Honeymoon Trip: Jambi Day 1


“Kok honeymoon trip kita keliling Sumatera belum ditulis juga di blog?”, sebuah pertanyaan menohok datang dari istri  saya suatu sore. Masih ingat dong cerita saya di postingan Sebuah Catatan Usai Berbulan Madu kalau usai menikah Agustus tahun lalu, kami (saya dan istri) berencana ber-honeymoon keliling Sumatera? Walaupun sudah berbulan-bulan lalu, dan sudah melewati banyak kejadian suka (Yayy!! akhirnya kami sudah tidak LDR-an lagi) dan duka (mulai dari istri yang keguguran di saat LDM sampai proses resign istri yg berbelit), kisah honeymoon trip ini sepertinya perlu saya tulis deh, paling tidak untuk dokumentasi. Kalau-kalau suatu saat anak-anak kami nanti pengen diceritain tentang honeymoon kedua orang tuanya bisa disuruh baca aja postingan ini.

20130829-IMG_6067

Sungai Batanghari dari atas pesawat

20130829-IMG_6071

Kota Jambi dari atas pesawat

Jambi.. Kota pertama yang akhirnya kami putuskan untuk trip estafet sampai Aceh kami pijak pada hari Kamis, 29 Agustus tahun lalu. Ada apa di Jambi? Kami pun tak tahu banyak. Bahkan mau nginap di mana pun kami belum tahu saat pesawat maskapai low-cost berwarna hijau yang kami tumpangi masih berada di atas sungai Batanghari yang meliuk menjelang landing.

Mendarat di Bandara Sultan Thaha Syaifuddin, saya cukup heran. Ternyata runway bandaranya pendek. Pesawat yang sudah mendarat harus berputar kembali untuk menuju ke tempat parkir. Tapi memang ternyata terminal bandaranya juga relatif kecil. Mungkin karena kota Jambi juga tidak terlalu ramai kali ya. Sempat mau naik taksi namun urung. Karena alasan ekonomis kami memilih naik DAMRI (walaupun sebenarnya kalau berdua ternyata lebih irit naik Taksi). DAMRI di Bandara Sultan Thaha ini  wujudnya mobil, tidak seperti DAMRI di Jakarta atau di Banda Aceh yang berwujud bus. Hanya ada kami berdua yang jadi penumpang. 

Hotel Wisata, tempat kami menginap

Hotel Wisata, tempat kami menginap

Saatnya memilih penginapan. Kami berdua sih bukan tipe pasangan newlywed yang harus menginap di hotel mewah selama berbulan madu. Tidak harus mewah, yang penting nyaman (padahal kan pengantin baru mah nyaman semua asalkan berdua *halah*). Dengan budget maksimal Rp. 200.000,-, akhirnya terpilihlah Hotel Novita Wisata. Alasannya? Deket sama Hotel Novita dong.. Biar tetep bisa foto-foto di hotel mewah untuk dipamerkan via social media *ya kali*.

Setelah tenang karena sudah mendapatkan penginapan, saatnya mengisi perut. Entah berkah entah hambatan, cuaca Jambi siang itu mendadak hujan cukup deras. Bingung dong kami mau makan di mana. Sederetan hotel sih ada Rumah Makan Padang, tapi masa iya di Jambi makan masakan Padang? Mengamati sekitar, ternyata di seberang jalan ada warung Pempek. Namanya Pempek 99. Jangan protes ya kenapa di Jambi malah makan makanan khas Palembang! Ya karena Jambi kan punya pempek khas sendiri. Pempek emang udah jadi rebutan sih antara Jambi dan Palembang (baca di sini). Kalau saya, masa bodoh deh. Yang penting pempeknya enak banget! Maklum, udah laper soalnya. Saat saya menandaskan piring berisi pempek panggang, istri saya menghabiskan rujak mie.

Tanpa agenda jelas, kami lanjut berjalan kaki berkeliling kota usai hujan reda. Tujuan kami cuma satu, berjalan ke arah sungai Batanghari. Saya cukup penasaran dengan sungai terpanjang di pulau Sumatera yang membelah kota Jambi ini.     Untung saja feeling saya dalam menentukan arah cukup kuat. Tak lama berjalan kaki, kami tiba di sebuah taman di samping mall WTC Batanghari, Taman Tanggo Rajo namanya. Taman ini dikenal sebagai Ancol-nya kota Jambi. Mungkin karena letaknya di samping sungai Batanghari kali ya, makanya dimirip-miripkan sama Ancol di Jakarta yg berada di pinggir pantai. Saat itu belum cukup sore untuk duduk-duduk manis menikmati jajanan yang disajikan oleh para penjaja. Kami memilih untuk menyusuri sungai Batanghari menggunakan ketek (bacanya bukan ketek seperti monyet dalam Bahasa Jawa, tetapi memakai huruf e seperti logat orang Medan).

20130829-IMG_6081

Dermaga ketek di dekat Taman Tanggo Rajo

20130829-IMG_6093

Kios minyak terapung di Sungai Batanghari

Ketek adalah perahu kecil bermotor yang dipakai sebagai alat transportasi antar sisi sungai Batanghari. Selain untuk alat transportasi, ketek juga sebagai sarana turis untuk melakukan Batanghari river cruise. Setelah tawar-menawar dengan bapak pemilik ketek (tentu saja tawar-menawarnya dilakukan oleh istri saya yang kalau nawar kadang-kadang suka Afgan), akhirnya saya dan istri berhasil men-charter ketek itu hanya untuk kami berdua. Bertiga ding sama bapak pemilik ketek sebagai sopir. Tujuannya pergi pulang menuju jembatan Batanghari II. Ketek berbunyi etek-etek (ya kalau bunyinya otok-otok pasti namanya kotok) mulai menyusuri air sungai yang berwarna coklat sanger (sanger adalah kopi susu khas Aceh). Sungai ini terlihat sepi. Tak banyak lalu lintas di sana. Hanya ada beberapa ketek yang kadang melintas. Selebihnya, sepi. Kalaupun ada keramaian, itu pun karena suara mesin ketek dan anak-anak yang mandi sore di sungai. Entah selalu sepi seperti itu atau kebetulan saja kami pas ke sana sepi.

Tak banyak pemandangan yang bisa kami lihat sepanjang pantai. Di beberapa bagian pinggir sungai, terdapat kios minyak yang mengapung di sungai. Dari kios minyak inilah ketek yang kami naiki mengisi bahan bakar. Aktivitas perkampungan melayu di sisi-sisi sungai juga menjadi pemandangan tersendiri, mulai dari mencuci sampai mandi (mungkinkah juga buang air?) mereka lakukan di pinggiran sungai. Yang paling menggangu saat cruising adalah ketika melewati sebuah pabrik karet di pinggir sungai. Bau asapnya menyengat. Benar-benar polusi udara deh. Tapi siksaan bau asap itu sirna saat melihat kemegahan jembatan Batanghari II melintasi sungai. Apalagi ditemani istri. Sungai Batanghari serasa milik berdua dong *halah*

20130829-IMG_6115

Aktivitas warga perkampungan di pinggir sungai Batanghari

Usai ber-cruising ria, kami menghabiskan sore menunggu sunset di Taman Tanggo Rajo sambil menyesap air tebu yang kami pesan di salah satu penjaja di sana. Sunset di sungai Batanghari ini adalah sunset kedua yang kami nikmati setelah sunset di balik gunung Muria yang penuh haru.

Tak banyak yang kami lakukan usai menikmati sunset. Usai shalat maghrib, kami berkeliling mall sebentar. Hari itu kami tutup dengan sepiring nasi goreng hati dan segelas teh telur di sebuah penjaja kaki lima (lagi-lagi) di depan Hotel Wisata. Sayang sekali seharian itu tidak ada orang yang bisa dimintai tolong memfoto kami berdua, jadinya gak ada foto-foto mesra bareng deh. Note to self: Makanya, lain kali bawa tripod! 

Jambi, 29 Agustus 2013

20130829-IMG_6099

Jembatan Batanghari II

20130829-IMG_6143

Sunset di sungai Batanghari

 

Gono-gini Day 1:

Damri Sultan Thaha – Hotel Wisata (1 person 40 K) 80 K
Hotel Wisata 1 night + breakfast 140 K
Pempek bakar 10 K+ rujak mie 12 K 22 K
Es campur @ 10 K 20 K
Batang Hari river cruise 50 K
es Tebu taman Tanggo Rajo 5 K
Dinner Nasgor hati 10 K , teh telur 6 K , teh manis 3 K 29 K
Total 326 K