Selat Malaka, Rumah Makan Aceh di Bintaro


“Mas, ada rumah makan Aceh baru buka tuh kita lewatin tadi”, istri saya memberitahu saat kami bermotor-ria di jalanan Bintaro. “Nanti kalau pulang lewat sini lagi aja untuk memastikan”, lanjutnya.

Aceh food for our lunch (photo by Nenny Wulandari)

Aceh food for our lunch (photo by Nenny Wulandari)

Sudah 9 bulan saya meninggalkan Aceh. Semakin hari mulai muncul rasa kangen, terutama pada kulinernya. Beberapa waktu lalu mencoba makan mie Aceh di sebuah warung bernama Na Rasa, ternyata bagi lidah kami hana rasa. Jika lidah sudah kena kuliner asli di Aceh, rasanya hambar mengecap kuliner dengan nama sama di luar Aceh. Mendengar ada rumah makan Aceh yang baru buka, langsung terbit keinginan melepas rindu pada cita rasa masakan Aceh yang dulu sering saya santap.

Hari sabtu (13/12) kemarin, istri yang biasanya masak saya minta libur dahulu. Hari itu kami berencana mencoba makan di rumah makan Aceh yang baru buka itu. Waroeng Atjeh Selat Malaka nama rumah makannya. Alih-alih menjual mie Aceh yang sudah jamak di mana-mana, menu rumah makan ini cukup beragam. Dari makanan besar, minuman, sampai makanan kecil khas Aceh tersedia di sana. Ada ayam tangkap, gulai kambing dan sapi kuah beulangong, ikan keumamah, sambal ganja, teh tarik, kopi ulee kareng, sanger, sampai kue timphan pun ada!

Ini ayam tangkapnya

Ini ayam tangkapnya

Nuansa warungnya yang sederhana, terbuka, bangunannya didominasi dengan bambu, serta konsep hijau yang ditandai dengan banyaknya tetumbuhan layaknya taman kecil membuat betah pelanggan. Di tengah teriknya matahari siang di Bintaro, warung ini cukup layak untuk berteduh sekaligus makan siang.

Melihat menunya, rasanya ingin kami pesan semua. Tapi tak mungkin, perut kami tak akan cukup menampungnya. Sebagai kunjungan pertama, akhirnya kami memilih menu 1 porsi ayam tangkap, 1 porsi gulai kambing, 2 porsi nasi putih 1 gelas timun kerok, 1 gelas teh tarik dingin, dan kue timphan untuk kami berdua. Semoga saja enak seperti di daerah aslinya ya.

Tak menunggu lama, pesanan kami datang. Penampakan ayam tangkap dan gulai kambingnya tak berbeda dengan di Aceh sana. Terbitlah air liur kami. Sendok garpu langsung menyerbu. Tanpa ekspektasi tinggi kami menyantap hidangan itu. Yang paling otentik dan mirip adalah ayam tangkapnya. Ayamnya empuk, gurih, dan cita rasa dedaunan yang berserakan pun seperti ayam tangkap yang pernah saya santap langsung di daerah aslinya. Sayang, porsinya kurang banyak.

Dan ini gulai kambingnya

Dan ini gulai kambingnya

Sedangkan gulai kambingnya, bumbunya agak terasa light. Kalah jika dibandingkan dengan gulai yang dijual di depan Gedung Keuangan Negara Banda Aceh. Mungkin disesuaikan dengan lidah bukan Aceh di Bintaro, tetapi karena saya sudah terbiasa makan gulai kambing yang bumbunya berempah dan nendang, jadi rasanya agak kurang. Perbedaan lainnya, jika gulai kambing di Aceh biasanya dilengkapi nangka muda atau boh panah, di sini menggunakan pelengkap labu. Walaupun begitu tingkat keempukan daging kambingnya patut diacungi jempol. Tidak menyusahkan untuk dikunyah.

Bagaimana dengan minumannya? Timun keroknya enak. Kalau biasanya di Banda Aceh dalam minumannya hanya timun saja, di rumah makan Selat Malaka ini ditambahi nata de coco. Terasa lebih segar di mulut. Untuk teh tariknya, yah lumayanlah. Bagi saya, standar teh tarik enak adalah milik Canai Mamak KL di Banda Aceh. Selama ini, saya belum menemukan yang melebihi enaknya teh tarik Canai Mamak.

Ini kue timphan (photo by Nenny Wulandari)

Ini kue timphan (photo by Nenny Wulandari)

Sembari menyantap makan siang itu, seorang wanita yang ternyata adalah pemilik rumah makan menyapa istri saya, “Wah, lagi hamil ya mbak?”. Mendengar sapaannya, kami langsung bercerita bahwa dulu pernah tinggal di Banda Aceh. “Iya, saya dari tahun 2008 sampai 2014 tinggal di Banda Aceh”, saya bercerita. “Ohh.. Biasanya orang Jawa yang sudah kena masakan asli Aceh suka kangen tuh”, lanjutnya menebak yang saya iyakan dengan anggukan. “Kalau mie Aceh sudah banyak yang jual di Jakarta. Makanya ibu jual menu-menu lain kayak ayam tangkap ini”, lanjutnya bercerita.

Saya selalu mengapresiasi jika pemilik rumah makan mau menyapa dan mengobrol dengan pelanggannya. Cukup intim kami mengobrol. “Saya tinggal pergi dulu ya. Semoga nanti lahirannya lancar”, katanya menutup pembicaraan.

Usai menandaskan menu dan menutup makan siang kami dengan kunyahan timphan (yang juga enak) di mulut, kami pun menuju kasir. Siang itu kami habis Rp. 102.000 untuk berdua. Sangat sepadan dengan cita rasa makanan yang ditawarkan dan cukup sanggup mengurangi rasa rindu kami sama Aceh. Kapan-kapan kami pasti ke sana lagi mencoba menu-menu yang lain.

Tertarik makan di sini?

Menu di Warung Selat Malaka

Menu di Warung Selat Malaka

Waroeng Atjeh Selat Malaka
Jam Buka: Siang – Sore
Jl. Raya Pucung, Pondok Aren
Bintaro, Tangerang Selatan