Batik Bakaran, Kain Klasik dari Era Majapahit


Kisah ini dimulai dari runtuhnya Kerajaan Majapahit pada akhir abad 14. Adalah seorang abdi Majapahit bernama Nyi Banowati yang berprofesi sebagai penjaga pusaka dan pembuat seragam Majapahit. Ia bersama saudaranya, Ki Dukut, Ki Demang Joyo Truno, dan Ki Dalang Becak, terpaksa meninggalkan Majapahit saat terjadinya perang dengan Kerajaan Demak yang menganut islam. Entah apa motif mereka melarikan diri. Catatan sejarah ada yang mengatakan mereka sudah beragama islam dan melarikan diri dari hukuman raja Majapahit, namun ada juga yang mengatakan bahwa mereka yang masih menganut Hindu-Budha kabur dari kejaran pasukan Kerajaan Demak.

Mereka pergi menyusuri pantai utara Jawa. Di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, Ki Dalang Becak memisahkan diri dari ketiga saudaranya. Ia menetap di Tuban, Jawa Timur. Nyi Banowati dan kedua saudaranya melanjutkan perjalanan hingga ke kawasan rawa-rawa yang penuh semak berduri bernama pepohonan druju. Konon karena banyaknya pohon druju inilah daerah itu sekarang dinamakan Juwana yang berasal dari kata druju wana yang berarti hutan druju.

Batik Bakaran klasik

Batik Bakaran klasik

Di sana, Nyi Banowati dan Ki Dukut membuka lahan yang dimaksudkan sebagai tempat persembunyian. Karena Ki Dukut seorang lelaki yang tentu saja lebih kuat dibandingkan Nyi Banowati, ia sanggup membabat alas dengan sangat luas. Nyi Banowati yang ingin memiliki lahan yang luas dengan cerdik mengadakan perjanjian dengan Ki Dukut. Dengan cara membakar hasil pembukaan lahan, ia meminta sebagian lahan Ki Dukut. Debu hasil pembakaran yang terjatuh di jarak terjauh menjadi batas lahan milik Nyi Banowati. Karena kawasan milik Nyi Banowati menjadi lebih luas, dibagilah menjadi dua dengan Ki Truno. Daerah bernama Bakaran Wetan menjadi milik Nyi Banowati, Bakaran Kulon menjadi milik Ki Truno yang lebih dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai Mbah Demang. Sedangkan daerah milik Ki Dukut dinamakan Dukutalit. Ketiga daerah tersebut saat ini menjadi nama desa yang saling berbatasan di wilayah Kecamatan Juwana, Pati, Jawa Tengah.

Sejak saat itulah Nyi Banowati yang lebih dikenal sebagai Nyai Ageng oleh masyarakat sekitar menetap di desa Bakaran Wetan. Seiring dengan bertambahnya waktu, di sana pun mulai banyak penghuninya. Karena memiliki keahlian membatik, Nyi Banowati menurunkan seni membatik yang dimilikinya kepada masyarakat sekitar.

***

Saya mendengar legenda babat Bakaran itu dari ibu mertua saya yang memang asli Bakaran. Sesekali istri saya pun menimpali dan melengkapi kisah itu. Sebenarnya ibu mertua saya pun seorang pembatik, tapi beliau sudah tidak aktif membatik lagi.

Saat ini industri batik tulis di desa Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon masih menjadi industri rumahan. Sempat menjadi komoditi perdagangan antar pulau melalui Pelabuhan Juwana dan menjadi tren pakaian para pejabat Kawedanan Juwana, di era modern, baru sekitar akhir tahun 80’an dan awal 90’an industri rumahan Batik Tulis Bakaran mengemuka. Dahulu batik ini kebanyakan hanya untuk konsumsi pribadi. Biasanya para wanita di desa Bakaran membatik untuk membuat sarung yang dipakai untuk sunatan anaknya, atau membuat pakaian pengantin untuk kerabat dekatnya.

Proses pertama pendesainan Batik Bakaran

Proses pertama pendesainan Batik Bakaran

Batik Bakaran ini memiliki kekhasan yang berbeda dengan batik lain. Warna yang mendominasi adalah hitam dan coklat. Unsur coraknya memiliki aliran motif Batik Tengahan dan Batik Pesisir. Batik Tengahan menganut corak dari kalangan Kerajaan Majapahit. Sedangkan unsur Batik Pesisir muncul karena letak geografis desa Bakaran yang berada di pesisir pantai utara Jawa Tengah. Beberapa corak klasik beraliran Batik Tengahan adalah Padas Gempal, Kedele Kecer, Merak Ngigel, Blebak Kopik, dan sebagainya. Sedangkan motif Batik Pesisir contohnya adalah Blebak Urang yang bergambar udang, yang menggambarkan hasil utama petani tambak di Bakaran Wetan.

Motif-motif tersebut saya lihat langsung saat mencari kain batik di Batik Tjokro, salah satu pionir industri rumahan di desa Bakaran Wetan. Kebetulan Pak Bukhari dan Bu Tini, pemilik Batik Tjokro, sedang berada di luar kota. Tertempel di dinding, motif-motif batik klasik itu dipamerkan. Kebetulan pula, para pembatik yang biasanya sibuk dengan canthingnya masing-masing juga sedang beristirahat. Sehingga, sayang sekali saat itu saya tidak bisa mengabadikan proses membatik.

Batik Bakaran cantik juga kan dipakai manekin?

Batik Bakaran cantik juga kan dipakai manekin?

Kekhasan lain adalah motif retak atau remek pada kainnya yang tidak dimiliki batik daerah lain. Motif ini didapat dari proses nemboki atau menutup kain dengan malam. Motif retak ini memberikan efek retakan seperti tembok retak pada kain batik. Belum pernah saya melihat ada motif seperti ini pada batik daerah lain.

Sejak kecil, saya sebenarnya sudah akrab dengan Batik Bakaran karena tempat tinggal saya tidak jauh dari Juwana. Waktu saya masih sekolah dulu, ibu saya sering membelikan kain batik dan dijahitkan menjadi sebuah kemeja. Saat sudah merantau dan bekerja, kemeja batik Bakaran tersebut sering saya pakai di kantor. Ada perasaan dekat rumah saat memakainya. Walaupun sudah memakai kain batik Bakaran sejak dulu, tapi saya baru mengetahui lebih dalam tentang batik ini sejak saya menikah dengan seorang perempuan asli desa Bakaran Wetan.

Warna-warni Batik Bakaran modern

Warna-warni Batik Bakaran modern, beberapa bermotif retak

Saya memakai kemeja batik Bakaran pada momen lebaran

Saya, ditemani istri dan Bara, memakai kemeja batik Bakaran pada momen lebaran

Sejak menikah, kedekatan saya dengan Batik Bakaran semakin erat. Suatu ketika saat saya baru saja menikah, saya diberi secarik kain sarung bermotif batik Bakaran oleh ibu mertua. Kain berwarna dominan hitam itu kini menjadi favorit saya. Hampir setiap traveling ke luar kota, selalu saya bawa, menjadi perlengkapan shalat atau sekedar untuk menghangatkan badan di malam hari. Baju batik yang saya miliki pun kebanyakan asli batik tulis Bakaran. Bagi saya, rasanya lebih bangga bisa memakai dan memamerkan hasil daerah sendiri dalam berbagai kesempatan. Bahkan, saking semangatnya mempromosikan Batik Bakaran, saya ikut project Giveaway Wisata Daerahmu, dan menjadikan kain batik Bakaran sebagai hadiah.

Ya, mengetahui sejarah panjang Batik Bakaran ternyata membawa kebanggan tersendiri bagi saya. Bangga bahwa ternyata selama ini saya sudah memakai batik yang bernilai sejarah tinggi. Bangga bahwa saya sudah membawa batik tersebut ke berbagai tempat. Sudah lebih dari 5 abad Batik Bakaran eksis di dunia. Namun, sampai berapa lama lagi akan bertahan? Semua tergantung dari generasi penerusnya. Baik pembatik, konsumen, dan orang-orang yang peduli dengan kain ini.

Motif Batik Bakaran yang saya bagikan sebagai giveaway

Motif Batik Bakaran yang saya bagikan sebagai giveaway

Kalau saya, suatu saat nanti Bara besar, selain akan saya ceritakan tentang sejarah batik Bakaran, jika mungkin, saya ingin Bara bisa ikut mengangkat canthing dan menggoreskan inspirasinya pada secarik kain mori putih. Siapa tahu ia menuruni bakat membatik dari leluhurnya.

Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego