Mencintai Indonesia Bersama Garuda dan Pandji


“Dulu saya pikir Indonesia itu Jakarta. Pemahaman saya tentang Indonesia itu absurd…. Setelah saya keliling Indonesia, saya paham betul bahwa tidak mungkin Jakarta jadi tolok ukur untuk menggambarkan Indonesia karena sangat tidak mewakili Indonesia secara keseluruhan.” Sebuah quote di buku nasional.is.me milik Pandji ini menohok saya. Tak jauh beda dengan Pandji, saya pun dulu berpemikiran kurang lebih sama. Saya menganggap Indonesia itu sebatas Jawa. Sampai ketika sekitar 5 tahun lalu saya ditugaskan sebagai salah satu punggawa keuangan negara di Banda Aceh, kota paling ujung barat di Sumatera. Saat itu adalah pertama kalinya saya akan tinggal dan menetap selama beberapa tahun di luar Jawa. Suatu hal baru dan menantang bagi saya yang sejak kecil sampai usai kuliah tinggal di Pulau Jawa.

Pada akhirnya, Aceh benar-benar membuat saya jatuh cinta dan berhasil mengubah mindset saya bahwa Indonesia bukan hanya Jawa. Tinggal di tempat yang dulunya berkonflik dengan Pemerintah RI juga membuka mata saya bahwa keinginan Aceh untuk lepas dari Indonesia waktu itu tidak bisa langsung di-judge salah. Saya jadi ingat salah satu bit Pandji di Bhineka Tunggal Tawa tentang Papua dan Jakarta. Analogi cerdas yang juga bisa diaplikasikan pada Aceh.

20130309-IMG_3345

Di atas langit Aceh, sesaat setelah take off

Sewaktu tinggal di Aceh, saya jadi sering menggunakan transportasi udara. Paling tidak setahun dua kali saya menyempatkan pulang kampung mengunjungi keluarga. Paling sering, tentu saja naik Garuda Indonesia. Selain karena pelayanan yang prima dan ketepatan waktu yang bisa diandalkan, faktor utama saya memilih Garuda adalah kenyamanan. Walaupun harganya relatif lebih mahal dibandingkan dengan maskapai lain, saya merasa uang yang saya keluarkan sepadan dengan apa yang saya dapatkan.

Pengalaman paling menarik saya terbang bersama Garuda adalah pada bulan Maret 2013 lalu. Saat itu saya mengeksekusi tiket termurah saya naik Garuda hasil berburu early bird beberapa bulan sebelumnya. Rute Banda Aceh – Jakarta – Lombok seharga Rp. 964.800. Sangat murah bukan untuk perjalanan terbang selama 4 jam dari Banda Aceh ke Jakarta via Medan dan 3 jam penerbangan dari Jakarta menuju Lombok?

Ini tiket saya BTJ – CGK – LOP. Murah bukan?

Perjalanan selama hampir 10 jam (termasuk transit) dari Banda Aceh ke Lombok tak melelahkan sama sekali. Karena sampai di Lombok malam hari, saya dan 3 teman seperjalanan langsung menuju La Casa Homestay di sekitar Senggigi untuk beristirahat. Walaupun kami datang sudah hampir tengah malam, Michel, pria asal Prancis pemilik homestay ini, tetap ramah menyapa kami. Pun saat pagi, Michel juga sangat membantu mengakomodasi kebutuhan kami. Mulai dari menyiapkan sarapan sampai memesankan taksi saat kami akan beranjak menuju Pelabuhan Bangsal. Bahkan ia sempat berpesan pada sopir taksi untuk melindungi kami dari godaan calo-calo di pelabuhan menuju Gili Trawangan.

Berhasil lolos dari godaan calo, kami berhasil menyeberang ke Gili Trawangan dengan sehat walafiat. Bayangan saya, Gili Trawangan ini masih sangat tradisional dan termasuk remote area, tanpa mesin ATM dan Bank. Kenyataannya, begitu turun dari kapal, terlihat ATM dan Bank berjejer. Benar kata orang, Gili Trawangan memang indah. Mulut saya ternganga. Tuhan pasti sedang bergembira saat menciptakan Gili Trawangan.

img_7130

Berkeliling sepeda di Gili Trawangang (photo by: @sy_azhari)

Ini baru namanya liburan. Eksplorasi pulau kecil yang melarang adanya kendaraan bermotor ini paling maksimal memang dengan naik sepeda. Langsung saja, sesampai di Coral Beach Cottage & Pizza, tempat kami menginap, kami menyewa sepeda. Walaupun cuaca cukup terik, kami tetap riang gembira berkeliling pulau. Maruknya, dari siang sampai sore, kami mengelilingi pulau sampai hampir 3 kali. Nemu pemandangan bagus, berhenti foto-foto. Nemu pantai sepi, nyebur. Nemu tempat makan asyik, istirahat sambil makan. Sampai di akhir sore, kami memutuskan berhenti sejenak di Sunset Bar untuk menikmati sunset. Warna merah saga menghiasi langit. Rasanya tak ingin pulang. Esok paginya, tak mau kehilangan momen sunrise, saya bangun pagi. Tak kalah dengan sunset-nya, sunrise di Gili Trawangan juga menentramkan hati.

Puas mengeksplorasi Gili Trawangan, kami berpindah ke Gili Air keesokan harinya. Suasana lebih tenang dan nyaman saya rasakan di pulau yang lebih kecil dan sepi dibanding Gili Trawangan ini. Menjelang keberangkatan pulang, saya menghabiskan waktu menjelajah pantai-pantai indah lain di Pulau Lombok dan menikmati suasana kota Mataram saat Nyepi.

Masalah muncul beberapa jam sebelum terbang pulang. Melalui email hanya sekitar 2 jam sebelum jam keberangkatan, Garuda Indonesia memberi tahu penerbangan Lombok – Jakarta diundur. Yang seharusnya GA 433 terbang pukul 14.35 mundur jadi pukul 17.45 tanpa alasan yang jelas. Padahal saya juga sudah mengantongi tiket pulang kampung Jakarta – Semarang pukul 17.05. Hari itu, 13 Maret 2013, menjadi  hari yang melelahkan. Rasanya kesel dan kecewa sekali sama Garuda. Segala usaha agar saya tetap bisa sampai ke Semarang hari itu berakhir kegagalan.

20140412-img_7564

Hari berikutnya, sepedaan keliling Gili Air (photo by: @sy_azhari)

10158008103_598783453a

Sepeda saya paling macho dong, tanpa keranjang (photo by: @ombolot)

Singkat cerita, saya sampai di Jakarta sekitar pukul 21.00. Langsung saya melapor ke bagian pindah pesawat. Masih dengan wajah kuyu, saya pasrah kalau harus berangkat keesokan paginya ke Semarang. Setelah saya mendapatkan boarding pass penerbangan pertama ke Semarang pagi berikutnya, saya diantar oleh petugas menuju parkiran taxi. Saya akan diinapkan semalam di Jakarta. Tentunya biaya menjadi tanggung jawab Garuda. Hotel yang dipilih oleh Garuda untuk saya adalah Mercure Convention Centre Ancol. Hotel yang sangat nyaman dan cukup menghilangkan kekecewaan saya. Ya, pelayanan Garuda Indonesia terbukti bagus bahkan di saat-saat buruk.

Dari berpuluh-puluh kali saya terbang bersama Garuda, terhitung hanya sekali itu terjadi pengalaman tidak mengenakkan. Hal yang paling saya suka ketika melakukan penerbangan bersama Garuda adalah suasana yang Indonesia sekali saat berada di kabin. Alunan musik instrumental orkestra lagu daerah dan nasional selalu menyambut begitu saya memasuki pintu kabin. Bahkan, saking sukanya, saya sampai membeli album The Sounds of Indonesia milik Addie MS & Twilite Orchestra yang diputar di kabin Garuda. Selain itu, berbagai pilihan video dokumenter tentang Indonesia, seragam para awak kabin, sampai kudapan ringan untuk rute pendek dan makanan berat untuk rute jauh juga terasa sangat Indonesia. Garuda sangat memperhatikan detil. Bahkan sampai interior pada dinding kabin pun rasa Indonesia, bermotif anyaman bambu atau gedek dalam Bahasa Jawa. Menurut saya, ini adalah salah satu cara Garuda mencintai Indonesia. Bukti dan cara Garuda mencintai Indonesia yang paling utama tentu saja menyatukan nusantara melalui transportasi udara. Seperti yang saya rasakan, dari Banda Aceh menuju Lombok terasa dekat karena Garuda Indonesia.

20130311-IMG_3539

Salah satu sisi Gili Trawangan

Kalau Garuda Indonesia mempunyai cara sendiri mencintai Indonesia, lain halnya Pandji. Dalam setiap karyanya, Pandji selalu mempunyai cara untuk membangkitkan optimisme tentang Indonesia. Tema politik, ekonomi, hukum, kebangsaan, dan apapun tentang Indonesia, bisa diramu Pandji menjadi sesuatu yang menggelitik. Buktikan saja sendiri dengan menonton Bhineka Tunggal Tawa, Merdeka Dalam Bercanda, dan Mesakke Bangsaku. Saya sendiri sudah membuktikannya dengan menonton langsung Mesakke Bangsaku di Banda Aceh September tahun lalu. Dan, seperti yang sudah saya tuliskan di review Mesakke Bangsaku, saya jadi lebih aware dan peduli dengan permasalahan bangsa setelah menikmati karya-karya Pandji.

20130310-IMG_3471

Bersama sahabat, menikmati senja

20130311-IMG_3599

Senja di Gili Air

Screen shot 2014-04-21 at 5.35.03 AM.png

Tulisan ini diikutkan dalam program #BersamaGaruda Mesakke Bangsaku World Tour by Pandji dan menjadi salah satu pemenang