7 Alasan Berwisata Seru Bersama Anak di Rangkasbitung


Kalau ada satu kota kecil tak jauh dari Jakarta yang saya rekomendasikan sebagai tempat berwisata bersama anak, itu adalah Rangkasbitung. Emang ada apa sih di Rangkasbitung? Apa serunya jalan-jalan bawa anak ke sana?

Sebelum saya jelaskan 7 alasan kenapa Rangkasbitung adalah tempat yang asyik untuk berwisata bersama anak, mari kita kilas balik sebentar. Rangkasbitung sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda dan dari tahun 1849 sampai sekarang menjadi ibukota Kabupaten Lebak. Rangkasbitung selama ini identik dengan ketertinggalan. Padahal jaraknya hanya 2 jam perjalanan berkereta dari Jakarta. Walaupun terkesan tertinggal, tapi nama Rangkasbitung cukup dikenal. Tak lain karena seorang Belanda bernama Eduard Douwes Dekker alias Multatuli yang pernah menjadi asisten residen di Rangkasbitung pernah menulis kisah penderitaan kaum pribumi yang sempat menyebabkan kegaduhan pada Pemerintahan Hindia Belanda. Karyanya, Max Havelaar, hingga kini tetap abadi.

Menyadari kelebihannya sebagai tempat bersejarah, saat ini Rangkasbitung mulai berbenah. Saya yang beberapa waktu lalu ke sana pun merasa gembira melihat suasana kota kecil ini. Ambience kotanya santai, tak terburu-buru seperti Jakarta. Sepi namun hangat. Tak berjubel dan panas seperti Jakarta. Dan yang pasti, saya menemukan 7 alasan Rangkasbitung adalah tempat yang seru untuk berwisata bersama anak. 

Stasiun Rangkasbitung

Stasiun Rangkasbitung

1. Naik Kereta Api Commuter Line

Saya belum pernah tahu ada anak yang tidak senang sama kereta api. Hampir setiap anak yang saya kenal selalu suka dengan kereta api. Tak terkecuali Bara, anak saya. Benda apapun di rumah, kalau dipakai main oleh Bara, selalu jadi kereta api.

Nah, pas sekali kalau ngajak anak berkereta api ria di akhir pekan ke Rangkasbitung. Ya, moda transportasi andalan dari dan ke Rangkasbitung sejak dulu adalah kereta api.  Tercatat dalam sejarah, jalur kereta dari dan ke Rangkasbitung sudah ada sejak tahun 1901. Dan saat ini, KRL Commuter Line melayani perjalanan ke Rangkasbitung sejak 1 April 2017 lalu.

Naik KRL ke Rangkasbitung menjadi pengalaman berbeda bagi saya dan Bara. Kalau biasanya kalau naik KRL di sekitaran Jakarta pemandangannya didominasi oleh simbol-simbol modernisasi beserta ironinya seperti jalan tol, gedung pencakar langit, atau deretan pemukiman kumuh di sepanjang rel, kami tak banyak menemukan itu sepanjang perjalanan ke Rangkasbitung. Yang ada malah pemandangan sawah hijau, perbukitan di kejauhan, dan hewan ternak yang asyik mengenyangkan diri di padang rumput.

Satu-satunya kendala naik kereta api ke Rangkasbitung di akhir pekan adalah penuhnya kereta. Solusinya, kami tak langsung naik kereta api jurusan Rangkasbitung. Tapi kami naik dulu yang jurusan Parungpanjang atau Maja. Biasanya lebih sepi dan bonusnya malah bisa jalan-jalan di banyak stasiun. 

Becak Rangkasbitung

Selfie di atas becak

2. Naik Becak Keliling Kota

Becak saat ini sudah sangat jarang ditemui di ibukota. Bahkan mungkin malah sudah tiada. Tapi di Rangkasbitung, alat transportasi roda tiga ini masih cukup banyak beroperasi. Dan anak-anak tentu saja senang diajak naik becak.

Beberapa kali berkunjung ke Rangkasbitung, saya selalu mengajak Bara naik becak. Alih-alih naik angkot atau ojek yang berserakan di pintu keluar stasiun Rangkasbitung, saya lebih memilih naik becak. Jarang ketemu becak soalnya. Cukup dengan 15-20ribu rupiah sudah bisa mengantar ke Alun-alun Kota Rangkasbitung.

Naik becak menjadi satu pengalaman yang seru bagi Bara karena tak setiap hari dia bisa naik becak. Sepanjang perjalanan ia tak berhenti bertanya. Karena becak jalannya  cukup lambat, kesempatan itu saya pakai sambil bercerita tentang becak, tentang suasana sekitar atau sambil bernyanyi lagu Becak berulang kali. 

Alun-alun Rangkasbitung

Serunya bermain di alun-alun Rangkasbitung

3. Bermain di Alun-alun Rangkasbitung

Walaupun terlihat tak padat pengunjung, ternyata alun-alun Rangkasbitung ini di luar dugaan saya. Selain areanya yang cukup luas untuk beraktivitas, ada beberapa aktivitas seru yang bisa dilakukan anak-anak di sana.

Di sisi barat alun-alun terdapat persewaan mobil remote control yang bisa dinaiki anak-anak. Ada pula motor kecil yang bisa dikendarai sendiri oleh anak-anak dan becak kecil yang bisa disewa. Karena Bara belum bisa naik sepeda atau motor dan saya ogah capek kalau genjot becak, pilihan terbaik adalah sewa mobil remote control. Bara tinggal duduk dan saya mengikutinya dari belakang sambil menavigasi mobilnya menggunakan remote control.

Alun-alun Rangkasbitung terletak tepat di depan Masjid Agung Al A’raaf, masjid kebanggawan warga Rangkasbitung. Di sana juga terdapat penjaja makanan kecil yang dapat dinikmati warga sambil bersantai di bawah rerindangan pohon atau di sebuah aula outdoor yang tersedia di sana. 

Museum Multatuli depan

Museum Multatuli dari depan

4. Belajar Sejarah di Museum Multatuli

Sejarah Rangkasbitung tak bisa lepas dari Multatuli, nama pena seorang Belanda bernama Eduard Douwes Dekker. Berkat dialah Rangkasbitung dikenal dunia. Dikenal karena sejarah ketidakadilan yang diterima oleh pribumi akibat perlakuan kolonial Belanda. Multatuli, walaupun seorang Belanda tapi ia terusik hatinya dengan hal tersebut. Lewat karyanya yang berjudul Max Havelaar, ia mengisahkan kesewenangan kolonial Belanda dan kesengsaraan rakyat Rangkasbitung saat akhir abad ke-19.

Dan rasanya sangat tepat pemerintah membangun Museum Multatuli di sana. Biar orang biasa seperti saya lebih mudah belajar sejarah. Bercerita ke anak tentang sejarah pun jadi lebih seru. Koleksi museumnya juga cukup lengkap menggambarkan peristiwa selama Multatuli berada di Rangkasbitung serta dampak dari Max Havelaar bagi rakyat Rangkasbitung secara khusus dan Banten secara umum.

Museum Multatuli

Suasana di Museum Multatuli

“Ini siapa Pak?”, tanya Bara saat melihat wajah Mulatuli yang terpampang besar di ruangan museum. Ïni Multatuli. Dia penulis. Bara mau jadi penulis?”, jawab saya. “Bara gak bawa pulpen kok ke sini. Gak bisa nulis sekarang”, jawabnya polos. Ya, walaupun Bara memang baru 4 tahun dan pasti belum mengerti juga tentang Multatuli, tapi saya tetap menjelaskannya. 

Saya sangat terkesan dengan Museum Multatuli karena tempatnya ramah anak. Halamannya luas dan adem, banyak pepohonan di sana. Meskipun bisa dibilang ruang koleksi di dalam museum tak terlalu luas. Eh, tapi saya mau membuat pengakuan. Saya baru tahu kalau Eduard Douwes Dekker alias Multatuli itu berbeda orang dengan Ernest Douwes Dekker alias Setiabudi dari Museum Ini. Dulu jaman saya SD dikasih tahunya cuma nama Douwes Dekker saja, tanpa dikasih tahu nama depannya. Ssssttt.. diam-diam ya. Jadi malu saya kalau banyak orang tahu.

Perpustakaan Saija Adinda

Perpustakaan Saidja Adinda tampak depan

5. Membaca Buku di Perpustakaan Saidja Adinda

Perpustakaan Saidja Adinda terletak persis di samping Museum Mulatuli. Nama Sadija Adinda ini diambil dari nama tokoh fiksi dalam buku Max Havelaar. Walaupun tampak dari luar gedungnya terlihat megah dan unik, awalnya saya mengira kalau perpustakaan ini isinya membosankan dan tak menarik. Ternyata saya salah. Perpustakaan ini sangat menarik dan di luar ekspektasi saya, terutama saat memasuki ruang baca anak.

Ruang Baca Anak Perpustakaan Saija Adinda

Suasana ruang baca anak

Cukup banyak koleksi buku-buku anak di sana. Dari buku cerita dongeng, buku bertema pendidikan, sampai buku bertema agama pun ada di sana. Yang paling seru adalah sudut-sudut ruang baca anak dilengkapi sofa, sofa bed, dan kursi-kursi kecil yang membuat anak-anak betah berlama-lama di sana. Pantas saja saat saya datang ke sana banyak anak yang asyik membaca buku dan tenggelam dalam imajinasi.

Dan Bara, paling betah di sini. Tak mau pulang dia. Saya yakin anak-anak lain pun akan sama.

Imah Batik Sahate

Imah Batik Sahate

6. Mengenal Batik Lebak Lebih Dalam

Emang Lebak punya batik ya? Saya pun baru tahu saat ke Rangkasbitung. Itu juga tak sengaja. Saat jalan kaki di sekitar museum ternyata ada sebuah bangunan yang membuat penasaran yang terletak tepat di belakang museum. Imah Batik Sahate, begitu tetulis di papan namanya.

Batik Lebak

Batik Lebak

Imah Batik Sahate, selain tempat penjualan kain batik beserta beberapa jenis kerajinan batik lainnya juga adalah tempat pembuatan batik khas Lebak. Di sana bisa langsung melihat proses pembuatan batik. Motifnya sesuai dengan kearifan lokal daerah. Yang saya ingat adalah motif rumah adat baduy dan leuit atau gudang padi Baduy. Oh iya, batiknya cap ya, bukan tulis yang menggunakan canthing.

Lumayan seru juga lho bisa mengenalkan anak proses pembuatan batik cap di sini.

Mie Ayam Uun

Mie Ayam Uun

7. Kulineran Mie Ayam di Mie Ayam Uun

Ada yang berbeda dari Mie Ayam Uun dibanding mie ayam lain yang pernah saya makan sebelumnya. Yang pasti sih mie-nya lebih terasa mie gitu. Apaan coba? Hahaha.. Lebih kenyal, legit, pulen, lebih dan enaklah pokoknya. Dan yang istimewa, isi seporsinya banyak. Cukuplah untuk berdua. Tapi saking enaknya, porsinya banyak pun saya habis seporsi lho.

Letak warung Mie Ayam Uun ini tak jauh dari stasiun. Tepatnya di jalan RA Kartini. Kalau jalan kaki waktu tempuhnya paling tak lebih dari 10 menit. Tapi karena waktu itu saya ke sana sama Bara ya naik becak saja. Lebih seru dan sekalian bisa berbagi rejeki sama tukang becaknya.

Tak cuma saya, Bara pun suka mie ayam Uun. Pada dasarnya sih anak saya memang suka mie apapun itu. Tapi pas makan mie ayam Uun itu dia bisa habis setengah porsi sendiri.

Kalau main ke Rangkasbitung, wajib dicoba lho kulineran di Mie Ayam Uun.

Itulah 7 alasan seru berwisata ke Rangkasbitung bersama anak versi saya. Bagaimana,  sudah cukup membuat para orang tua penasaran dan ingin mengajak anak-anak main ke Rangkasbitung belum?