Berpesiar di Danau Lut Tawar
Selalu ada pengalaman baru di setiap perjalanan. Walaupun sudah pernah ke suatu tempat, jika melawat lagi, pasti ada saja pengalaman baru yang didapatkan. Seperti saya, saat beberapa minggu lalu berkunjung ke Danau Lut Tawar di Takengon, Aceh Tengah. Sebenarnya pertama kali ke Danau Lut Tawar tahun 2011 lalu saya sudah pernah sih berkeliling danau naik motor. Tapi begitu ada tawaran untuk berkeliling danau pakai speed boat, tentu saja saya sambut dengan sumringah.
Hawa dingin kota Takengon pagi itu masih menyusup ke balik kulit. Padahal jarum pendek arloji yang terpasang di lengan saya sudah menunjuk angka delapan. Sarapan nasi goreng dan segelas teh hangat sudah tandas. Saatnya saya mengeksekusi agenda yang malam sebelumnya sudah dirancang.
Adalah Pak Abdullah yang malam sebelumnya menjanjikan kepada saya dan teman-teman seperjalanan untuk berkeliling danau Lut Tawar menggunakan speed boat. Pukul 9 kami bertemu di One one (bacanya One one ya, bukan Wan wan), sebuah kawasan teluk di pinggir danau yang dipenuhi dengan keramba ikan air tawar. Kami sampai di sana tepat waktu. Pun Pak Abdullah, sudah rapi berkaos merah dan bertopi warna hitam, menunggu kami. Sambil menunggu Pak Abdullah menyiapkan life vest untuk kami, sarapan ronde kedua dimulai. Kudapan berupa gorengan di Warung Pak Bus —seorang transmigran asal Jawa yang sejak tahun 60-an menetap di Takengon— menambah gembulnya perut kami.
Usai Pak Abdullah menyiapkan life vest, kami menuruni tangga menuju speed boat yang tertambat di dekat salah satu keramba. Agak ragu-ragu, saya melangkahkan kaki di atas tong dan drum yang menjadi pengapung keramba. Saya yang tidak terbiasa menjadi serba salah. Mau melangkah cepat kok bergoyang-goyang, melangkah pelan juga makin takut. Yang awalnya sambil pegangan tangan sama istri, akhirnya kami berjalan sendiri-sendiri karena khawatir kalau sambil berpegangan malah kehilangan keseimbangan.
Saya tak menduga sebelumnya kalau boat-nya berukuran relatif kecil untuk kami berenam ditambah Pak Abdullah. Terpaksa kami agak bersempit-sempitan. Life vest sudah terpasang dan mesin boat sudah dinyalakan. Saatnya menikmati atmosfer danau yang masih terlihat mistis ini langsung dari atas airnya.
Walaupun matahari terlihat terik, tapi udara sepoi-sepoi yang menerpa tubuh tetap saja membuat kami merapatkan jaket. “Sambil berdiri atau duduk-duduk di moncong boat juga tidak apa-apa. Tak usah takut”, Pak Abdullah membuka percakapan tatkala melihat wajah pucat kami yang penuh kekhawatiran. Tak perlu waktu lama, kekhawatiran kami pun memudar. Yang tadinya duduk diam, berubah agak heboh. Foto-foto panorama, foto selfie berbagai pose, sampai bergantian naik ke moncong boat.
Berbeda memang melihat pemandangan danau langsung di atasnya dibandingkan dari pinggir. Dari atas boat saya bisa melihat lebih dekat. Terutama melihat kota Takengon yang tampak kecil di kejauhan. Sayang, puncak Pantan Terong tertutup awan saat itu. Pasti akan lebih indah jika langit cerah. Di beberapa titik juga bisa terlihat para pemancing ikan yang menikmati hari minggu mereka. Perbukitan yang mengelilingi danau juga terlihat lebih menarik karena bisa lebih jelas dipandang mata, sejauh mata memandang, perbukitan itu menawarkan lanskap memukau.
“Kalau hari-hari libur sekolah atau long weekend, di danau ini biasanya ramai. Kalau akhir pekan biasa seperti ini tidak terlalu ramai”, Pak Abdullah lanjut bercerita. Memang, cuma ada kami yang berlayar di sana. Padahal kalau pas liburan cukup banyak perahu-perahu yang berlayar. Bahkan, pernah beberapa kali ada korban meninggal di danau. “Yang jatuh korban itu sering karena overload perahu yang ditumpangi. Karena kelebihan muatan itulah perahu bisa oleng dan membahayakan. Makanya saya tak mau angkut penumpang kalau tanpa pelampung”, lanjutnya. Pantas saja sebelum naik tadi Pak Abdullah sibuk mencari tambahan pelampung untuk kami.
Tak terasa sudah hampir dua jam kami berkeliling danau. Walaupun sedikit bosan karena aktivitas yang hanya melihat-lihat selama dua jam, tapi saya cukup puas. Untung Pak Abdullah banyak cerita juga tentang danau ini. Mulai dari cerita tentang ikan depik yang dijuluki ikan muslim karena kesukaannya dengan tempat bersih —ikan ini tidak mau datang ke tempat yang ada sampahnya, bahkan sedikit sampah saja tidak mau— sampai bercerita tentang bom seberat 1,5 ton milik Belanda sisa Perang Dunia II yang masih terbenam di dasar danau. Cerita-cerita unik itulah yang membuat perjalanan menjadi lebih mengasyikkan.
Terbukti sekali lagi, selalu ada pengalaman seru di setiap perjalanan, walaupun dengan destinasi yang sama. Menikmati sisi lain danau Lut Tawar dari atas airnya ditemani cerita-cerita dari penduduk lokal, jelas akan menjadi pengalaman yang selalu akan saya ingat.
Usai menjejak kembali ke tanah, pikiran saya melayang. Andai ada sebuah kapal yang cukup besar untuk turis yang di dalamnya ada sebuah panggung kecil, sepertinya akan lebih menarik jika Lut Tawar cruise memiliki konsep mengenalkan kebudayaan dan kuliner lokal. Sembari berkeliling danau, guide bisa menjelaskan tentang kisah-kisah unik yang ada di danau ini. Para turis juga bisa disuguhi penampilan tari saman gayo. Saat waktu makan siang tiba, terhidang sajian khas seperti asam jing dan ikan depik. Lama cruising-nya tak perlu sampai menginap di atas kapal, cukup beberapa jam di siang hari. Pasti akan sangat menarik.
Perut mulai berbunyi protes saat jarum pendek menunjuk angka 12. Entah karena udara dingin di Takengon atau kecapekan berfoto-foto di atas boat, yang pasti sekarang saatnya mengisi perut. Terbayang di kepala renyah dan gurihnya ikan depik goreng.
Tertarik berpesiar di danau Lut Tawat menggunakan speed boat?
Contact Person: Pak Abdullah Ali
No HP: 085276649008
Breath taking sceneries! Gosh mas! Beruntungnya dirimu di sana. Etapi bom 1.5 ton itu aman gak sih? Kok serem mbayanginnya..
SukaSuka
Iya mas. Aku juga merasa beruntung nih bisa tinggal di Aceh 🙂
Tentang bom itu, coba deh baca artikel berita di sini http://www.lintasgayo.com/18718/harta-karun-peninggalan-belanda-seberat-15-ton-di-danau-lut-tawar.html
SukaSuka
kangen tempat ini…. 🙂
SukaSuka
Ayo mas rene meneh 😀
SukaSuka
belum pernah naik speed keliling danau , balik ke Takengon lagi ahhhhh (kangen Takengon
SukaSuka
Takengon emang ngangenin kok mas. Next time ke Takengon lagi jangan jomblo ya mas. Dingin soalnya. Enak buat pelukan 🙂
SukaSuka
Indah banget pemandangannya nih mas…
Salam,
SukaSuka
Iya Om, memang indah. Makasih sudah mampir 🙂
SukaSuka
Ari, nanti aku tanya detilnya yah. Soalnya mau ngajak keluarga liburan ke sini bulan Maret rencananya.
BTW, udah pake life vest….kok masih pegangan tangan istri? fufufufufu *naik kayak Ha Long Bay*
SukaSuka
Siap koh. Ntar aku ceritain detailnya.
Life vest kan gak ngilangin hawa dingin koh. Makanya masih perlu pegangan tangan
SukaSuka
Keliatannya adem yes?
SukaSuka
Iya mas. Adem banget. Udaranya jg bersih
SukaSuka
mantab mantab mantab.. jadi pengiiin
SukaSuka
Makasih mas 🙂
SukaSuka
wow! Viewnya ciamik! Negeriku memang indah mempesona yaaa. Semoga kita mampu menjaganya dan memberdayakannya dengan penuh tanggung jawab. Aamiin. 🙂
SukaSuka
Amin kak 😀
SukaSuka
liza kemarin itu ngga berani naik bot. sedang pamali kata org disana. jadi yaaa liat2 saja
SukaSuka
baca artikel ne membuatku kangen dengan danau…
SukaSuka
Aku inget dulu mbok kirimi postcard bergambar tempat iki ri. Dan sampai saiki durung kelakon rana hiks
SukaSuka
Sampai aku arep pindah malah yo mbak durung kesampean rene :p
SukaSuka
Bagusnya takengon!
SukaSuka
Kayak Danau Toba ya… Kapan ya bisa kesini…. 😦
SukaSuka
Kapan-kapan.. kita berjumpa lagi.. *nyanyi*
SukaSuka
Ping balik: Rangkuman Perjalanan 2014 | The Science of Life