Dear Anakku, Kuceritakan tentang Banda Aceh Kepadamu


Dear Anakku,

Tadi sore bapak dan ibu berkunjung ke dokter kandungan, melihat kondisi kesehatanmu. Alhamdulillah di usiamu 31 minggu di dalam perut ibumu kamu sehat sekali. Bapak sudah tahu kalau kamu sehat. Setiap malam saja selalu kau tendang-tendang perut ibumu sampai ibumu susah tidur. Setiap bapak elus-elus perut ibumu pun kamu selalu bergerak lincah seperti diajak bermain. Bahkan, saat bapak mengajakmu ngobrol atau membacakan dongeng kepadamu, respon gerakanmu sering tak terduga. Kamu pasti sudah bisa mendengar kalau diajak ngobrol.

Sekarang bapak mau cerita tentang hari-hari awal bapak dan ibu berada di Banda Aceh. Bapak sudah pernah cerita kan kalau kota Banda Aceh adalah kota yang sangat berarti bagi bapak? 5 tahun lebih bapak hidup di sana. Walaupun kini sudah tidak tinggal di sana, bapak selalu rindu berkunjung lagi ke sana. Jika kamu sudah lahir, mau kan bapak ajak main-main ke kota Serambi Mekkah itu?

Di atas escape building

Di atas escape building

Usai berpetualang selama lebih dari seminggu mengunjungi kota-kota di Sumatera, ibumu bapak ajak tinggal di Banda Aceh. Tidak lama sih, hanya sekitar 10 hari sebelum ibumu kembali ke Bintan. Tapi selama 10 hari itu bapak bangga bisa mengenalkan kota yang spesial ini kepada ibumu. Kota yang kata orang jauh sekali tempatnya dan masih sering dicap negatif karena konflik-konflik masa lalu. Namun ibumu, terbukti malah betah tinggal di Banda Aceh.

Suatu sore, bapak menunjukkan pada ibumu sebuah tempat yang bapak sangat suka kunjungi. Sering kali pulang kantor bapak ke tempat ini untuk sekedar melihat mentari terbenam. Dilihat dari atas bangunan ini, warna merah saga langit senja di Aceh terlihat cantik dan merona. Ya, bangunan favorit bapak adalah bangunan escape building yang tersebar di sekitar pantai Ulee Lheue. Sayang, waktu itu cuaca sedang mendung. Ibumu belum bisa membuktikan cerita bapak tentang kemolekan langit senja di sana. Tapi tak apa, senyum ibumu bisa merekah lebar juga hanya dengan menikmati pemandangan kota Banda Aceh dari atas bangunan.

Laut hanya berjarak sepelemparan batu

Laut hanya berjarak sepelemparan batu

Di Masjid Raya Baiturrahman

Di Masjid Raya Baiturrahman

Mengenalkan Banda Aceh, tentu yang paling utama adalah mengenalkan ikon kota ini, Masjid Raya Baiturrahman, kepada Ibumu. Lepas waktu ashar kami masuk kompleks masjid. Bapak langsung menunjukkan lokasi tewasnya Jenderal Kohler, seorang pemimpin perang pasukan penjajah Belanda. Ya, saat berkecamuk Perang Aceh, Kohler ditembak mati oleh sniper Aceh tepat pada 14 April 1873 di halaman masjid ini. Kita memang harus melawan penjajah Nak, walaupun dengan darah dan nyawa taruhannya. Seperti yang ditunjukkan oleh pahlawan-pahlawan besar asal Aceh, salah satunya Cut Nyak Dien.

Rumah Cut Nyak Dien terletak di Gampong Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Ibumu pun tak terlewat bapak ajak berkunjung ke rumah Cut Nyak Dien yang sekarang dijadikan museum. Sebenarnya rumah ini adalah replika yang dibangun pada tahun 1981. Lokasinya memang asli rumah tempat Cut Nyak Dien mengatur pasukan dan menyusun siasat perang melawan kape-kape Belanda. Tapi, pada tahun 1896, rumah yang asli dibakar oleh Belanda. Bapak mengajak ibumu ke sini agar ibumu tahu dan belajar tentang seorang perempuan yang perkasa. Bagaimana Cut Nyak Dien harus kuat menjadi tempat bersandar anaknya saat kehilangan suami di medan perang, dan bagaimana pula ia harus menerima tampuk kepemimpinan sebagai kepala keluarga sekaligus pemimpin perjuangan melawan Belanda.

Rumah Cut Nyak Dien

Rumah Cut Nyak Dien

Anakku, membicarakan Banda Aceh, juga tak lepas dari kejadian bencana tsunami 10 tahun lalu. Kisah-kisah tentang salah satu bencana paling hebat sepanjang sejarah nusantara ini terekam dalam Museum Tsunami. Kalau bapak, sudah sering kali berkunjung ke sini. Dari awal belum banyak koleksi museum, sampai sekarang beberapa alat peraga sudah mulai rusak, bapak cukup tahu semuanya. Biar ibumu juga tahu tentang kisah tsunami ini, bapak mengajaknya berkunjung ke museum ini. Setiap bapak masuk ke museum ini, selalu ada rasa haru mengingat korban jiwa yang ribuan jumlahnya akibat tsunami. Ibumu mungkin merasakan yang sama pula. Selain ke museum, bapak juga mengajak ibumu mengunjungi salah satu bukti kedahsyatan bencana tsunami, yaitu Monumen Kapal PLTD Apung. Kapal pembangkit listrik seberat 2600 ton ini terseret gelombang tsunami sejauh 3 km dari laut. Betapa hebatnya bukan gelombang tsunami itu? Nak, musibah tsunami ini mengajarkan pada kita agar selalu dekat dengan Allah. Kamu nanti lahir ke dunia juga karena kehendak Allah. Kamu beranjak besar nanti juga karena kasih sayang Allah yang mengalir melalui Bapak dan Ibu. Dan, pada saatnya manusia mati, itu juga karena kehendak Allah. Janji ya Nak, nanti jika kamu sudah besar selalu taat kepada Allah.

Di Museum Tsunami

Di Museum Tsunami

Di PLTD Apung

Di PLTD Apung

Anakku, salah satu hal yang membuat bapak jatuh cinta kepada Aceh adalah budaya dan adatnya. Untuk mengetahui sekilas budaya Aceh, bapak mengajak ibumu ke Rumoh Aceh di kompleks Museum Aceh. Tempat ini pun sudah sering bapak kunjungi. Biasanya di hari sabtu, di kompleks museum ini banyak sekali anak-anak TK bermain dan belajar. Mereka dipandu guru-guru mereka mengenal budaya dan sejarahnya sendiri di museum. Salah satu ruangan di dalam Rumoh Aceh yang menarik perhatian ibumu adalah sebuah ruangan bersantai yang dilengkapi dengan bale-bale atau ranjang kayu lengkap dengan ayunan bayi yang terbuat dari rotan. Ibumu langsung berpose mengayunkan ayunan itu layaknya di dalam sana ada bayi yang sedang tidur. Saat itu belum ada kamu di perut ibumu. Bapak yakin, saat kamu nanti sudah lahir, Ibumu akan menjadi the best mom buatmu.

Mengayun ayunan bayi yang terbuat dari rotan

Mengayun ayunan bayi yang terbuat dari rotan

Oh iya.. Aceh tentu saja terkenal dengan panorama alamnya yang indah. Bapak hampir saja lupa menunjukkan sedikit keindahan alam milik Aceh pada ibumu. Menjelang hari kembalinya ibumu ke Bintan, baru bapak mengajaknya ke salah satu pantai terkenal di Aceh. Namanya Pantai Lampuuk. Ini sih pantai favorit bapak. Sudah tak terhitung berapa kali bapak main-main di pantai ini. Mulai dari sekedar melihat mentari terbenam, mandi-mandi air laut (walaupun Bapak kurang bisa berenang), nongkrong sambil minum kelapa muda, sampai naik banana boat sering Bapak lakukan di sini. Apalagi kalau akhir pekan, pasti ramai orang di sini. Melihat pasir putih pantai, ibumu langsung berlari-lari kecil layaknya anak-anak. Tuh, sampai membuat tulisan namanya sendiri di pasir. Bapak dan ibu bahagia sekali menikmati kebersamaan seperti ini. Apalagi jika nanti sudah ada kamu, pasti kebahagiaan bapak dan ibu semakin lengkap.

Nama di pasir

Nama di pasir

Bukan hanya melihat pantai, bapak juga mengajak Ibumu berkeliling rute-rute favorit bapak saat sepedaan. Ah, sampai sekarang yang paling bapak kangen dari Banda Aceh adalah kebiasaan bapak sepedaan di sana. Bersama para sahabat, hampir setiap akhir pekan, bapak selalu menyempatkan waktu bersepeda melewati rute-rute berpemandangan indah. Baca saja kisah bersepeda bapak di blog ini kalau kamu sudah besar, pasti kamu juga kepengen sepedaan di Aceh. Di pinggir Krueng Aceh inilah bapak sering sepedaan. Hawa yang adem karena banyak pepohonan pinuslah yang menjadi favorit bapak di rute ini. Ibumu pun sepertinya suka dengan hawa adem di sini. Lihat saja ia berpose di pepohonan pinus.

20130914-IMG_7009

Pose di pepohonan pinus

Nak, bagaimana perasaanmu setelah mendengar cerita bapak mengenalkan Banda Aceh kepada ibu? Pasti kamu ingin juga pergi ke sana. Bapak janji, nanti akan bapak ajak ke sana. Bapak kenalkan kota di ujung Pulau Sumatera itu kepadamu juga. Bapak ajak napak tilas kisah bapak selama di sana. Ah.. Bapak sudah tidak sabar membayangkan kita semua berwisata dan jalan-jalan di sana. Sekarang, kamu tidur dulu ya. Ibumu pun sudah terlelap. Jadilah bayi yang pintar dan sehat selalu.

Salam sayang,

Bapakmu..

Tangerang Selatan, 26 Oktober 2014