Menjaga Jarak Kehamilan dengan KB adalah Pilihan


Beberapa waktu lalu, saat saya wisuda, istri yang mendampingi saya duduk di kursi tribun mengobrol dengan seorang ibu hamil yang juga sedang mendampingi wisuda suaminya. Obrolan pun berlanjut sampai ke topik Keluarga Berencana (KB). Entah saking kepo atau gimana, ibu hamil tersebut bertanya kepada istri saya tentang KB.

“Saya gak habis pikir ya mbak, ada orang yang mau ikut KB. Kita kan sama-sama muslim ya, masih dalam usia produktif lagi. Apa gak merasa bersalah atau menyesal gitu ikut KB?”, ibu hamil tersebut bertanya kepada istri saya. Pertanyaan yang menurut saya kurang sopan untuk ditanyakan kepada orang yang baru ketemu dan ngobrol sekali. Untung saja ngobrolnya gak makin lama, karena terpotong oleh suatu keadaan. Padahal kalau obrolannya makin bikin gak nyaman, istri saya sudah mau meng-counter balik dengan menanyakan tentang alasan si ibu hamil tersebut menjadi working mom alih-alih stay at home mom (oh yess, selain KB kan topik ini selalu jadi perdebatan abadi di kalangan emak-emak).

Emang kalau kami KB kenapa? Haram? Sepanjang pengetahuan kami, asal tidak berniat membatasi kelahiran dan hanya berniat menjaga jarak kehamilan, saya rasa diperbolehkan dalam islam.

wpid-wp-1441120071280

Kami memilih KB dan kami bahagia

Emangnya kami memutuskan KB tidak dengan pertimbangan gitu? Karena malas ngopeni anak banyak gitu? Ya kalau kami malas mah dari awal Bara lahir langsung hire baby sitter atau minta tolong ke mbahnya Bara buat bantuin. Nyatanya kan enggak. Karena takut gak mampu ngopeni anak banyak gitu? Sejauh ini sih kami percaya Allah itu Maha Kaya, jadi ya kalaupun banyak anak ya pasti nanti ada rejekinya. Mau tau alasan kami memutuskan KB? Banyak lho pertimbangan kami. Salah dua pertimbangan utama kami adalah:

Pertama, saya memikirkan kesehatan istri. Kesehatan fisik dan mental. Lahiran pertama istri terpaksa dilakukan dengan operasi caesar. Operasi ini memberikan bekas luka yang menurut dokter, waktu pemulihannya untuk benar-benar siap untuk hamil lagi sekitar 2 tahun. Jika hamil sebelum 2 tahun pasca caesar banyak resikonya. Selain itu, mengurusi Bara 15 bulan terakhir ini, benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Tanpa bantuan baby sitter atau pengasuh lainnya, praktis hanya kami berdua bergantian momong Bara sejak hari pertama lahir. Ada bantuan mengurusi pun hanya pada seminggu setelah Bara lahir sampai usia sebulan lebih. Setelah itu, sampai usia Bara 13 bulan kami urus sendiri. 2 bulan terakhir ini saja kami mulai minta bantuan baby sitter karena persiapan saya menjelang masuk dunia kerja lagi. Dengan menjaga jarak kelahiran, akan memberikan waktu beristirahat istri.

Kedua, kami berniat untuk memberikan full ASI dan kasih sayang kepada Bara sampai minimal 2 tahun. Komitmen ini sudah kami diskusikan bersama dengan menimbang efek positif dan negatifnya bagi Bara kalau jarak kehamilan terlalu dekat.

Yang ingin saya katakan adalah, tidak perlu menghakimi pilihan masing-masing. Apalagi dengan kata-kata yang berpotensi menyakiti perasaan orang lain. KB atau tidak, memberi ASI atau susu formula kepada anak, working mom atau stay at home mom, jika diperdebatkan, alih-alih akan mencapai titik temu, biasanya malah jadi perdebatan panjang dan tak berujung. Semua adalah pilihan. Toh setiap pilihan pasti ada kelebihan dan kekurangannya, ada pula konsekuensinya.

Terkadang, menghargai pilihan adalah hal yang masih sulit dilakukan oleh orang lain. Tapi kami, sebisa mungkin belajar untuk menghargai dan tidak menghakimi pilihan orang lain. Karena kami pun tidak mau orang lain menghakimi pilihan kami.

Tabik.