Menghalau Sendu di Lhok Seudu


20140201-IMG_8161

Lhok Seudu

Suasana hati saya mendadak sendu saat istri menyampaikan kabar kemunduran jadwalnya datang kembali ke Banda Aceh. Jadwal yang semula direncanakan tanggal 1 Februari, terpaksa mundur entah sampai kapan karena proses resign istri yang berbelit di perusahaannya. Ah, andai jarak Banda Aceh – Bintan hanya beberapa langkah, tentu sendu tak akan mendekati hati saya saat menghadapi akhir pekan panjang tanpa kehadiran istri.

Mungkin saya tak akan merasakan begitu sedih jika akhir pekan kemarin bukan long weekend. Mungkin hati saya masih terasa ramai jika teman-teman sepermainan tidak mudik atau liburan ke luar kota. Saat berjauhan dengan istri, bertepatan dengan long weekend tapi teman sepermainan menghilang, rasanya sepi.

Harapan untuk tak sendu datang saat Hanung, seorang sahabat dari Langsa, mengabarkan kedatangannya ke Banda Aceh. Tekad untuk menghabiskan akhir pekan panjang dengan sesuatu yang mengasyikkan langsung menyala. Saya menghubungi beberapa kawan dan rekan yang kira-kira sama sendunya dengan saya. Menemani saya dan Hanung, terjaringlah Mas Irfan, rekan kerja saya, bersama istri dan anaknya; Nanang, seorang rekan kerja juga; dan Pak Simon, seorang Kepala Seksi di kantor saya yang kebetulan sedang menggalau karena dimutasi ke Jambi. Kami berenam akhirnya memutuskan untuk menyambangi Lhok Seudu pada sabtu (1/2) pagi yang cerah.

Saya baru tahu tentang Lhok Seudu dari tulisan Bang Hijrah. Sepertinya, Lhok Seudu ini adalah destinasi wisata baru yang sedang dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. Terbukti, hanya ada kami saat sampai di sana. Pemandangan Lhok Seudu paling indah dinikmati dari cafe Ujoeng Glee, sebuah cafe di pinggir jalan raya Banda Aceh – Calang yang terletak di atas bukit. Beruntung hari itu cerah, sehingga pemandangannya bisa cantik maksimal seperti ini..

20140201-IMG_8263

Kapal nelayan berjejer di Lhok Seudu

20140201-IMG_8162

Langit dan laut biru, perfect!

Tak banyak basa-basi, kami langsung memesan boat berdasar kaca untuk membuktikan keindahan alam bawah laut Lhok Seudu yang diceritakan oleh Bang Hijrah. Tak perlu pula menunggu lama, kami langsung bisa menaiki perahu yang cukup untuk sepuluh orang ini. Selama satu jam kami akan dipandu oleh Bang Zulkifli ber-Lhok Seudu Cruise melihat pemandangan alam bawah laut melalui kaca di dasar perahu.

20140201-IMG_8182

Jalan raya yang terhantam tsunami

Menuruni tangga di samping cafe, kami menuju dermaga boat. Di dasar tangga, kaki kami menjejak tanah beraspal. Di sepanjang pantai juga berserak bebatuan beraspal. Terlihat jelas bahwa ini adalah jalan raya sebelum tsunami. Di dekat dermaga, jalan beraspal itu menjadi separuh karena terkikis air laut. Bukti dahsyatnya tsunami selalu bisa terbaca di mana-mana.

“Wisata naik boat ini baru ada sekitar 3 bulan lalu. Dan di sini baru ada 1 boat ini”, Bang Zul bercerita saat saya mengkonfirmasi dugaan bahwa wisata Lhok Seudu ini baru dikembangkan. “Dari dulu sudah terkenal sebenarnya. Tapi hanya di kalangan para pemancing ikan”, lanjutnya sambil menatap para pemancing ikan yang sedang asyik di kejauhan.

Berbeda dengan cerita tentang arti nama Lhok Seudu yang ditulis Bang Hijrah, menurut Bang Zul, Lhok Seudu berarti teluk yang tenang. Lhok artinya teluk, dan Seudu memiliki arti tenang. Entah benar atau tidak. Tapi, dilihat dari antengnya air laut di sana, pantaslah kalau dibilang teluk yang tenang.

Teriknya matahari dan birunya langit menularkan warna hijau tosca pada air laut. Di balik jernihnya air laut, terumbu-terumbu karang mulai terlihat. Boat semakin menengah. Kelebatan-kelebatan terumbu semakin nyata. Walupun tidak terlalu beragam, paling tidak terumbu karang ini mengindikasikan laut yang sehat tanpa polusi. Sesekali terlihat ikan berwarna biru seperti Dory di film Finding Nemo berkeliaran. “Dulu sebelum tsunami lebih bagus lagi terumbu karangnya. Yang sekarang baru tumbuh setelah tsunami”, Bang Zul yang juga berprofesi sebagai nelayan menambahkan.

20140201-IMG_8195

Aktivitas yang jamak dilakukan di Lhok Seudu, memancing

20140201-IMG_8239

Kapal nelayan membelah Lhok Seudu

20140201-IMG_8227

Pemandangan bawah laut Lhok Seudu melalui boat kaca

20140201-IMG_8252

Pepondokan di cafe Ujoeng Glee

Perjalanan selama satu jam terasa cukup, tak kurang dan tak lebih. Saatnya kembali dan menyantap hidangan ikan bakar dan sayuran yang sudah kami pesan sebelumnya untuk makan siang. Entah karena kelaparan atau memang masakannya enak, kami makan dengan lahap. Bahkan, saya sampai nambah nasi. Hati sih sedang bersendu, tapi makan tetap berjibun. Adzan dzuhur berkumandang tepat ketika makanan sudah tandas. Saatnya melanjutkan perjalanan. “Ari ini, mentang-mentang saya mutasi baru diajak jalan-jalan gini. Dulu-dulu gak pernah diajak jalan-jalan. Atau, jangan-jangan saya diajak karena kalian butuh mobil aja nih?”, Pak Simon berkelakar saat roda mobil yang kami naiki menggelinding menuju Geurutee. Semoga sih perjalanan singkat ini bisa berkesan di akhir masa jabatan Pak Simon.

Saya pernah terpukau dengan keindahan alam Vietnam saat melakoni Ha Long Bay Cruise setahun lalu. Saya juga pernah tersihir oleh pemandangan Danau Lut Tawar saat cruising menggunakan speed boat beberapa minggu lalu. Kali ini, Lhok Seudu yang langsung menambat hati saya. Mendadak, sendu pun sirna. Tak salah memang kalau saya berhasil menghalau sendu di Lhok Seudu. Walaupun, saat menulis ini dan sendirian di kamar, sendu datang kembali karena merindu.
Rekan seperjalanan

Rekan seperjalanan

Cafe Ujoeng Glee dari lautan

Cafe Ujoeng Glee dari lautan

Menu makan siang, mangat that

Menu makan siang, mangat that