PLTD Apung, Harta Pariwisata Banda Aceh


“Cobalah lihat sekitar. Kota ini unik dan berkarakter. Kota mana coba di Indonesia yang punya jejak tsunami selain Banda Aceh? Bahkan di dunia, Banda Aceh mungkin satu-satunya. Daripada bersusah hati, lebih baik kau nikmati kota ini selama masih di sini”, saya berkata kepada seorang sahabat yang sedang homesick suatu sore. Ya, bagi kami para perantau, terbatasnya waktu dan terkadang biaya membuat tidak bisa sering-sering pulang. Tapi, berbeda dengan teman saya, dari pertama kali saya menjejakkan kaki di kota ini pada Juli 2008 sampai meninggalkan kota ini pada 6 Maret 2014, saya tak pernah sekalipun merasakan homesick. Bahkan dulu, saat-saat pulang kampung malah membuat saya homesick ingin segera kembali ke Banda Aceh. Pun sekarang, ketika saya sudah bertugas di kota lain, saya masih sering kangen Banda Aceh. Tak sadar, selama lebih dari setengah dasawarsa bertugas di sana, saya sudah menganggap Banda Aceh menjadi rumah saya.

20130912-IMG_6988

Salah satu sudut pandang menarik Kapal PLTD Apung (2013)

Satu hal yang menurut saya membuat kota Banda Aceh berkarakter adalah tsunami. Tsunami memang musibah. Tapi bertahun-tahun setelah tsunami, jejak yang masih tertinggal memberikan nilai tambah pada kota ini. Terutama dalam hal pariwisata. Sebut saja Museum Tsunami, Lapangan Blang Padang, kapal di atas rumah di Lampulo, Kuburan Masal, dan masjid-masjid yang tetap tegak berdiri diterjang gelombang tsunami. Semua jejak tsunami yang tertinggal itu menjadi harta pariwisata di Banda Aceh saat ini.

Satu yang paling saya ingat adalah sebuah kapal yang memiliki panjang 63 meter, lebar 19 meter, berat 2600 ton, dan berada di tengah perkampungan Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh. Bukan tanpa sebab kapal sebesar dan seberat itu berada di tengah perkampungan. Tsunamilah penyebabnya. Kapal yang dulunya adalah pembangkit listrik yang berada di perairan Ulee Lheue terseret gelombang sejauh 3 km itu dikenal dengan nama PLTD Apung.

Saya masih ingat pertama kali ke sana hampir 6 tahun yang lalu. Baru kali itu saya melihat sebuah kapal berukuran sangat besar berada di tengah pemukiman. Rumah-rumah penduduk, yang kebanyakan kondisinya berbentuk reruntuhan, bersandingan dengan kapal ini. Saat itu kapal ini belum menjadi monumen sebagus sekarang. Jangankan dipagari, papan penunjuk jalan menuju kapal ini saja belum ada. Bahkan, akses menuju ke sana pun belum selebar dan sebagus sekarang. Tempat parkir kendaraan pengunjung juga masih berada di tanah lapang tepat di samping kapal dekat tangga menuju atas. Walaupun jauh dari kesan rapi dan terawat, kondisi yang masih asli ini menurut saya membuat pengalaman tsunami lebih terasa di hati. Sayang, saat itu saya belum punya kamera untuk mengabadikannya.

20101030-IMGP0195

PLTD Apung, suatu masa di 2010

20101030-IMGP0202

Taman di PLTD Apung (2010)

20101030-IMGP0206

PLTD Apung, (masih) pada suatu masa di 2010

Sekitar tahun 2010, mulai terlihat perubahan di sana. Saya beruntung waktu itu sudah memiliki kamera untuk mengabadikannya. Lihat saja di gambar, sudah ada tetaman indah di sekitar kapal. Saya kira, itu adalah usaha paling maksimal dari Pemerintah Kota Banda Aceh dalam membangun kapal ini menjadi monumen. Namun ternyata perkiraan saya salah.

Saya memang tidak terlalu sering berkunjung ke sana. Biasanya saya berkunjung saat menemani rekan, kerabat, dan sahabat dari luar kota. Tapi saya cukup mengikuti perkembangan renovasi kapal ini menjadi seperti sekarang. Jauh berbeda dengan pertama kali saat saya mengunjunginya, saat ini monumen kapal PLTD Apung ini menjadi rapi, terawat, dan terlihat sangat cantik. Area monumen menjadi lebih luas karena sudah disterilkan dari rumah-rumah penduduk yang dulu berjejer tepat di samping kapal. Pagar berkisi-kisi besi mengelilinginya. Dibangun pula jalan setapak yang terbuat dari paving block dan lantai kayu di sekeliling monumen utama demi kenyamanan pengunjung dalam mengeksplorasi monumen ini. Di beberapa titik, pengunjung dapat menikmati pemandangan kapal dengan sudut pandang yang menarik. Namun, tak ada yang bisa mengalahkan pemandangan skyline kota Banda Aceh dilihat dari atas kapal. Tetaman di sekitar monumen pun sudah semakin molek. Salah satu yang istimewa adalah adanya air mancur di bagian belakang kapal. Selain itu, melengkapi fungsi monumen sebagai sarana edukasi, terdapat galeri berisi foto-foto dokumentasi tsunami yang berada di dalam kompleks monumen ini.

20130105-IMG_1850

Air mancur di belakang monumen

Almarhum Walikota Banda Aceh, Bapak Mawardy Nurdin pernah berkata bahwa PLTD Apung adalah keajaiban dunia. Siapapun yang pernah berkunjung ke lokasi monumen ini pasti akan sependapat. Pun dengan saya. Dalam sebuah tulisan yang pernah saya baca, dikisahkan bahwa minggu (26/12/2004) pukul 07.00 WIB, kapal pembangkit listrik berkapasitas 10 Mega Watt ini membuang sauh di Pelabuhan Ulee Lheue untuk mengisi bahan bakar. Saat kapal berlabuh itulah gempa hebat melanda Aceh. 30 menit berselang, air laut surut sekitar 1,5 kilometer. Kapalpun miring. Awak kapal panik. Enam dari tujuh awak kapal itu berhamburan melarikan diri. Satu tertinggal karena sedang tidur. Tak lama, air laut yang surut berubah ganas. Datanglah gelombang besar yang dikenal bernama tsunami menyeret kapal sampai ke lokasinya saat ini. Enam orang yang meninggalkan kapal menjadi korban. Satu yang tertinggal selamat.

Tsunami memang sudah berlalu hampir 10 tahun. Dan salah satu jejak yang tertinggal adalah Monumen Kapal PLTD Apung ini. Pembangunan kapal menjadi sebuah monumen dan tempat wisata oleh Pemerintah Kota Banda Aceh bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral saya nilai sangat positif. Karena, alih-alih mewujudkan wacana yang pernah saya dengar yaitu mengembalikan PLTD Apung sesuai fungsi awal, pemerintah memutuskan untuk menjadikannya monumen. Ya, PLTD Apung dan situs tsunami lainnya terasa sangat memperkaya kota Banda Aceh. Terbukti selama ini sudah banyak wisatawan asing dan domestik yang tertarik melawat. Tak berlebihan rasanya kalau saya menahbiskannya sebagai harta pariwisata Banda Aceh. Harta yang harus dijaga baik-baik. Biar suatu saat bekunjung ke Banda Aceh lagi, saya masih tetap bisa menyaksikan kemegahan monumen ini.

20130105-IMG_1866

Mendung menggelayut di atas PLTD Apung (2013)

20130105-IMG_1844

Tugu monumen yang bertuliskan nama-nama korban (2013)

 

Tulisan ini diikutsertakan dalam Banda Aceh Blog Competition 2014 Charming Banda Aceh