Salahkan AirAsia!


Jika ada yang harus disalahkan kenapa saya jadi suka traveling, salahkan AirAsia. Saya, sebelum 5 tahun lalu, adalah orang yang lebih memilih menikmati waktu di kamar, membaca buku, majalah, komik, mendengarkan musik, atau nonton film sambil leyeh-leyeh di kasur, dibandingkan beraktifitas di luar rumah berpanas ria menjelajah tempat-tempat asing. Walaupun sesekali tetap suka berwisata, tetapi porsi waktu saya sebagai orang rumahan lebih mendominasi.

Kegemaran saya berubah saat saya mulai tinggal jauh dari kampung halaman dan mulai mengenal AirAsia. Berdomisili di kota paling ujung utara Pulau Sumatera dan karena penawaran tiket murah AirAsia membuat saya tergiur ingin merasakan pengalaman tamasya ke luar negeri. Ya, Kuala Lumpur yang letaknya hanya sekitar 1 jam perjalanan udara dari Banda Aceh menjadi tujuan pertama saya ke luar negeri saat itu, awal Maret 2009. Tanpa persiapan matang, saya dan dua orang teman yang sama-sama newbie dalam dunia traveling nekat mengeksekusi tiket AirAsia BTJ – KUL – BTJ dan pelesiran selama 3 hari di negeri Jiran pada suatu akhir pekan. 

Saya di depan pesawat AirAsia di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh

Saya di depan pesawat AirAsia di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh

Sebagai maskapai low-budget, pengalaman pertama naik AirAsia di luar ekspektasi saya. Perkiraan saya bahwa maskapai low-budget itu wajah cabin crew-nya jutek dan mahal senyum serta kondisi di dalam pesawat yang tidak nyaman, ternyata salah. Suasana di dalam kabin pesawat ternyata sangat nyaman, bahkan ruang kaki antar tempat duduk juga cukup longgar. Tidak jauh berbeda dengan masakapai lain. Selain itu, pelayanan yang ramah dari cabin crew membuat saya tambah merasa nyaman, walaupun sedikit merasa aneh mendengar announcement dalam pesawat yang biasanya Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris menjadi Bahasa Melayu dan Bahasa Inggris. Padanan kata seperti tali keledar (sabuk pengaman), pintu kecemasan (pintu darurat), dan panggilan tuan dan puan (tuan dan nyonya) terasa janggal di telinga saya. Karena ini adalah pertama kali mendengar langsung logat melayu, maklumlah saya mengalami sedikit culture shock. Pelayanan luar biasa AirAsia lebih terasa saat saya ingin memesan in-flight meal menggunakan Bahasa Inggris campur Bahasa Indonesia dengan terbata-bata. Para cabin crew dengan sabar dan penuh perhatian berusaha mengerti dan memenuhi permintaan saya. 

 

Menara Petronas dari salah satu sudut kota Kuala Lumpur

Menara Petronas dari salah satu sudut kota Kuala Lumpur

Pelayanan AirAsia yang luar biasa itu membawa dampak positif bagi kami dalam menjelajah Kuala Lumpur. Walaupun tanpa itinerary jelas dan tanpa memesan penginapan terlebih dahulu, perjalanan 3 hari kami terbilang sukses, walaupun sering kesulitan mencari penginapan yang murah. Hanya satu sebenarnya tujuan kami ke Kuala Lumpur, melihat dan naik Menara Petronas. Jadi, selama 3 hari itu kami paling sering mengunjungi menara ini. Kami nikmati kegagahan menara ini di waktu pagi, siang, dan malam hari. Beruntung saat itu kami bisa naik menara sampai ke jembatan pengubung antar 2 menara dengan gratis. Dulu memang naik menara ini gratis, tapi kabarnya sekarang harus membayar tiket yang cukup mahal. Selain menyambangi Petronas, kami juga menghabiskan waktu window shopping di kawasan perbelanjaan di Bukit Bintang. Bahkan, kalau saya ingat-ingat, selama 3 hari itu ya mayoritas waktu kami habiskan di Petronas dan Bukit Bintang saja. Menginap pun di sekitaran Bukit Bintang. Hahaha.. Benar-benar newbie ya. Jauh-jauh ke KL cuma wira-wiri di situ-situ aja.  

Selain newbie, kami juga polos lho. Sekalinya naik taksi karena kemalaman dari Petronas, malah ditawarin pijat ‘esek-esek’ sama sopir taksinya. Katanya dicariin pemijat yang Indo, Malay, Thai, Chinese, dan apa aja terserah, tinggal milih. Saking polosnya, kami hanya bisa melongo dan shock. Dan, bukan hanya sekali itu. Waktu asyik jalan kaki di sepanjang Bukit Bintang juga ketemu bapak-bapak paruh baya bawa semacam daftar menu yang isinya lengkap harga dan macam layanan pijat ‘esek-esek’. Saya langsung mempercepat langkah kaki sambil bilang “NO” saat bapak paruh baya itu mulai gencar menawari. Ini kenapa pengalaman pertama ke luar negeri begini amat ya? 

Seorang filsuf dari Tiongkok bernama Lao Tzu pernah berkata, “The journey of a thousand miles begins with a single step”. Dan memang, sejak traveling pertama ke luar negeri bersama AirAsia saya jadi jatuh hati sama dunia traveling. Perjalanan pertama itu layaknya langkah kaki pertama saya dari ribuan mil perjalanan selanjutnya. Salahkan AirAsia kalau saya jadi sering menabung demi berburu tiket pesawat murah. Salahkan AirAsia kalau saya jadi sering menyambangi tempat-tempat baru berjarak ribuan mil dari rumah. Mulai dari bersenang-senang di Penang, menjejak Melaka, mendaki Ijen, bersantai di Chiang Mai, berwisata belanja di Bangkok, pelesiran ke Singapura, wisata budaya mengenal angklung di Bandung, sampai berpacaran romantis di Hanoi bersama (saat itu masih calon) istri, semua salah AirAsia. Salahkan AirAsia juga kalau demi mudik hemat ke Jawa saya harus ke luar negeri terlebih dahulu menempuh rute BTJ – KUL – SUB. Lalu, saat saya harus tidur seadanya beberapa kali di Bandara LCCT untuk mengejar flight pagi buta, ini juga salah AirAsia. Dan tentunya, saya menyalahkan AirAsia karena membuat saya jadi lebih menikmati hidup. Ahhh.. Sepertinya AirAsia harus bertanggung jawab atas semua kesalahannya ini!

Di atas Awan (Penerbangan Kuala Lumpur-Banda Aceh)

Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog 10 Tahun AirAsia Indonesia dengan tema “Bagaimana AirAsia Mengubah Hidupmu?”

10462746_10152215475186699_5594241781196307018_n