Honeymoon Trip: Antara Padang dan Bukittinggi


Manusia merencanakan namun Tuhanlah yang menentukan. Seperti itulah kadang terjadi dalam perjalanan. Itinerary yang sudah disusun bisa mendadak berubah karena suatu hal di luar kewenangan kita. Saat kami ber-honeymoon-ria setahun lalu pun begitu. Usai Sawahlunto kami berencana langsung ke Bukittinggi. Padang bukan menjadi tujuan kami. Namun, di ibukota Sumatera Barat itulah malam itu kami terdampar. Malam sudah larut saat kami sampai Padang. Jalanan Padang basah setelah hujan menerpa. Usai turun dari minibus yang membawa kami dari Sawahlunto, kaki saya mengikuti ke mana saja istri saya pergi. Maklum, istri lebih mengenal kota ini. Berkelilinglah kami naik angkot mencari penginapan. Di mata saya Padang di malam hari terasa sunyi dan kurang nyaman. Entah kenapa saat itu kami banyak bertemu perempuan muda berpakaian seksi di pinggir jalan tanpa kegiatan apa-apa. Mau tak mau saya jadi berpikiran yang tidak-tidak. Setelah berangkot-ria, jalan kaki melewati pasar dan trotoar basah, keluar masuk hotel bertanya harga, akhirnya kami bisa meluruskan punggung di sebuah kamar di Hotel Benyamin yang terletak di Jalan Bagindo Aziz Chan. Tidak perlu hotel bagus untuk istirahat sejenak sampai esok pagi pikir kami.

20130902-IMG_6636

Interior bus kota di Padang

Pagi menjelang dan kami pun langsung bersiap menuju Bukittinggi. Usai sarapan nasi goreng seadanya di hotel kami pun check out. Masih ngintilin istri, saya pasrah diajak naik bus kota menuju Basco Mall, di mana mobil-mobil pribadi yang berfungsi menjadi travel menuju Bukittinggi berada. Menaiki bus, saya merasa bahwa orang Padang ini ekspresif. Bus yang kami tumpangi rame interior lucu, ada boneka marsupilami terpajang di sana. Agak tidak matching, lagu yang diputar di dalam bus adalah lagu ajeb-ajeb bervolume sangat keras. Selain bus, angkot yang kami tumpangi malam sebelumnya pun tak kalah unik, ceper dan berlampu warna-warni.

Sesampai di Basco Mall, naiklah kami ke sebuah mobil avanza yang akan membawa kami ke Bukittinggi. Walaupun agak lama menunggu mobil penuh sebelum berangkat, tapi masih dalam kewajaran. Perjalanan pun cukup menyenangkan. Sepanjang perjalanan kami diiringi lagu-lagu minang (“talambeeekk.. iyo salangkah.. talambek.. denai malangkah” *bahkan lagunya Ratu Sikumbang ini masih terngiang sampai sekarang*). Namun tak lama perjalanan berubah menjadi penyiksaan. Pasalnya, jalan raya Padang – Bukittinggi, tepatnya di kawasan Koto Baru, pagi itu macet sekali. Usut punya usut, hari itu adalah pas hari Senin yang adalah hari pasar masyarakat di Koto Baru. Pada hari pasar ini, masyarakat berduyun-duyun ke pasar, ada penjual yang membawa bermacam barang kebutuhan sehari-hari seperti sayur mayur untuk diperjualbelikan, ada juga para pembeli. Mereka menyesaki pasar-pasar yang umumnya berada di pinggir jalan raya. Tentulah jadi seperti pasar kaget dan berakibat macet total. Perjalanan yang seharusnya hanya sekitar 2 jam terpaksa kami lalui selama hampir 5 jam. Rasa bosan, capek, dan terutama lapar membuat saya agak emosi. Untung istri saya orangnya sabar. Kami kira berlibur jauh dari ibukota bisa terhindar macet. Eh, ternyata di Sumatera Barat pun tetap ketemu macet!

Nasi gulai tambusu

Nasi gulai tambusu

Nasi Kapau Ni Lis

Nasi Kapau Ni Lis

Perasaan lega merambat saat mobil yang kami tumpangi sudah masuk kota Bukittinggi dan berhenti di sekitar Pasar Bawah dan menurunkan semua penumpangnya. Kami yang memang ingin menginap di sekitar Jam Gadang merayu sopir untuk mengantar kami ke Pasar Atas. Emosi kembali menyeruak tatkala sang sopir meminta tambahan uang 20 ribu untuk mengantarkan kami. Langsung saja kami bilang tidak. Dengan masih bersungut-sungut saya menurunkan tas yang masih di dalam mobil dan melenggang menjauh. Mungkin karena tahu kalau kami wisatawan si sopir itu jadi aji mumpung. Padahal saat kami naik angkot ongkosnya cuma 2.500 rupiah per orang. Sesampai di Pasar Atas, untuk meredam emosi dan tentu saja lapar, kami langsung kalap makan di Nasi Kapau Ni Lis di Los Lambuang. Sepiring penuh nasi ditemani gulai tambusu terasa sangat menggoda.. nyaaammm.

Berfoto bareng badut pemalak

Berfoto bareng badut pemalak

Masih agak menggeh-menggeh usai makan, istri saya berkomentar, “Lho mas, jaket kuningmu tadi di mana?”. Saya bengong. Jaket yang saya pakai dari pagi dan saya lepas saat kepanasan di dalam mobil saat macet (sebenarnya mobilnya AC tapi sopirnya irit bgt kalau macet mesinnya dimatiin) ternyata ketinggalan di mobil! Wooo.. wis keno macet, sopire moto duiten, jaketku keri sisan! Emosi yang sempat diredam oleh gulai tambusu jadi muncul kembali. Ya udahlah, terpaksa saya ikhlaskan. Padahal jaket kuning bertuliskan Aceh itu jaket kesukaan saya. Alhamdulillah sih gak lama dapat pengganti baru (iya lah, saya beli lagi di Piyoh!).

Perut sudah kenyang dan saatnya cari penginapan. Berbekal tanya-tanya kepada seorang kawan yang memang berdomisili di Bukittinggi via messenger, kami berkeliling mencari penginapan. Dari hotel yang bagus sampai yang kurang bagus kami masuki. Kali ini kami mencari hotel seperti mencari jodoh. Hotel suka, harga gak cocok. Harga murah, hotelnya gak cocok. Lelah mencari, kami akhirnya melabuhkan pantat di kasur Hotel Kartini di Jalan Teuku Umar. Penginapan yang sangat cocok dengan kami karena sangat homey. 

Menjelang sore, kami lanjut menapaki jalanan Bukittinggi mencari persewaan sepeda motor. Beberapa tempat yang direkomendasikan oleh teman ternyata tidak menyewakan sepeda motor kepada turis lokal atau stok motor mereka habis. Terpaksalah sore itu kami berjalan kaki mengunjungi Jam Gadang, Benteng Fort de Kock, Jembatan Limpapeh, dan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Kami kira kejadian kurang menyenangkan berakhir di hilangnya jaket saya, tapi ternyata ketika sedang melihat-lihat Jam Gadang kami dipalak oleh serombongan badut. Jadi, di kawasan Jam Gadang ini ada orang-orang yang berkostum tokoh kartun gitu. Mereka menawari berfoto bareng. Istri pun senang berfoto dengan badut berkostum minion. Mendadak badut yang berkostum lain ikut masuk dalam frame kamera saya. Ternyata usai foto-foto mereka minta uang. Lha, kenapa gak dibilang di awal kalau harus bayar? Entah kami kasih atau malah kami melarikan diri saat itu saya lupa. Di catatan biaya yang kami keluarkan sih gak muncul tuh uang buat bayar badut 😛

Hotel Kartini dari depan

Hotel Kartini dari depan

Jembatan Limpapeh

Jembatan Limpapeh

Ceria di benteng fort de kock

Ceria di benteng fort de kock

Capek seharian, kami menghabiskan waktu malam di Haus of Tea sekalian mau ketemuan dengan teman yang sudah membantu kami guiding via messenger seharian ini. Salmon Steak dan Banana Milkshake yang saya pesan. Setelah kejadian seharian kurang menyenangkan, saya pikir makan steak menjadi penutup hari yang menyenangkan. Benar saja, steak-nya cukup enak. Walaupun karena saya makan steak istri jadi merasa harus mengirit. Dia hanya memesan cakue saja. Bukan saya pelit lho ya. Istri saya memang pengertian, tidak mau merepotkan suaminya. Huahahaha..

Malam belum terlalu larut saat kami memutuskan kembali ke hotel. Sebelum ke hotel, kami menyempatkan melihat suasana Jam Gadang kala malam. Sepi. Padahal baru pukul 20.00. Masih merasa belum terlalu malam, kami masuk ke Bukittinggi Plaza yang ada Ramayana di sana. Begitu kami masuk terdengar suara-suara rolling doors diturunkan. Lha, kok sudah mulai pada tutup. Mungkin karena hawanya dingin jadi orang lebih suka cepat beranjak ke peraduan. Begitupun kami, tak lama setelah sampai hotel, langsung terlelap dalam mimpi.

Padang dan Bukittinggi, 1 – 2 September 2013

Jam Gadang

Jam Gadang

Pengennya sih nginap di The Hills ini

Pengennya sih nginap di The Hills ini

Gunung Singgalang di kejauhan

Gunung Singgalang di kejauhan

Gono-gini Day 5:

bus kota @ 3K 6K
Travel Padang – Bukittinggi @25 K 50 K
Angkot pasar aur ke jam gadang @ 2,5 K 5 K
Nasi kapau ni lis 34 K
Hotel kartini 200 K
Benteng fort de kock @10 K 20 K
Ades + teh kotak sosro 9 K
haus of tea steak,banana milkshake,cakue,mineral water 83 K
Ayam goreng tepung 6 K
Total 413 K