Jejak Terakhir Teuku Umar


“11 Februari 1899, bertepatan dengan bulan Ramadhan, Teuku Umar tersungkur jatuh dihantam peluru emas Belanda di Suak Ujong, Meulaboh di saat pejuang sedang menunaikan sahur. Beliau langsung roboh dan syahid dalam usia yang sangat produktif, yaitu: usia 45 tahun. Teuku Umar datang ke Meulaboh dari arah Lhok Bubon bermaksud mau membunuh dan menyergap Jenderal Van Heuzt yang ada di Meulaboh. Dan ternyata, jenderal ini juga memiliki maksud yang sama, untuk menangkap dan membunuh Teuku Umar. “Kita akan minum kupi di Meulaboh atau saya syahid”, begitu kata beliau kepada pasukannya sebelum bergerak ke Meulaboh. Dan takdir Allah SWT menyatakan sang tokoh legendaris ini syahid”

HT. Ahmad Dadek, SH.
(Bidang Kebudayaan Disdikbudpora Aceh Barat, 2011)

20140225-IMG_8600

Tugu Monumen Teuku Umar

Itulah sebuah penggalan kisah tentang seorang Pahlawan Nasional yang berasal dari Aceh Barat yang bernama Teuku Umar. Penggalan kisah tersebut saya baca di sebuah papan yang tergantung di dekat makam sang pahlawan. Dan di sinilah saya, berdiri di lokasi tempat syahidnya beliau.

Sebuah tugu monumen setinggi kurang lebih 10 meter berdiri di kawasan pantai Suak Ujong Kalak sebagai penanda tempat sang pahlawan meregang nyawa, memegangi dada sebelah kiri yang darahnya merembes keluar membasahi pakaian kebesarannya. Tugu ini terlihat baru. Memang, tugu sebelumnya tidak seperti ini. Dibangun tugu yang baru ini usai bencana tsunami menghantam daerah ini. Letaknya yang hanya beberapa meter saja dari bibir pantai sudah tentu tersapu tsunami. Di puncak tugu terpasang sebentuk kupiah meukeutop, penutup kepala adat Aceh yang sering dipakai Teuku Umar dan sudah menjadi ciri khas beliau.

Siang yang teriknya menyengat terasa terobati saat angin laut sesekali menghembus ke tubuh. Tak lama usai saya menapaktilasi jejak terakhir sang pemimpin Perang Aceh ini, langkah kaki saya berjalan menjauh menuju tempat peristirahatan terakhir beliau.

20140225-IMG_8601

Suak Ujung Kalak, tak jauh dari garis pantai

 

Cukup jauh dari pusat kota Meulaboh, sekitar 35 kilometer atau sekitar 1 jam berkendara motor, terletak tempat peristirahatan terakhir Teuku Umar Djohan Pahlawan. Rupanya gelar Johan Pahlawan yang diberikan oleh Belanda saat Teuku Umar melakukan taktik bergabung dengan Belanda tetap tercantum apik di pintu masuk kawasan makamnya.

Areal makam ini berada di atas bukit yang masih memiliki tetanaman yang rimbun. Teriknya mentari hampir tak terasa di sini. Sungguh cocok menjadi tempat peristirahatan terakhir. Tak ada seorang petugas pun yang berjaga saat saya di sana. Pun begitu, hanya satu dua pengunjung lain yang datang berziarah. Untungnya di seberang makam terdapat sebuah rumah panggung yang berisi tulisan-tulisan tentang kisah sang Johan Pahlawan ini yang terpajang rapi di dinding. Dari sanalah saya sedikit menguak akhir kisah perjuangan seorang Teuku Umar.

20140225-IMG_8627

Bangunan di sana, adalah makam Teuku Umar

20140225-IMG_8636

Anak-anak tangga menuju makam

 

Perjuangan Teuku Umar selama 26 tahun dijalani dengan beberapa kali bergabung dengan Belanda. Strategi ini beliau lakukan untuk mendapatkan kepercayaan dan persenjataan dari Belanda. Strategi yang terbukti membuat Belanda rugi karena kehilangan 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar pada 30 Maret 1893. Kemudian, mulai tahun 1896 Teuku Umar bersama Cut Nyak Dien mengomandoi pasukan Aceh dalam sebuah perang yang sangat merepotkan bagi Belanda, yaitu Perang Aceh.

Memang sudah lebih dari satu abad Teuku Umar mangkat. Namun kisah kepahlawanannya masih terus diingat. Menjadi inspirasi saya, kalian, siapa saja. Tanpa darah yang tumpah dari pahlawan-pahlawan seperti Teuku Umar, kita mungkin masih berada dalam belenggu penjajahan bangsa lain. Bertepatan dengan Hari Pahlawan, saya menulis ini.

Tabik.

Tangerang Selatan, 10 November 2014