Refleksi Dua Windu Perjalanan, Sebuah Catatan Mudik Lebaran


Lebaran sudah tinggal beberapa minggu lagi. Sudah pada bersiap-siap mudik? Naik kendaraan pribadi atau umum? Tiket pesawat, kereta api, atau bis sudah di tangan? Atau mobil sudah dalam kondisi prima untuk yang mau mudik pakai kendaraan pribadi? Kalau saya sih pakai transportasi umum sudah punya tiket mudik dari beberapa bulan lalu dong.

Pesawat lepas landas di Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh

Cerita tentang mudik, saya sejak 2004 sudah tinggal jauh dari kampung halaman. Setiap tahun selalu mudik. Kalau dulu tahun 2004 – 2007, karena masih kuliah di Jakarta, mudiknya selalu pakai bis. Itu pun bisa jauh-jauh hari mudiknya. Tengah bulan puasa sudah di rumah karena biasanya pas liburan kuliah.

Tahun 2008, mudiknya mulai naik kelas, naik pesawat. Tahun itu adalah tahun pertama saya bertugas di Banda Aceh. Karena belum berpengalaman mencari tiket pesawat promo, saya mendapat tiket pesawat Garuda Indonesia Banda Aceh – Semarang PP seharga 4,8 juta rupiah. Relatif mahal untuk saat itu. Apalagi dengan penghasilan yang belum sebesar sekarang. Belajar dari pengalaman, tahun-tahun berikutnya mulai rutin menabung khusus untuk tiket lebaran sekaligus sering berburu tiket promo menjelang lebaran. Alhamdulillah, rekor tiket mudik lebaran termurah saya sebelum akhirnya pindah tugas ke Jakarta adalah 3,5 juta rupiah naik Garuda Indonesia rute Banda Aceh – Semarang PP.

6 kali mudik dan balik lebaran di bandara ini, Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh

Tahun 2014, mudiknya sudah bukan dari Banda Aceh lagi, tapi dari Jakarta. Pun sudah tak sendiri lagi, tapi bersama istri. Tahun itu kami harus lebih mengencangkan ikat pinggang karena kondisi penghasilan bulanan yang menurun karena status saya sebagai mahasiswa tugas belajar. Tahun itu kami mudik naik bis. Kebetulan saya dan istri berasal dari kampung yang sama, jadi mudiknya tak perlu membagi waktu. Sempat khawatir karena istri waktu itu sedang hamil 4 bulan, tapi alhamdulillah perjalanan lancar dan tak ada kendala berarti.

Tahun 2015 mungkin bisa dibilang lebaran paling drama bagi kami. Bukan, bukan tentang perjalanan mudiknya. Mudiknya sih menyenangkan. Mudik tahun 2015, kami sudah bertiga. Saya, istri, dan Bara, anak saya yang waktu itu berusia 6 bulan, mudik menggunakan moda transportasi pesawat. Dapat tiketnya juga murah hasil berburu dari Garuda Indonesia Travel Fair di JCC Senayan waktu itu. Tetapi sesampai di kampung halaman, drama dimulai karena beberapa hari menjelang lebaran, Bara opname di rumah sakit.

Untungnya drama tersebut tidak terulang di 2016. Tahun itu kami ingin merasakan mudik naik kereta api, yang tentu saja lebih hemat dibanding naik pesawat. Gimana tidak hemat wong saat itu Bara belum berusia 3 tahun. Jadi masih gratis tiketnya dan masih boleh dipangku. Beli 2 tiket kelas eksekutif, tinggal nidurin Bara di pangkuan kami saja sepanjang perjalanan.

Mudik naik kereta api berulang di tahun 2017. Tapi waktu itu kami tidak mudik bersamaan. Karena saat itu saya tidak mengambil cuti banyak, jadi biar istri dan anak saja yang lebih lama di kampung halaman, mereka mudik terlebih dahulu. Naik kereta api dari Jakarta sampai Semarang dijemput Mbah Kakung dan Mbah Utinya Bara baru lanjut ke Pati.

PhotoGrid_1558074632621[1]

Bara foto sama Pak Jokowi naik sepeda di Bandara Soekarno Hatta saat mudik tahun lalu

Dan tahun lalu, adalah mudik yang paling menyenangkan dan nyaman bagi kami. Niat awalnya sih mau naik kereta api lagi. Tapi, suatu pagi di awal tahun 2018, saya dapat kabar ada tiket pesawat promo dari seorang sahabat. Tanpa pikir panjang, langsung saya eksekusi tiket mudik untuk lebaran. Harga tiket 2,4 juta Jakarta – Semarang PP untuk bertiga! Gilaaa.. Murah banget kan?

Selain dapat tiket yang murah, hal lain yang menyenangkan adalah mudik tahun lalu kami mendarat di terminal Bandara Ahmad Yani Semarang yang baru. Walaupun bandara baru Semarang ini sangat nyaman, awalnya saya sempat khawatir dengan transportasi dari Bandara ke Terminal Terboyo. Waktu itu saya ingat sekali ada banyak keluhan tentang taksi Bandara di Ahmad Yani. Mulai dari tarif yang mahalnya tak masuk akal, sampai tak diperbolehkannya taksi lain untuk mengambil penumpang di area bandara. Untung saja waktu itu saya mencoba layanan taksi online bandara promo dari Traveloka. Saking terkesannya saya dengan layanan taksi online Bandara tersebut, saya pernah menuliskannya di twitter saya.

Tahun ini, insya Allah kami mudiknya kembali naik kereta api. Ya gimana lagi, mau naik pesawat harga tiketnya sudah tak terjangkau. Tahu sendiri kan akhir-akhir ini harga tiket pesawat mahal sekali. Bagi saya, mudik lebaran adalah kewajiban tahunan. Mudik lebaran adalah manifestasi bakti kepada kedua orang tua. Lebaran adalah waktu istimewa untuk mempererat silaturahim dengan keluarga, saudara, kerabat, dan para sahabat.

Dan mudik lebaran bagi saya memang harus selalu direncanakan secara finansial. Saya belum pernah mudik lebaran beli tiketnya mendadak. Karena pengeluaran untuk tiket mudik lebaran adalah pengeluaran rutin tahunan, saya pun selalu mengalokasikan penghasilan dengan cara menabung tiap bulan. Misalnya untuk tahun ini saya membatasi budget maksimal harga tiket pesawat untuk mudik pergi pulang kami bertiga adalah 5 juta rupiah. Dan rupanya tahun ini budget segitu tak cukup untuk beli tiket pesawat, cukupnya untuk beli tiket kereta api saja.

photogrid_15580737047734943074206218830945.jpg

Mudik naik kereta Argo Bromo Anggrek

Nah, itu cerita mudik saya. Ternyata sudah lama juga ya saya melakoni tradisi mudik lebaran ini. 15 tahun! Tahun ini tahun ke-16. Dari yang tadinya masih kuliah, kemudian kerja, masih single, berdua sama istri, sampai sekarang sudah bertiga bersama anak. Dari Jakarta, Banda Aceh, kemudian Jakarta lagi, dan entah dari mana lagi tahun-tahun mendatang kami berangkat mudiknya. Times passes quickly. Bagaimana cerita mudik teman-teman? Semoga mudik tahun ini lancar semuanya ya. Selamat mempersiapkan mudik.