Menggapai Penyangga Langit Jepara


“Saya punya cita-cita mengunjungi 7 buah air terjun selama hidupku. Dan masih kurang 3”, begitu kata seorang kawan kepada saya suatu ketika. Entah dia punya nazar, kaul, atau tujuan apa dengan 7 air terjun itu, saya tak tahu. Dan ketika saya diajak melawat ke salah satu air terjun tujuannya, berangkatlah saya. Mumpung sedang liburan di kampung halaman, tak ada salahnya mengeksplorasi daerah sekitar.

Jalan raya Pati - Jepara yang asri

Jalan raya Pati – Jepara yang asri

Awalnya saya tertarik ikut karena tujuan utama kami adalah Pantai Bandengan, kawasan pantai wisata yang paling terkenal di Jepara. Kabar bahwa garis pantainya yang panjang dan berpasir putih sukses membuat saya penasaran. Karena jarang sekali saya bertemu pantai berpasir putih di sepanjang garis pantai utara Jawa Tengah. Namun ternyata, sebelum sampai di Pantai Bandengan, kami berbelok mengikuti sebuah petunjuk arah bertuliskan “Air Terjun Songgolangit”.

Untuk menuju lokasi air terjun ini, dari Pati -kampung halaman saya- terbilang cukup gampang. Menyusuri jalan raya Pati – Jepara, memasuki wilayah Kabupaten Jepara melewati Kecamatan Keling dan Kecamatan Kembang. Di Kecamatan Kembang itulah lokasi air terjun ini. Tepatnya di Dusun Dukuh Ngelencer, Kelurahan Bucu. Tak usah takut tersasar. Papan petunjuk jalan menuju air terjun ini terpampang nyata di pinggir jalan raya. Pasang mata saja ketika sudah memasuki wilayah Kecamatan Kembang, pasti ketemu papan petunjuk jalannya. Tinggal diikuti deh petunjuk jalannya itu.

20110430-IMGP3104

Air terjun Songgolangit

Pemandangan sepanjang perjalanan menuju air terjun ini juga sangat menyenangkan. Kami melewati perkebunan karet dan persawahan berundak. Walaupun panas mentari menyengat, hawanya langsung terasa adem karena dirimbuni pepohonan karet dan disuguhi kelir hijau persawahan.

Songgolangit berasal dari dua kata Bahasa Jawa, songgo dan langit. Artinya penyangga langit. Wajar saja dinamakan begitu. Dengan tinggi sekitar 80 meter, air terjun itu tampak menjulang menyangga langit. Beruntung saat kami ke sana airnya deras. Saking derasnya, gemuruh suaranya terdengar jauh sebelum kami memasuki areal parkir. Itu jika berkunjung di musim penghujan. Konon, jika musim kemarau, air terjun ini tak terlalu deras. Lebih beruntung lagi karena saat kami ke sana bukan akhir pekan. Sehingga suasananya relatif sepi dan sangat nyaman untuk bersantai. Mau mandi-mandi, tak perlu berebut dengan pengunjung lain. Pun jika mau foto-foto, bebas deh bergaya apa tanpa khawatir ada photo bomb.

“Mas!! Di sana licin! Hati-hati terpeleset!”, sebuah teriakan kencang mengagetkan saya yang sedang mengambil foto di bawah air terjun. Ternyata seorang ibu penjaga warung tersangkanya. Saya langsung bergegas mendekat. “Karena lagi sepi mas, hati-hati kalau sendirian. Kemarin dulu ada yang tenggelam di sana soalnya”, lanjutnya sambil menunjuk sebuah kolam yang katanya cukup dalam. Padahal saya sih tidak berniat nyemplung ke sana. Cuma ingin berfoto saja.

20110430-IMGP3110

Kolam di bawah air terjun

20110430-IMGP3120

Sungai berbatuan

Selain menyimpan keindahan lukisan alam, Songgolangit ini juga memiliki kisah legenda. Konon ada seorang perjaka dari Desa Tunahan yang menikah dengan seorang gadis asal Dukuh Sumanding, Desa Blucu. Pada suatu fajar, sang istri bersiap menyiapkan sarapan untuk sang suami. Karena kurang berhato-hati, timbullah suara gaduh di dapur. Sang mertua (ibu si istri) menegur anaknya, “Ojo glondhangan. Mengko mundak bojomu tangi”*. Rupanya sang suami salah dengar dan tersinggung. Kemudian pada suatu malam, pasangan tersebut berniat minggat ke tempat asal sang suami dengan mengendarai pedati yang ditarik oleh sapi. Karena jalanan gelap, pedati tersebut tersesat dan masuk jurang yang sangat dalam dan pasangan tersebut hilang tanpa jejak.

Jurang tempat pasangan pengantin tersebut jatuh itulah yang dipercaya sebagai lokasi air terjun Songgolangit sekarang. Kabarnya, legenda tersebut saat ini masih melekat kuat di hati masyarakat setempat sehingga antara orang desa Tunahan dan desa Blucu berpantang untuk hidup sebagai suami istri. Karena dikuatirkan hubungan rumah tangga mereka akan mengalami malapetaka seperti kisah legenda tersebut.

Yah, namanya juga cerita rakyat. Boleh percaya boleh tidak. Tapi kalau saya sih menangkap moral of the story-nya adalah jadi orang jangan suka tersinggung. Coba sang suami tidak salah dengar dan gampang tersinggung, mungkin tak akan terjadi bencana itu.

20110430-IMGP3145

Panorama sawah hijau menuju lokasi air terjun

Sebelum melanjutkan perjalanan ke Pantai Bandengan, siang itu kami habiskan mengunyah cemilan di salah satu warung yang berderet di sekitar lahan parkir tak jauh dari air terjun. “Tinggal 2 lagi nih air terjunnya. Sekarang kita sampai di air terjun penyangga langit. Berikutnya harus yang bisa sampai angkasa!”, kawan saya berkelakar sambil menenggak air mineral di tangannya.

Itu lawatan saya beberapa tahun lalu ke air terjun Songgolangit. Hmm.. Saya jadi penasaran, usai menggapai penyangga langit Jepara, nazar kawan saya sudah purna belum ya?

Songgolangit dari kejauhan

Songgolangit dari kejauhan

Catatan:
Arti kalimat dalam Bahasa Jawa di atas: *Jangan berisik. Nanti suamimu bangun.

1 Banner Jan-Feb 2015

Tulisan ini saya ikutkan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah 2015 Periode 1: 19 Januari – 14 Februari 2015 yang bertema “Wisata Alam Jawa Tengah”