angin beriringan berkeliling pulau yang hanya seluas 187 hektar itu. Tergelitik aku tentang asal mula nama Penyengat di pulau ini. Tak jauh dari Masjid Raya, kutemukan sebuah papan kayu bertuliskan riwayat Pulau Penyengat. Konon, pulau mungil yang terletak di muara Sungai Riau ini sudah dikenal lama oleh para pelaut berabad-abad lampau. Kebanyakan dari mereka singgah di pulau ini untuk mengambil persediaan air tawar. Nama penyengat mencuat tatkala ada pelaut yang sedang singgah di pulau ini menjadi korban sengatan serangga semacam lebah. Awal abad 19, Pulau Penyengat dijadikan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Riau Lingga. Sejak saat itu, peranan pulau bernama lengkap Pulau Penyengat Indera Sakti sebagai pusat pemerintahan, adat istiadat, agama islam, dan kebudayaan melayu pun lengkap sudah.
Kita bercengkerama semakin akrab sambil tetap mengayuh kereta angin. Aku ingat sekali saat itu ban sepeda yang aku naiki kempes. Tapi tetap kukayuh paksa. Melewati bangunan-bangunan tua, rasanya suasana menjadi sedikit romantis. Itu yang kurasa, entah bagaimana dirimu. Masih ingat juga bukan saat kita harus melewati anak-anak tangga untuk menuju sebuah bangunan mirip istana berwarna kuning? Saat itu aku sok jadi pahlawan kesiangan mengangkat sepedamu menuju atas. Walaupun keringatku bercucuran, rasa di hatiku bahagia. Andai kau lihat wajahku saat menulis ini, semu merah pasti terlihat di antara bekas cukuran di wajahku.
Singgah di kompleks Makam Engku Puteri, aku semakin kagum dengan kisah hidup permaisuri Sultan itu. Kalau di Aceh ada Cut Nyak Dien dan Laksamana Malahayati, di Jawa ada Kartini, mungkin kisah heroik Engku Puteri di bumi Melayu ini bisa aku sejajarkan dengan mereka walaupun tak banyak yang tahu. Tugas pengabdiannya kepada Sang Sultan dapat diselesaikannya dengan baik. Selain menjadi tempat Sang Sultan meletakkan curahan kasih sayang dan kerinduan, Engku Puteri juga memiliki peran sebagai penasehat dan pengawal adat istiadat dan budaya kerajaan Melayu. Karena itulah, kemudian Sang Sultan, memberinya tugas menjadi pemegang Regalia Kerajaan —perangkat kebesaran yang merupakan supremasi tertinggi bagi sebuah kekuasaan— yang jika seorang Sultan dilantik tanpa menggunakan Regalia ini, tak akan sah dan berdaulat. Engku Puteri bukan hanya melindungi Regalia Kerajaan itu dari tangan musuh-musuh politiknya, tetapi juga dari tangan penjajah Inggris dan Belanda.
Mengagumi sosok Engku Puteri yang melawan semua tekanan kekuasaan untuk tetap mempertahankan hak dan marwah kerajaan, kekuatan adat dan budaya Melayu, dengan keyakinan, ketegapan hati dan tekad baja, aku seperti melihat sesuatu dari dirimu. Sesuatu yang membuat hatiku semakin yakin memilihmu. Sejak hari pertama aku menemuimu, aku sudah tahu di mana akan aku letakkan curahan kasih sayang dan kerinduanku. Telatennya kau saat itu memasak untukku —walau gas yang terpasang di kompor habis sehingga kau memasak menggunakan rice cooker—, makan garang asem udang —yang entah dari mana kau tahu itu makanan kesukaanku— hasil masakanmu bersama, membuatku sejenak berandai-andai, bagaimana jika nanti kau mendampingiku dalam sisa hidupku. Pasti bahagia kurasa. Walaupun tanpa mahar sebuah pulau seperti kisah di pulau ini, semoga kau mau melengkapi separuh agamaku.
Adzan dzuhur mengakhiri diam kita masing-masing di atas Benteng Bukit Kursi itu. Sesaat setelah kusampaikan maksud hatiku, memintamu mengisi sisa hidupku, kau mengangguk kecil dan rona merah terpancar di pipimu. Beriringan menuruni bukit, kita tetap membisu menuju Masjid Raya Sultan Riau. Usai shalat dzuhur, aku bersujud syukur. Saat itu aku berjanji, tahun depan, akan kupersunting dirimu. Dan kutepati janjiku. 8 bulan setelah hari itu, kau resmi menjadi istriku. Ya, hari ini 23 Desember, tahun lalu, di sebuah pulau kecil bernama Pulau Penyengat Indera Sakti aku menjemput cintaku.
Untukmu Adindaku..
Cahari olehmu akan sahabat,
yang boleh dijadikan obat.
Cahari olehmu akan guru,
yang boleh tahukan tiap seteru.
Cahari olehmu akan isteri,
yang boleh menyerahkan diri.
Cahari olehmu akan kawan,
pilih segala orang yang setiawan.
Cahari olehmu akan abdi,
yang ada baik sedikit budi,(Gurindam Dua Belas Pasal Keenam oleh Raja Ali Haji)
Referensi : Engku Puteri Perempuan yang Melawan dengan Seribu Kata
saya juga sempat kemarin berkunjung kesini, namun karena terbatasnya waktu dan hujan gak bisa berlama2. Sempat main hanya sampe pelataran luar masjidnya heeee.
SukaSuka
Wah.. padahal di dalamnya banyak rekaman sejarah lho. Ada Al-Quran yang ditulis tangan juga
SukaSuka
gak bole masuk bagi yg non moslem bro. Heee jadi cuma melihat keindahanya dr luar aja. Mgkin next time sy bisa kesana lagi
SukaSuka
wah iya juga sih ya. Tapi ngeliat dari luar pun sudah keliatan bagus kan ya.. 😀
SukaSuka
yah bgitulah…
SukaSuka
gak bole masuk bagi yg non moslem bro. Heee jadi cuma melihat keindahanya dr luar aja. Mgkin next time sy bisa kesana lagi
SukaSuka
hua pengen banget ke sini ….. kapan ya? (cek jadwal
SukaSuka
Yuk mas ke sana. Aku januari ke sana lhoo.. 😀
SukaSuka
Asyik sekali membaca bait-baitnya. Kemudian ditutup dengan sebuah gurindam Melayu… Ambooi. Suara nyanyian Lancang Kuning pun bertalu-talu. Jadi teringat lagi sama kota Pekanbaru. Selamat merayakan cintanya, Bang Ari… 🙂
SukaSuka
Hehehe.. Terima kasih Azhar 😀
SukaSuka
sesungguhnya garang asem udang yg berkesan itu hasil bocoran dari ibu mertua dan kakak ipar (dulunya masih calon) hahahaha *ngaku* , kami kan udah kongkalikong sebelumnya :p
SukaSuka
Yo wis lah.. Aku maafkan kongkalikongmu. Berakhir manis soalnya. :p
SukaSuka
Aku belum pernah ke Aceh mas…smoga lain waktu ada kesempatan berkunjung kesana… Selamat ya atas ultah perkawinannya, semoga menjadi keluarga SAMARA. Aku sudah memasuki tahun ke 7 nich..haaha…
SukaSuka
Yuk mas ke Aceh. Hehehe..
Itu bukan ultah perkawinan kok mas. Ultah melamar sang istri. Kalau umur pernikahan belum ada setengah tahun. 😀
SukaSuka
Met malam sahabat,
Ah romantis banget tulisannya. Disertai latar belakang sejarah dan foto-foto yg menawan membuat tulisan ini rasanya lebih “hidup”
Salam persahabatan dari saya di Bekasi.
SukaSuka
Salam juga mas! 😀
Makasih sudah mampir..
SukaSuka
Pulau Penyengat, kampung halaman ayah saya 🙂
SukaSuka
Waahhh.. Sering ke sana dong Lia?
SukaSuka
Lumayan sering, tapi lebih sering ke Tanjung Pinangnya aja sih 😉
SukaSuka
Ping balik: Pengumuman Pemenang Give Away | The Science of Life
Aih, merinding saya bacanya Mas. Makasih sudah dikasih tahu ya! 🙂
SukaSuka
Hehe.. makasih udah baca dan ninggalin komen mas 🙂
SukaSuka
Ping balik: It’s Been 4 Years and Still Counting | The Science of Life
Ping balik: Banda Aceh – Meulaboh, Sekeping Kenangan Road Trip Bersamanya | The Science of Life