Kisah Secangkir Kopi di Senin Pagi


Terasa ada jutaan ton barbel menggelayut di kelopak mata saya pagi tadi. Jika tidak ingat ini hari senin dan aktifitas kuliah saya dimulai pada pagi hari, rasanya saya akan tetap membiarkan barbel-barbel tak kasatmata itu menggelayuti mata saya sepanjang hari. Dengan langkah gontai, saya menyeret badan menuju kamar mandi. Hipotesis saya bahwa setelah mandi akan menghilangkan kantuk ternyata salah. Yah, mungkin baru sebagian pemberat itu yang luruh oleh air mandi. Namun sebagian lagi, rasanya sulit diusir.

Di dapur, saya lihat istri sedang membuat sarapan. Dua potong sandwich telur tersaji di meja. Tapi ada yang lain pagi tadi. Wangi aroma kopi menyeruak. Secangkir kopi hitam panas terhidang pula di meja. Sepertinya istri saya tahu bahwa suaminya sedang butuh penyemangat pagi itu.

Benar saja, usai menghabiskan sarapan, saya seruput sedikit-sedikit minuman berwarna hitam itu. Tiap tegukannya terasa menguapkan barbel tak kasatmata di kelopak mata saya. Seiring tandasnya kopi itu sampai hanya tersisa ampasnya di dasar cangkir, mata saya terasa ringan dan segar. Ditambah sebuah kecupan manis dari istri, saya berangkat ke kampus penuh dengan semangat. Senyum merekah di bibir saya. Rasanya ingin berteriak I LOVE THIS MONDAY.

***

Itu cerita saya tadi pagi. Jangan harap cerita yang sama akan terjadi beberapa tahun yang lalu. Jangankan menenggak secangkir kopi hitam, sesepele menyeruput kopi susu pun saya tak mau. Perut saya sering meronta jika diisi minuman kopi. Sakit dan melilit. Mungkin lambung saya tidak kuat dan asam lambungnya langsung mengalir deras begitu terkena kopi. Bahkan pernah, saking banyaknya tugas sekolah dan harus begadang, saya memaksakan diri minum kopi agar tetap terjaga. Memang sih hasilnya tetap terjaga, namun bukan karena kantuk yang menguap, tetapi perut yang melilit sampai muntah berkali-kali. Setelah itu, saya kapok dekat-dekat dengan kopi.

Namun, saat 5 tahun lalu saya tinggal di sebuah kota yang kental dengan budaya ngopinya, Banda Aceh, lambat laun saya mulai mengenal kembali kopi. Awalnya ikut mencoba sedikit jika orang-orang di kantor saya membeli seteko kopi di ruangan, lama-lama jadi lumayan suka. Tapi ada syaratnya. Syarat yang saya buat dan tepati sendiri. Minum kopi harus saat perut sudah terisi makanan. Jangan minum kopi saat perut kosong agar lambung saya tak bereaksi. Walaupun terkadang masih lupa juga menyesap kopi saat perut kosong, tapi lambung saya sepertinya sudah bisa beradaptasi. Masih sedikit melilit, tetapi worth it dengan kenikmatan kopi.

Sekarang, saat saya sudah tidak tinggal di Banda Aceh dan kembali menjadi anak kuliahan, serta memiliki istri seorang penyuka kopi, saya mempunyai kebiasaan baru. Yaitu, minum kopi. Walaupun tidak setiap pagi saya lakukan, karena faktor lambung yang sensitif, tapi jika memerlukan semangat baru, saya tak ragu lagi untuk mendapatkannya dari secangkir kopi hitam panas beraroma wangi.

***

Sesampai di kampus, ternyata dapat kabar kalau kuliah dibatalkan karena dosen berhalangan hadir. Biasanya mood saya bisa berubah jelek karena merasa rugi sudah datang ke kampus lalu harus pulang karena kuliah batal. Tapi hari ini, suasana hati saya tetap ceria. Bahkan sesampai di rumah, saya langsung membantu istri. Alih-alih hanya diam menunggu masakan istri siap santap (yang biasanya sering saya lakukan), saya membantu menjemur pakaian yang sudah dicuci dan menyapu lantai rumah. Tumben saya jadi rajin? Ini pasti gara-gara secangkir kopi pagi tadi.

photo

Menu sarapan pagi tadi

Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Tulisan Pendek Cerita #DiBalikSecangkirKopi yang diadakan oleh NESCAFE Indonesia

Twitter: @buzzerbeezz
Facebook: Ari Murdiyanto