Pesona Bahari Sabang, Primadona Pariwisata Aceh


Pelabuhan Kolen Station tampak ramai. Kapal-kapal uap berbahan bakar batubara berupa kapal perang dan pengangkut perdagangan hilir mudik bergantian. Ada yang sekedar mengisi bahan bakar batubara, ada pula yang mengisi muatan barang ekspor berupa hasil pertanian dan perkebunan untuk dikirim ke eropa. Bunyi klakson kapal sesekali samar-samar bercampur dengan teriakan-teriakan berbahasa asing. Di sisi lain pelabuhan, derek-derek raksasa tampak sibuk mengangkut batubara yang diambil dari bangunan depot berkapasitas 25.000 ton batubara. Tak jauh dari sana, bunyi alat-alat berat yang sedang bekerja terdengar bising di dok perbaikan kapal, menambah keriuhan suasana.

Pelabuhan Masyarakat Sabang.pdf

Suasana Vrij Haven Sabang jaman dulu (sumber: http://pusakaindonesia.pnri.go.id/)

Foto Sabang Zaman Dulu In De Schaduw Van De Waringin

Terrasfoto, di bawah naungan pohon beringin dengan minuman dingin (sumber: http://pusakaindonesia.pnri.go.id/)

Agak menjauh dari pelabuhan, terdapat sebuah tempat yang dinaungi rindangnya tetajuk beringin.  ‘Terrasfoto’ namanya. Tempat itu biasa digunakan untuk berkumpulnya para tuan dan noni Belanda serta saudagar-saudagar kapal untuk berwisata. Bermacam minuman dingin dan kudapan ringan memenuhi meja-meja mereka. Sambil duduk di kursi nyaman menghadap pelabuhan, wajah-wajah mereka tampak berseri dan bahagia. Bersantai sambil berkelakar akrab, mereka menghabiskan waktu mencumbui pesona yang tersaji sejauh mata memandang. Panorama teluk pelabuhan yang sibuk, birunya langit dan air laut yang menyatu, serta perbukitan hijau di kejauhan, berpadu membentuk sebuah pesona bahari yang memanjakan mata.

Itulah potret sebuah pelabuhan penting di ujung negeri pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada masanya, pelabuhan tersebut memiliki posisi yang lebih penting dibandingkan Pelabuhan Singapura. Selain menjadi pangkalan pengisian bahan bakar batubara Angkatan Laut Kerajaan Belanda, seiring dengan ramainya perairan selat Malaka, pelabuhan tersebut juga digunakan kapal pedagang untuk mengirim barang ekspor dari Sumatera bagian utara. Pelabuhan ini memang awalnya bernama Kolen Station yang secara harfiah memiliki arti ‘tempat mengisi batubara’. Dalam perkembangannya, pelabuhan tersebut berubah nama menjadi Vrij Haven yang secara harfiah memiliki arti ‘pelabuhan bebas’. Sempat hancur lebur akibat Perang Dunia II dan jatuh ke tangan Jepang, saat ini pelabuhan tersebut kita kenal dengan Pelabuhan Sabang yang berada di Provinsi Aceh. Ya, Sabang dan romansa pelabuhannya memang memiliki daya tarik tersendiri.

MS Artaina

Tari Guel Gayo menyambut tetamu dan awak kapal MS Artaina (Sumber: Serambi Indonesia / http://bit.ly/1V2tjjL )

Seabad telah berlalu. Bukan lagi kapal angkatan laut Kerajaan Belanda yang berlabuh. Bukan lagi kapal-kapal uap pengangkut hasil pertanian dan perkebunan yang bersauh. Kini, di teluk Sabang, berganti kapal-kapal pesiar mewah yang merapat. Tak jarang, berbagai yacht dari belahan dunia lain juga bersandar. Pesona Sabang ternyata tetap menjadi daya tarik para pelancong. Yang terbaru, kapal pesiar MS Artaina singgah di Sabang pada 7 April 2016. Kapal berbendera Bermuda itu membawa 700 turis dan 500 awak kapal. Riuhnya suara derek dan alat-alat berat pengangkut batubara sudah berganti menjadi ingar-bingar penampilan tari guel dari Gayo, Aceh Tengah, untuk menyambut para tetamu. Ramainya para tuan dan noni Belanda serta saudagar kapal pun berganti dengan rombongan turis yang berkeliling kota Sabang.

20121127-img_0485

Panorama pagi di Benteng Jepang, Anoi Itam

Bukan hanya para tuan dan noni Belanda serta turis asing kapal pesiar yang terpesona dengan keindahan Sabang. Saya pun begitu. Tahun 2009, pertama kali saya menjejakkan kaki di Sabang atau juga dikenal dengan Pulau Weh. Tak usah bingung, Sabang dan Pulau Weh bisa dibilang sama saja. Sabang nama kotanya. Pulau Weh nama pulaunya. Menginjak pulau indah berbingkai pantai eksotis yang terhampar pasir putih berbulir indah ini, saya langsung jatuh hati. Seketika saya berjanji, jika nanti memiliki istri, akan saya ajak berbulan madu ke Sabang.

20121128-img_0604

Bulan purnama di Pantai Sumur Tiga

Sebagai tempat yang mengunggulkan wisata bahari, Sabang memiliki paket lengkap. Selain pantai-pantai eksotis, warna-warni dunia bawah lautnya pun menjadi daya tarik wisatawan. Sayang, saya tidak bisa melihat secara langsung keindahan bawah laut itu. Jangankan menyelam, berenang saja saya tidak bisa. Lebih dari 5 kali kunjungan ke Sabang, hanya 2 kali saya snorkeling -yang tentu saja pakai pelampung- di perairan dekat Iboih dan Pulau Rubiah untuk menuntaskan rasa penasaran dengan dunia bawah laut Sabang. Walaupun dari kedalaman yang relatif dangkal, rupanya pesona dunia bawah laut Sabang sudah terlihat cukup indah bagi saya.

Dunia bawah laut Sabang sempat porak poranda pasca bencana tsunami pada akhir 2004 lalu. Sekitar 75% terumbu karang rusak parah. Namun saat ini, kondisi terumbu karang tersebut sudah pulih seperti sedia kala. Berkat jasa Dodent, seorang asli Sabang, yang ikhlas dan telaten berhasil menanam kembali terumbu karang dengan cara melekatkan pada cetakan semen berbentuk huruf “T” di dasar laut Gapang, Iboih, dan Rubiah. Berkat jasanya itu, ia mendapatkan penghargaan Kalpataru pada tahun 2010. Tanpa jasa Dodent, mungkin dunia bawah laut Sabang perlu waktu lebih lama untuk pulih dari hantaman tsunami.

Dibandingkan snorkeling atau bermain air, saya lebih suka menikmati suasana dan panorama pantai di pelbagai sudut Pulau Weh. Saya pernah terpukau dengan pemandangan pagi di Benteng Jepang di kawasan pantai Anoi Itam. Berdiri di balik benteng, saya menyaksikan perlahan sang surya muncul dari balik siluet Gunung Seulawah. Saya pun pernah berteduh dari teriknya mentari siang di sebuah taman di sisi jalan Diponegoro sambil menikmati lansekap teluk Sabang yang aduhai. Di sisi berlawanan, berjejer bangunan-bangunan bergaya kolonial yang memiliki balkon. Saya bisa membayangkan bagaimana perasaan damai noni dan tuan belanda dulu saat pagi hari membuka pintu balkon disambut pemandangan birunya laut teluk Sabang.

photogrid_1460594942968.jpg

Salah satu sudut Pantai Sumur Tiga

Tak hanya pagi dan siangnya, malam di Sabang pun menawarkan lansekap yang memikat hati. Saya pernah terkejut dengan keelokan bulan purnama yang sinarnya memantul di laut dekat Pantai Sumur Tiga. Tak kalah indahnya, pemandangan sore dari bukit Sabang Hill juga pernah membuat saya terpesona. Di puncak bukit itu, berdiri bangunan hotel bergaya kolonial yang dulunya adalah gedung tempat komunikasi kabel atau telegram. Ah, semua sudut di Pulau Weh sepertinya memiliki kemampuan yang sama untuk menjerat hati saya.

Terakhir kali saya ke Sabang adalah awal tahun 2014 lalu. Perjalanan ke Sabang saat itu sangat spesial bagi saya. Janji saya saat pertama kali menginjak kaki di Sabang rupanya terwujud. Akhirnya saya bisa mengajak istri menyambangi Sabang. Bisa dibilang kami ke sana untuk berbulan madu kedua. Saat itu kami masih terhitung pengantin baru dan setelah sekian lama menjalani hubungan long distance marriage, akhirnya kami bisa berkumpul kembali. Apalagi kami baru saja kehilangan calon bayi di usia kandungan istri yang masih sangat muda. Perjalanan ke Sabang saat itu, selain untuk mengajak istri mengecap sedikit pesona sabang, juga untuk memulihkan kondisi fisik dan batin kami.

photogrid_1460594875958.jpg

Pemandangan dari Sabang Hill

photogrid_1460596787614.jpg

Pemandangan Pulau Klah

Memang berbeda menyusuri pantai-pantai dan jalanan di Sabang bersama istri. Jauh lebih membahagiakan dibanding sendiri. Menginap di kawasan Pantai Sumur Tiga menjadi pilihan saya karena saya ingin menunjukkan romantisme sunrise favorit saya di Benteng Jepang kepada istri. Melihat gelak tawa lepas istri saat saya ajak berpose ala-ala prewed usai mengintip sunrise dari dalam Benteng Jepang saat itu terasa melegakan hati. Bersantai sore bersama menikmati santapan khas di kawasan Taman Wisata Kuliner Sabang dekat Sabang Fair, sambil ditemani semilir angin laut berhembus membelai wajah, terasa damai di hati. Dan tak ketinggalan, menjejakkan kaki di Titik Nol Kilometer di ujung utara pulau, menambah rasa syukur dan nasionalisme kami sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Sebagai bukti kami pernah ke sana kami membuat sertifikat titik nol kilometer dengan nama kami berdua dalam 1 sertifikat. Pesona Sabang rupanya sanggup menyegarkan kembali hubungan kami.

20140223-img_8398

Bersama istri di Benteng Jepang Anoi Itam

photogrid_1460594845603.jpg

Kilometer 0 Indonesia

“Jika nanti kita punya anak, harus kita ajak ke Sabang ya. Sekedar untuk napak tilas kisah kita”, bisik saya pelan kepada istri saat kami berbaring santai di hammock depan kamar penginapan. Saat itu adalah hari-hari terakhir saya berada di Aceh. Setelah 5 tahun 8 bulan saya berpetualang di Aceh, saatnya saya kembali ke tanah Jawa. Ada rasa sedih dan kehilangan membayangkan entah kapan lagi bisa menyesap pesona eksotisnya pantai di Sabang. Dan, suara debur ombak bersahutan bergantian dengan desau angin malam yang membelai dedaunan nyiur mengiringi kami terlelap.

Hampir 3 tahun sejak terakhir kali saya ke Sabang. Saat ini saya sudah memiliki anak berusia 16 bulan. Janji mengajaknya ke Sabang tetap saya ingat. Mungkin nanti ya Nak, kalau kamu sudah agak besar. Biar bisa menikmati pesona bahari kota Sabang lebih maksimal. Bapak yakin, sama seperti bapak dan ibumu, kamu pun akan terpesona dengan Sabang. Karena pesona Sabang selalu menjadi primadona pariwisata Aceh.

mari-rayakan-sabang-marine-festival-2016-lewat_tulisan

Tulisan ini saya ikutkan dalam Lomba Blog Mari Rayakan Sabang Marine Festival 2016 Lewat Tulisan

Sumber referensi artikel:

Bawa 700 Turis, Kapal Pesiar Artania Kembali Kunjungi Sabang
Ketika Dodent Menanam Terumbu Karang
Peraih Kalpataru itu Berfalsafah Korek Api
Sejarah Sabang