Lampu Suar Willem Torren III, Jejak Belanda di Pulau Breueh
Sepoi angin terasa kuat manampar-nampar pipi. Di tempat saya berdiri, di atas sebuah bangunan setinggi 85 meter ini angin memang sedang kencang-kencangnya. Suaranya menggemuruh di telinga. Bahkan, berdiripun rasanya oyong. Berpegangan pada terali besi berwarna merah, saya melepaskan pandangan ke segala penjuru. Di sisi timur laut, Pulau Weh tampak jelas. Di bagian bawah, tampak air laut biru dengan riak dan deburan ombak yang sayup-sayup terdengar. Di kejauhan, beberapa kapal nelayan juga terlihat hilir mudik. Berdiri di atas lampu suar Willem Toren III, pikiran saya melayang ke akhir abad ke-19, ketika perang berkecamuk di Aceh.
Saat itu 26 Maret 1873. Hasrat Mr. James Loudon, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda, untuk menguasai Aceh sudah tak terbendungkan. Setelah Bengkulu berhasil ditukar dengan Inggris pada 1871, jelas Aceh-lah yang menjadi tujuan berikutnya untuk dikuasai. Hari itu Ia mengumumkan peperangan dengan Kerajaan Aceh. Ultimatum kepada Aceh untuk menyerah kalah digaungkan. Tentu saja, Aceh tak tinggal diam. Sultan Mahmud Syah memerintahkan rakyatnya untuk bersiap berperang. Dan Perang Aceh pun bermula.
Berlayar mengarungi selat Malaka, kapal perang Belanda bernama Citadel van Antwerpen bergerak pasti menuju utara. Layar putih bertuliskan logo VOC berkibar menantang angin. Mendekati Pantai Ceureumen, kapal gagah itu membuang sauh tepat pada 8 April 1873. Kapal Citadel ternyata tak sendirian. Ia membawa pasukan. Pasukan yang terdiri dari 3.198 orang termasuk 168 perwira KNIL ditambah dengan kurang lebih 1.000 orang kuli, pada tanggal 11 April 1873 mulai melakukan perang menggempur para pejuang Aceh yang sudah menunggu di tanah endatu. Mereka kalah telak saat itu. JHR Kohler meregang nyawa di serambi Masjid Raya Baiturrahman pada 14 April 1873. Pasukan Belanda mundur dan Aceh menang untuk sementara.
Berbagai peristiwa penting terjadi setelahnya. Salah satunya adalah ketika Jenderal Jan Van Swieten berhasil menduduki Istana Sultan Aceh pada 26 Januari 1874. Tak lama setelah merasa menguasai Aceh, sang Jenderal mengumumkan bahwa seluruh Aceh menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.
Saya teringat, sebelum naik ke atas lampu suar ini saya menemukan sebuah plakat berbahasa Belanda bertuliskan dua buah tanggal, yaitu 17 Agustus dan 30 Nopember. Keduanya bertahun 1874. Tercantum juga sebuah tanggal lagi yaitu 20 Juni 1875. Ketiga tanggal tersebut terangkai dalam sebuah kalimat seperti ini, “werd de tourenbouw op den 17 Augustus 1874 aangevangen op den 30 November 1874 eerste steen gelegd en op den 20 Juni 1875 het licht ontstoken”, yang baru kemudian saya ketahui merupakan tanggal pembangunan menara, peletakan batu pertama, dan lampu dinyalakan. Jika lampu suar ini pertama kali berfungsi pada 20 Juni 1875, sudah 140 tahun rupanya lampu ini menjadi alat navigasi bagi pelintas Selat Malaka.
Pembangunan menara suar pada tahun yang sama dengan pengumuman Aceh menjadi bagian dari Kerajaan Belanda secara sepihak ini membuktikan bahwa Belanda tidak main-main dalam menginvasi Aceh. Hasrat menguasai Aceh bukan hanya di daratan. Jalur laut pun tak luput dari cengkeraman Belanda. Maklum saja, sejak dibukanya Terusan Suez yang diarsiteki oleh Ferdinand de Lesseps pada 1870, peran Selat Malaka dalam perdagangan Internasional tentu menjadi lebih penting dari sebelumnya. Lebih banyak kapal-kapal pedagang dari Eropa yang akan meramaikan jalur Selat Malaka. Berada di ujung utara Pulau Breueh, Kecamatan Pulo Aceh sekarang, sepertinya memang tempat yang paling cocok untuk mendirikan mercusuar.
Bernama Willem Toren III, menara ini memang ditahbiskan dari nama Williem III atau Williem Alexander Paul Frederick Lodewijk, seorang penguasa Kerajaan Belanda pada masa itu. Toren sendiri adalah kata dalam Bahasa Belanda yang berarti menara. Pada awalnya, menara suar ini memang disiapkan untuk mendukung kawasan Sabang, Pulau Weh, yang oleh Belanda dijadikan sebagai pelabuhan bebas. Kapal-kapal yang melewati Selat Malaka akan transit di sana.
Lamunan saya terhenti. Waktu rasanya berjalan sangat cepat saat pikiran asyik mereka-reka kisah masa lalu. Sang surya mulai mendekati horizon. Saya harus kembali ke Desa Gugop, kampung tempat saya tinggal selama mengunjungi Pulau Breueh jika tidak mau kemalaman di jalan. Suara dentum gesekan angin dengan kaca ruangan lampu di lantai teratas masih riuh terdengar saat saya memutuskan untuk menunggalkan menara. Menjejak tangga-tangga besi yang gompal, berkarat, dan rapuh di beberapa bagian, sontak udara segar yang saya hirup di atas berubah menjadi sedikit pengap dan lembap. Sirkulasi udara di bagian tengah dan bawah menara memang kurang bagus.
Usai berpamitan dengan penjaga menara dan melewati bangunan-bangunan tua sekitar menara yang tampak kurang terawat, langkah saya terhenti. Saya membalikkan badan dan memandangi menara itu dengan penuh rasa bangga. Bagi saya, mercusuar ini bukan hanya seonggok peninggalan penjajah Belanda. Menara ini adalah bukti sejarah. Sejarah kebesaran negeri ini. Negeri yang kaya raya. Tak mungkin bukan Belanda sampai bersikeras menguasai negeri ini jika kita tidak kaya raya? Tapi malang bagi Belanda, kita adalah bangsa yang tak gampang menyerah kepada penjajah. Apalagi para pejuang Aceh yang bahkan sampai akhir Perang Aceh pada 1904, saat Pemerintahan Aceh sudah dikuasai Belanda, masih melakukan perjuangan secara gerilya. Alhasil sampai Belanda angkat kakipun, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai seluruhnya.
Sampai jumpa wahai lampu suar, andai kau bisa bertutur, pasti sudah melimpah kisah yang bisa kau bagi ke kami. Tetaplah menerangi perairan Selat Malaka. Walaupun singkat, saya beruntung bisa mengenalmu secara langsung pada suatu masa setahun silam.
Maaas, nahan napas setiap lihat foto dimarih. Apalagi ditambah cerita sejarahnya… Baguuuusss.
SukaSuka
Aaaaahh.. Makasih mas. Emang pemandangannya yang bagus ini mas. Padahal cuma pake kamera HP aja lho.. *keinget pas sebelum ke sini kamera saku kecebur sungai*
SukaSuka
Mas Dani jangan lama-lama nahan nafas, nanti keselek 😀 apalagi kalau lihat foto laut dari atas mercusuar itu membiru dan membahana. Mantap sekali, mungkin saja dulu saat Belanda datang mereka juga terpana melihat keindahan disekitar pulau Breueh 🙂
SukaSuka
Mas Dani aja terpana, apalagi Belanda.. Hehehe.. 😀
SukaSuka
Itulah, Belanda mungkin dulu juga tidak menyangka walalupun keindahan di negerinya sana juga bagus, pas mau jajah-jajah ke Asia eh malah ketemu Aceh, jadi betah 😀
SukaSuka
Sewaktu kapan ke sini ? Atau sekarang sedang ada pulau breuh ?
SukaSuka
Udah lama kok ke sananya. Setahunan yg lalu lah
SukaSuka
Itu salah satu pulau masuk ke dalam list destination R yang belum terwujud… hehe 🙂
SukaSuka
Padahal kan dekat.. Segera pergilah.. Hehe..
SukaSuka
Ya..ya .. hehe 🙂 saat ini lagi seting dulu sama temen2. Seting waktu n seting financial juga .. hehe 🙂
SukaSuka
Saya mah agak takut dengan ketinggian, pyar-pyar gitu lihat ke bawah itu hehe
Foto2nya cakeeep 👍👍
SukaSuka
Aku juga agak takut gimana gitu pas di atas. Apalagi tangganya banyak yg keropos
SukaSuka
Peninggalan Belanda yang indah, bangsa Belanda membangun bangunan dimanapun yg sering kita lihat kokoh, indah, dan fungsinya it benar-benar bisa digunakan hingga beberapa puluh tahun.
Sejarah Aceh melawan Belanda sebuah kisah heroik sepanjang abad dlm mempertahankan agama, budaya, serta tanah indatu…
SukaSuka
Benar sekali Az. Kita pun harus tahu, tetap mengingat, dan meneladani kisah heroik itu 🙂
SukaSuka
Walaupun Aceh menjadi daerah yg terakhr di kuasai oleh Belanda, namun pengaruhnya sngat luas di Aceh mskipun Aceh tdak berhasl utk djadikan daerah 3 G, God, Glory, dan gold.
SukaSuka
Seumur-umur belum pernah melihat mercusuar dari dekat, apalagi sampai naik ke atas 😦
Btw itu mercusuarnya sempat dipugar ga ya?
SukaSuka
Ayo mbak.. mreneo.. Tak ajak ning mercusuar iki..
Kayaknya gak pernah dipugar sih. Lha wong tangganya aja banyak yg keropos
SukaSuka
Nama mercusuar “Willem” banyak juga ya… di Madura dan Belitung ( kalau nggak salah ) ada Willem pakai nomor seri yang lain juga 😀
SukaSuka
Willem kan memang nama Raja Belanda jaman dulu Lim. Wajar dong namanya di mana-mana.. Tapi aku gak tahu sih mercusuar di Madura n Belitung
SukaSuka
Betapa indahnya memandang ujung pulau Breueh dari atas menara. Tidak kalah indahnya dgn foto terakhir.
Membaca posting ini seakan dibawa ke masa silam. Indah dan kaya raya negeri kita ini shg Belanda demikian tergila-gila untuk menguasainya.
Semoga keindahannya tetap terpelihara dan semoga kekayaan negeri kita ini membawa manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat banyak.
Ah, aneh saya merasa melo saat ngetik kata semoga diatas…
Makasih sharingnya Mas.
Salam dari saya di Bekasi.
SukaSuka
Sejarah dan keindahan seperti inilah yang seharusnya membuat kita semakin dan selalu bersyukur ya mas 🙂
SukaSuka
Lukisan jaman dulu memang keren. Cerita sejarahnya belum pernah baca waktu di sekolah. Dulu di sekolah gak tau, sekarang lupa. #eh.
Uwoww fotonya. Ajib beud. Kaki serasa gatal ingin mengujungi tempat itu.
SukaSuka
Lukisannya sih bukan jaman dulu. Lukisan sekarang tapi ber-setting jaman dulu. Saya dapatnya dari googling kok. Udah ada credit-nya juga tuh..
Saya pun waktu sekolah dulu gak tahu kisah seperti ini. Belajar sejarah memang lebih menarik kalau dilakukan sambil jalan-jalan. hehe.. 🙂
SukaSuka
ah bener banget tuh kalimat terakhir di comment.
SukaSuka
Ri iki ng Pulau Weh-nya opo ng njobo pulau? Ngerti-o mbiyen mampir ke sanaaaa
SukaSuka
Subhanallah, memahami kisah masa lalu, membuat kita semakin bangga akan negeri sendiri. Semoga semakin meningkat pulalah kecintaan kita akan tanah air 🙂
SukaSuka
Pinter bener ya Belanda ngotot pengin nguasain Aceh karena posisi strategisnya itu. Apakah bangsa kita sendiri juga sepintar itu melihat dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada? jadi sedih ;(
Beuuuhh… biru banget iku mas air lautnya, damai bener liatnya.
SukaSuka
Oman, sep brat hajat beu troeh keunan…
SukaSuka
Haha.. Ya begitulah bang 🙂
SukaSuka
wah, jadi pengen pergi kesana 😀
kayaknya tempat disitu ga terlalu diurus ya?
SukaSuka
Iya mbak, gak terlalu terurus. Kurang perhatian dari pemerintah memang.
SukaSuka
Ping balik: Aceh Punya 10 Pantai Unik Ini | Buzzerbeezz
Data anda belum objektif untuk berbicara tentang belanda di pulau tersebut, anda cuma menarik pembaca untuk segi wisata bukan segi history. Maaf saya mengkritik sedikit, tapi ada manfaatnya dari tulisan anda.
SukaSuka