Bahagia Itu Ada di dalam Jiwa, Tak Melulu tentang Jawa


Sudah lama ternyata saya tidak update blog. Tapi kali ini, saya tidak mem-posting tulisan saya. Tapi tulisan istri saya. Beberapa waktu lalu istri saya ikut lomba kecil-kecilan di komunitas yang dia ikuti. Saya sempat diminta edit dan proofreading hasil tulisannya. Di luar dugaan saya, tulisannya bagus (maafkan suamimu yang sempat underestimate). Tulisan yang berbeda sudut pandang dengan orang kebanyakan tentang makna “rumah”. Tulisan yang mengungkapkan makna kebahagiaan bagi kami. Tulisan yang sangat manis ketika saya baca. Manis yang merekahkan senyum sambil membatin syukur usai membacanya. Terima kasih banyak wahai istriku tercinta.

Dan akhirnya atas ijin istri, saya posting tulisannya di blog saya. Selain karena memang istri saya tidak memiliki blog (ada sih dulu, tapi sudah lupa password-nya), saya post di sini juga untuk menghargain karya istri saya. Semoga bisa menjadi inspirasi. Atau kalaupun tidak, cukup bagi kami sebagai dokumentasi.

896aab6a-0183-44e3-a743-2da00331582e

Foto keluarga kami di Benteng Indrapatra, Aceh Besar beberapa waktu lalu

Bahagia Itu Ada di dalam Jiwa, Tak Melulu tentang Jawa

“Aku ini abdi negara yang bisa saja dimutasi ke seluruh penjuru negeri. Kamu mau menemaniku kan?”, itu kalimat yang ditanyakan calon suami, abdi negara yang penempatannya di ujung barat Indonesia saat melamar saya. Saya sangat sadar dengan konsekuensi itu. Masih ingat ketika awal pernikahan kami berkomitmen melakoni Long Distance Relationship, saya masih bekerja di Bintan dan suami di Banda Aceh.

Dulu kami pikir LDR akan mudah dan sesederhana yang kami bayangkan, tapi setelah dijalani ternyata tantangan LDR terlalu berat bagi kami. Meski intens berkomunikasi tiap hari, rasanya pikiran benar-benar terbagi, janji temu 2 atau 3 minggu sekali pun tak cukup mengobati rindunya hati, suami jadi tidak tenang bekerja, saya pun gelisah saat di kantor.

Puncak cobaan saat LDR adalah ketika saya keguguran dan jauh dari suami. Sejak itu, kami merevisi komitmen pernikahan untuk selalu tinggal sekota dan serumah. “Tujuanmu menikah apa kalau kalian jauh-jauhan, berumah tangga ya sebaiknya serumah, kalau tidak serumah bagaimana mau naik tangga kebahagiaan bersama?” kalimat dari ibu begitu menyadarkan saya. Ibu juga selalu menasehati saya bahwa istri itu separuh jiwanya suami, tugasnya berada dekat untuk memompa semangat, menjaga optimisme kerja dan menggenapkan separuh jiwa suami.

Saya akhirnya resign dan mencukupkan diri dari pekerjaan yang saya cintai lebih dari 5 tahun terakhir demi keluarga kecil yang saya bina bersama suami. Tidak ada yg merasa dikorbankan, justru saya mengemban pekerjaan dan tugas baru sebagai pendamping dan penjaga suami.

Saya belajar dari ibu yang sangat mendukung bapak, membersamai bapak semasa hidup bahkan ketika bapak sudah berpulang lebih dulu. Cinta dan bakti ibu ke bapak begitu luar biasa. Saya ingin jadi istri seperti ibu. Maka saya pun sadar, menjadi istri yang baik adalah mencintai suami dan menerima segala konsekuensi pekerjaannya termasuk resiko nanti akan berpindah-pindah dan jauh dari keluarga saat mendampingi suami.

“Waduh mbak kok jauh banget”, “takut ah, bukannya di sana masih daerah konflik”, “hati-hati kena tsunami lho mbak”, “kenapa gak minta pindah ke Jawa saja suaminya mbak?”, itu beberapa komentar yang sering saya dengar dari kenalan, teman, kerabat, bahkan orang terdekat begitu tahu saya mendampingi suami di Banda Aceh. Komentar yang terkadang disisipi dengan wajah kasihan dan iba pada saya. Kami  berdua bahkan sering dinasehati untuk lebih bersabar menerima nasib.

Kami tahu sebagian orang masih menganggap bahwa di instansi tempat suami bekerja kalau dapat penempatan jauh dari pulau Jawa apalagi di pelosok maupun di ujung negeri adalah suatu hukuman dari orang-orang buangan. Beruntungnya kami berdua khususnya suami tak pernah berpikiran seperti itu. Walaupun mungkin sarana dan prasarana di luar Jawa tak seperti di Jawa sana, bagi beliau yg selalu berpikiran positif, penempatan luar Jawa justru orang-orang terpilih yang ditakdirkan menikmati dan mengenal Indonesia dari sisi lain selain homebase dan pulau Jawa. Pilihannya ya cuma dinikmati dan disyukuri. Sebagai istri, orang terdekat yang punya peran penting menjaga dan merawat semangat dan optimisme kerja suami, saya pun tak pernah mempermasalahkan harus menemaninya di luar Jawa apapun kondisi di sana. Saya bertekad senantiasa mendampinginya di suka maupun duka.

Hari-hari menjadi istri abdi negara di Banda Aceh saya lalui dengan bahagia, saya yang sebelumnya juga merantau tak merasa kesulitan beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Keramah-tamahan dan pesona alam di Banda Aceh membuat saya langsung betah. Saya jadi ingat kata almarhum bapak “jika punya kesempatan merantau, merantaulah Nduk. Berada di kultur yang berbeda-beda akan memberimu banyak pengalaman terutama kemampuan bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan baru”.

Tiap pagi saya rutin membawakannya bekal sarapan ke kantor dan siangnya beliau menyempatkan pulang makan siang bersama di rumah kontrakan yang kebetulan dekat dengan kantor. Salah satu cara saya mendukung beliau adalah dengan memberikan asupan gizi yang cukup biar kerjanya semangat. Rutinitas nyiapin bekal alhandulillah masih istiqomah sampai sekarang. Sorenya setelah pulang kerja biasanya kami habiskan menikmati keindahan alam Serambi Mekkah. Bisa dengan menikmati sunset di pinggir pantai Ulee Lheue, atau ikut komunitas OTAP (orang tua asuh penyu) melepas liarkan tukik di pantai Lhok Nga. Dan di akhir pekan biasanya kami habiskan untuk menjelajah Banda Aceh dan sekitarnya. Selama di sana saya sudah diajak suami berkeliling menjelajah seluruh Banda Aceh, Bireun, Sabang, Meulaboh sampai ke Takengon.

Sampailah di hari-hari kami dicukupkan oleh Allah SWT tinggal di Banda Aceh karena suami mendapat rejeki tugas belajar diploma D4 STAN dan kami berdua hijrah ke Bintaro. Sungguh berkesan dan banyak kenangan indah serta teman-teman baik yang sudah seperti keluarga sendiri di sana.  Rasanya sedih sekali meninggalkan Banda Aceh. Banda Aceh, kota yg telah mengubah hidup suami saya dari yang awalnya ikut berpola pikir bahagia itu tetap dalam pulau Jawa kini berubah jadi bahagia tetap dalam jiwa.

Life must go on, kami pamit meninggalkan Banda Aceh dan sejuta kenangannya untuk menyambut kebahagiaan dan rezeki di tempat baru. Ternyata sisi positifnya punya suami yang sedang tugas belajar adalah banyaknya waktu kebersamaan. Bukan cuma akhir pekan, tapi juga saat tak ada jadwal kuliah. Benar-benar dimanjakan dengan kemewahan waktu. Alhamdulillah rejeki kami saat itu juga saya ternyata hamil lagi dan anak pertama kami lahir di Bintaro. Walaupun suami kuliah dan saya bisa tinggal di kampung halaman atau sering mudik, tapi saya tetap memilih mendampinginya di Bintaro.

“Maunya penempatan mana setelah aku lulus D4?”, tanya suami suatu ketika. “Di mana pun asal kita bersama”, jawab saya singkat. Tanpa ekspektasi apa-apa dan berdoa kepada Allah yg terbaik buat suami. Ternyata suami ditakdirkan menjemput rejeki berikutnya di kota Jakarta usai lulus tugas belajar. Saya senang karena tidak harus bawa barang banyak untuk pindahan dan nyari-nyari tempat tinggal lagi. Bagi sebagian orang menganggap Jakarta adalah kota yang perlu dihindari karena macet dan polusi, tapi bagi kami tetap saja menyenangkan, banyak yang masih perlu kami syukuri daripada kufuri.

Sejak bekerja di Jakarta, suami relatif lebih sering dinas luar kota daripada dulu saat bertugas di Banda Aceh. Saya pun mulai terbiasa sering ditinggal hanya bersama anak di rumah. Mengganti tabung gas, mengangkat galon air minum atau kadang benerin pompa air pas diperlukan yang dulunya sangat jarang saya lakukan jadi biasa saya lakukan saat ditinggal suami dinas luar kota. Saya belajar jadi istri yang lebih mandiri dan tangguh.

Paling anak yang agak rewel kalau bapaknya sering-sering dinas luar kota. Tapi tiap ada waktu luang suami sering video call kami berdua biar nggak terlalu kehilangan waktu kebersamaan. Saya selalu mengajarkan pada anak saya yang memang baru berusia 3 tahun untuk ikut juga menghormati dan mengerti resiko pekerjaan bapaknya. Terkadang, kalau memang tugas di luar kotanya tidak terlalu padat suami pun mengajak kami serta. Tentu saja dengan biaya pribadi. “Biar tidak bosan kalian tak tinggal terus. Sekalian refreshing”, begitu seloroh suami.

Saat ini memang baru setengah windu saya membersamai suami. Mungkin masih belum banyak merasakan asam garam. Tapi saya percaya bahwa istri dan keluarga punya peran penting dalam menjaga optimisme kerja suami sebagai pegawai DJP. Salah satunya dengan tak gampang mengeluh dan suka protes kalau suami sering tugas luar kota atau lembur dan selalu siap ketika mutasi sewaktu-waktu tiba, tentu suami akan lebih tenang bekerja. Namanya saja abdi negara, ketika negara memang membutuhkannya para abdi ya harus totalitas bekerja untuk negara kan?

Saya pun  percaya, istri dan keluarga juga punya andil dalam hal pencegahan korupsi. Tiap berangkat kerja saya selalu pesan ke suami untuk meniatkan kerja sebagai ibadah, mencarikan kami rejeki yang halal agar apa yang kami makan dan lakukan sekeluarga selalu membawa keberkahan.

Saya dan suami sama-sama berprinsip, bahagia dan rejeki ada di mana-mana. Kami selalu berusaha berprasangka baik sama Allah. Bisa jadi tempat yang paling kita hindari justru akan jadi tempat yang paling membahagiakan. Bagi kami rumah atau home base bukanlah melulu soal tempat, melainkan lebih banyak tentang hati. Ya, home is where our heart is. Selama kasih sayang masing-masing menjadi support system keluarga, kami yakin kami akan bahagia, dimanapun tempatnya. Karena bahagia, ada di dalam jiwa. Tak melulu tentang Jawa.