Honeymoon Trip: Bukittinggi Day 2


Saya pernah membaca sebuah post blog milik mas Sapar yang bercerita tentang menikmati pagi di Bukittinggi saat matahari masih belum menampakkan sinarnya. Pagi itu, usai subuh saya dan istri berencana merasakan pengalaman yang sama. Kami yang masih berada di dalam kamar di lantai 2 Hotel Kartini beranjak turun mindik-mindik. Jadi, hotel kartini ini bukan seperti hotel yang berisi kamar berderet-deret, namun lebih seperti rumah yang memiliki ruang keluarga dan ruang tamu yang luas. Berusaha tidak membuat suara apa pun, kami menuju ke pintu depan. Begitu sampai, kami kecewa karena pintu masih dikunci rapat. Tiada siapa pun di resepsionis yang bisa dimintai tolong membukakan pintu. Terpaksa deh keinginan menikmati pagi di Bukittinggi kami urungkan. Kembalilah kami ke kamar menikmati honeymoon yang tertunda malam sebelumnya karena kecapekan *wink*.

Berpose di Taman Panorama berlatar Ngarai Sianok

Berpose di Taman Panorama berlatar Ngarai Sianok

Salah satu pintu masuk Lobang Jepang

Salah satu pintu masuk Lobang Jepang

Pagi ini kami berencana menghabiskan setengah hari di Bukittinggi karena usai siang kami akan bertolak ke Pekanbaru. Usai sarapan seadanya berupa nasi goreng yang disediakan hotel, kami check out dan sekalian menitipkan tas. Berbeda dengan hari sebelumnya yang berjalan kaki keliling kota, hari ini kami berhasil menyewa sebuah sepeda motor selama setengah hari. Berangkatlah kami ke destinasi pertama, Taman Panorama untuk melihat Ngarai Sianok dan Lobang Jepang.

Berkendara motor di Bukittinggi terasa sangat nyaman karena arus lalu lintas tidak terlalu ramai dan rambu menuju tempat-tempat wisata terpampang jelas. Kalaupun ramai, itupun lalu lintas yang melewati pasar. Mengunjungi Taman Panorama di waktu pagi adalah pilihan tepat bagi kami. Udara yang masih sejuk dan pengunjung yang masih sedikit membuat kami lebih maksimal menikmati pemandangan pagi Ngarai Sianok. Terlihat pula miniatur The Great Wall yang cukup panjang membelah ngarai di antara rimbunnya pepohonan. Puas berfoto berdua berlatar ngarai siangok, kami menuju Lobang Jepang yang masih dalam kompleks Taman Panorama.

Di depan pintu masuk Lobang Jepang, kami dicegat oleh seorang pemandu wisata. Mengingat pengalaman sebelumnya di Lubang Mbah Suro yang terjadi hal mistis, sebelum masuk ke Lobang Jepang, kami mewanti-wanti kepada pemandu agar tidak menceritakan hal-hal mistis di sana. Alih-alih hal mistis, kami ingin diceritakan tentang sisi sejarah tempat itu. Alhamdulillah selama di dalam Lobang Jepang tidak ada kejadian aneh. Malah jadi bertambah ilmu kami tentang sejarah kota Bukittinggi yang terletak tepat di tengah-tengah Pulau Sumatera ini dan fakta-fakta unik tentang benteng pertahanan tentara Jepang ini. Beberapa di antaranya adalah adanya sebuah anak tangga di tiap pintu ruangan bunker dan tinggi bunker di beberapa bagian cukup pendek untuk manusia ras non-Asia. Hal ini adalah strategi Jepang menghadapi Belanda. Sewaktu-waktu Belanda bisa menyerbu masuk ke dalam bunker itu, anak tangga dan tinggi bunker bisa memperlambat kecepatan tentara Belanda dan memberi waktu lebih bagi tentara Jepang untuk melarikan diri. Taktik tentara Jepang ini sangat brilian bukan?

Persawahan di Ngarai Sianok

Persawahan di Ngarai Sianok

Great Wall Koto Gadang, terlihat di dindingnya sudah banyak coretan

Great Wall Koto Gadang, terlihat di dindingnya sudah banyak coretan

Penasaran dengan miniatur The Great Wall yang kami lihat di Taman Panorama, usai menyusuri lorong-lorong di Lobang Jepang, kami turun ke ngarai dan mengunjungi Great Wall KW tersebut. Harapannya sih semoga bisa berkunjung ke Great Wall yang asli gitu di Beijing bulan depan (Amin ya Allah!). Miniatur tembok besar China yang disebut juga sebagai Great Wall of Koto Gadang ini adalah objek wisata baru di Bukittinggi. Membentang sepanjang 1,5 kilometer dari Kabupaten Agam hingga kota Bukittinggi ini baru diresmikan pada tanggal 27 Januari 2013. Walaupun baru, namun sayangnya sudah ternodai dengan tulisan-tulisan di dinding akibat ulah tangan-tangan jahil.

Toko souvenir Kapuyuak

Toko souvenir Kapuyuak

Sebenarnya saat melewati ngarai menuju Great Wall KW kami berjumpa dengan sebuah warung makan Gulai Itiak Lado Mudo. Dengan pertimbangan belum terlalu lapar, kami memutuskan untuk lanjut berkeliling ke destinasi berikutnya, Rumah Lahir Bung Hatta. Kami agak kebingungan mencari rumah yang beralamat di Jalan Soekarno-Hatta No. 37, Bukittinggi ini. Ancer-ancer yang kami dapat dari googling adalah sekitaran Pasar Bawah. Namun berputar-putar sampai lebih dari dua kali tak kami temukan juga. Bertanya kepada seseorang yang kami temui di jalan, hasilnya nihil. Bahkan orang lokal pun kadang kurang mengenal daerahnya sendiri. Kami malah ditunjukkan arah ke Istana Bung Hatta. Padahal kan rumah masa kecil Bung Hatta ini berbeda dengan istana Bung Hatta.

Dua kali salah jalan, kami akhirnya mampir dulu ke toko souvenir Kapuyuak. Toko souvenir yang bersegmen anak muda ini menjual kaos-kaos berdesain unik dan karya warna khas Bukittinggi. Selain kaso, ada juga jaket, topi, sandal jepit, tote bag, dan souvenir lainnya. Saya tertarik membeli sebuah kaos bergambar Bung Hatta berwarna merah menyala berukuran gadang atau L. Ya, ukuran pakaian di Kapuyuak ini menggunakan bahasa lokal seperti ketek yang berarti kecil untuk ukuran S dan gadang bana untuk ukutan XXL. Begitu selesai berbelanja bertanyalah kami tentang lokasi rumah kelahiran Bung Hatta. Alhamdulillah abang penunggu Kapuyuak ini tahu dan mau menjelaskan letak lokasinya secara detil.

Dibangun sekitar tahun 1860, rumah kayu berlantai dua ini terlihat sangat asri. Halaman depan yang cukup luas ditanami pepohonan dan bebungaan menambah kesan adem dan sejuk. Benar saja, begitu melangkahkan kaki masuk ke rumah masa kecil Bung Hatta ini, terasa kesejukan dalam hati. Sejuk sekaligus hangat. Sepertinya aura kehangatan keluarga Bung Hatta masih memancar dari gambar-gambar yang tergantung di dinding. Namun sayang, saat itu tidak ada pemandu yang menemani dan bercerita kepada kami. Bahkan saat kami masuk pun tidak ada seorang pun di pintu depan. Baru setelah kami usai bertamu ke rumah ini terlihat petugas di pintu depan. Padahal jika membaca catatan perjalanan mbak Yusmei waktu berkunjung ke sini, ada seorang pegawai dari Dinas Pariwisata Bukittinggi yang menemani. Mungkin pagi itu kami kurang beruntung.

Rumah Kelahiran Bung Hatta

Rumah Kelahiran Bung Hatta

Jendela rumah Bung Hatta

Jendela rumah Bung Hatta

Ruang tamu rumah kelahiran Bung Hatta

Ruang tamu rumah kelahiran Bung Hatta

Usai sejenak merasakan kenangan masa lalu di salah satu kepingan sejarah wakil presiden pertama Indonesia ini, kami kembali lagi ke Ngarai Sianok. Apa lagi kalau bukan untuk makan di warung Gulai Itiak Lado Mudo. Sekarang kami sudah benar-benar lapar. Sepotong bebek berlumuran minyak dan sambal berwarna hijau terhidang di meja siap disantap. Ini pertama kali saya mencoba menu itiak ini. Rasanya… enak banget. Walaupun sambalnya terasa sangat pedas bagi lidah saya, tapi daging bebek yang empuk dan berminyak ditemani suapan nasi terasa lumer di mulut. Saya saja sampai nambah 2 piring lho saking enaknya. Menuliskan ini saja air liur saya langsung terbit.

Perut sudah kenyang, saatnya persiapan berangkat ke Pekanbaru. Awalnya kami tidak merencanakan ke Pekanbaru. Usai dari Bukittinggi awalnya kami ingin langsung ke Medan. Tetapi karena perjalanan darat ke Medan menempuh waktu yang sangat lama, kami mencoba mencari alternatif lain, yaitu naik pesawat. Beruntung harga penerbangan Pekanbaru – Medan dari salah satu maskapai mempunyai harga yang relatif murah, jadi kami akhirnya memilih mampir ke Pekanbaru sekalian mengunjungi sahabat kami, Ombolot. Usai shalat di masjid raya Bukittinggi, kami kembali ke hotel untuk mengambil tas kami, menitipkan motor sewaan untuk nanti diambil si pemilik motor, dan menunggu mobil travel menjemput kami.

Perjalanan menuju Pekanbaru kami tempuh dalam waktu kurang lebih 5 jam ditemani pemandangan jalanan Sumatera Barat yang tentu saja aduhai. Salah satunya adalah jalan jembatan layang yang menghubungkan antar bebukitan yang dikenal sebagai Kelok 9. Sayang sekali kami tidak bisa menikmati pemandangan ini secara paripurna. Hanya dari jendela mobil kami menyaksikannya. Lain kali kami harus ke sini lagi. Mungkin naik kendaraan pribadi saja ke sini biar bisa berhenti, foto-foto, dan puas-puas memandangi panorama indah ini.

Bukittinggi, 3 September 2013

Itiak Lado Mudo

Itiak Lado Mudo

Nama warung Itiak Lado Mudo

Nama warung Itiak Lado Mudo

Kelok 9 dari kejauhan

Kelok 9 dari kejauhan

Gono-gini Day 6:

Sewa motor 30 K
taman panorama & lobang jepang @5 K parkir 2 K 12 K
Guide Lobang jepang 30 K
Great Wall Ngarai Sianok FREE
Gorengan 3 K
Rumah Bung Hatta 5 K
Lunch Gulai itiak lado mudo 74 K
Kaos Bung Hatta 80 K
Es cendol langkok 10 K
Pisang kapik bakar 5 K
Tiket travel Bukitinggi – PKU @90 K 180 K
Total 399 K