St. John Hill, Jejak Perjuangan Aceh Melawan Penjajah di Negeri Jiran


Mata saya terpaku pada sebuah titik di peta kucel yang sudah beberapa hari saya bawa kemana-mana. Sudah sejak hari pertama berada di Melaka titik bertuliskan St. John Fort di luar bagian kotak peta Melaka Heritage Site membuat saya penasaran. Biasanya sebuah benteng berada di dekat perairan seperti laut atau sungai. Namun, kenapa St. John Fort yang saya tilik di peta berada cukup jauh dari laut dan berada di atas bukit? Itulah satu pertanyaan yang menyembul dalam pikiran saya.

St. John Hill

Hari itu hari terakhir saya berada di Melaka, dan saya berniat untuk menuntaskan rasa penasaran saya dengan mengunjungi St. John Fort. Pagi baru saja tiba dan aktifitas warga Melaka pun baru saja dimulai. Saya bersama seorang kawan menyusuri riverwalk di tepian Sungai Melaka, berbelok menuju Stadhuys, menapaki Jalan Kota menuju A Famosa, kemudian berbelok ke kanan menyisir Jalan Parameswara. Di ujung Jalan Parameswara, saya berbelok ke kiri menjejaki Jalan Bukit Senjuang. Nah, di penghabisan Jalan Bukit Senjuang itu saya temukan sebuah jalan kecil menaiki bukit. Di puncak bukit berdiri dengan gagahnya, St. John Fort. Perjalanan sekitar 3 km dengan berjalan kaki yang saya tempuh selama hampir 30 menit membuat saya lumayan ngos-ngosan. Apalagi ditambah dengan teriknya matahari pagi itu.

Saya berhenti sejenak di bawah bukit. Sekedar melepas lelah sebelum melanjutkan menanjak jalan beraspal mulus menuju puncak bukit. Dua orang lelaki paruh baya lengkap dengan pakaian olahraga dan handuk tersampir di lehernya, berlari kecil menuruni bukit. Kami pun bertukar senyum. Memang, bukit yang sering juga dikenal sebagai Senjuang Hill atau St. John Hill ini nampak cocok sekali untuk olahraga ringan seperti jogging atau bersepeda. Di sebelah kiri dipenuhi dengan pepohonan rindang sedangkan sebelah kanan terdapat tembok pembatas lereng bukit. Suasananya sangat adem. Terik sang Surya yang tadinya cukup ganas, terbendung oleh rimbunnya dedaunan.

Sesampai di ujung jalan beraspal, terdapat undakan menuju puncak bukit. Saya meniti satu per satu anak tangga sampai berada di depan pintu masuk St. John Fort. Di sisi kanan tangga, berdiri beberapa papan penjelasan mengenai sejarah St. John Fort ini. Berdasarkan yang saya baca di sana, pada jaman pendudukan bangsa Portugis di Melaka, di Senjuang Hill ini berdiri sebuah chapel milik Portugis yang kemudian dihancurkan oleh tentara Aceh sekitar tahun 1628 dan 1629. Setelah Portugis hengkang dari Melaka, bangsa Belanda yang menguasai Melaka berikutnya membangun sebuah benteng yang hanya memiliki satu pintu dengan dinding luar setinggi 10-12 kaki, yang tidak lain adalah St. John Fort ini. Benteng yang dibangun pada tahun 1760 dengan menggunakan bahan batu laterit dan batu bata ini mempunyai peranan penting bagi Belanda untuk mematahkan serangan dari setiap musuh. Setiap usaha penyerangan oleh musuh, terutama oleh bangsa Bugis dan Aceh dapat dengan mudah dideteksi oleh Belanda. Belanda tidak pernah takluk oleh siapapun di sini sampai pada tahun 1824 Belanda dikalahkan oleh Inggris. Dan setelah dikuasai Inggris, benteng ini tidak digunakan sebagai tembok pertahanan lagi seperti halnya Belanda. Seusai membaca penjelasan tersebut, pikiran saya melayang pada pertempuran tentara Aceh dengan Portugis dan Belanda di sini. Satu pertanyaan lagi muncul, mengapa tentara Aceh menyerang Melaka pada waktu itu?

Di dalam benteng (sisi yang menghadap laut)

Berbarengan dengan saya mencapai anak tangga teratas, seorang pemuda yang dari awal saya amati sedang melakukan suatu ritual yoga di pintu benteng menghentikan aktifitasnya dan bersiap untuk pergi. Sayang, pagi itu pun saya tidak berkeinginan untuk bercakap-cakap dengan orang lain. Jadi, saya diam saja tanpa menyapanya. Saya hanya ingin menikmati jejak sejarah ini sambil menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi pada masa lalu di benteng ini.

Memasuki benteng, saya melihat tujuh buah meriam berjejer rapi yang sebagian besar menghadap ke daratan di bagian selatan. Memang dari dalam benteng, saya pun bisa melihat selat Melaka dan panorama kota Melaka di bagian barat. Namun, hanya sebagian kecil meriam yang menghadap ke sana. Ini menunjukkan bahwa Belanda lebih berkonsentrasi untuk menghadapi serangan musuh dari darat. Menurut sebuah artikel yang saya baca, Belanda pada saat itu lebih takut dengan serangan darat tentara Aceh dan Bugis daripada serangan laut.

Saya tidak berlama-lama berada di benteng yang dijadikan sebagai situs bersejarah di bawah deklarasi Melaka sebagai warisan dunia ini. Hari semakin siang, dan saya pun harus meninggalkan Melaka sebelum waktu dzuhur. Sebelum saya kembali ke kota, dua orang turis Jepang datang ikut menikmati panorama bukit ini.

Di dalam benteng (sisi yang menghadap daratan)

Hari-hari berlalu setelah kunjungan saya ke Melaka. Saya pun larut dalam pencarian jawaban dari pertanyaan saya. Dalam artikel-artikel di internet saya dapati tidak ada yang menjelaskan secara detil mengenai penyerangan St. John Hill oleh tentara Aceh. Namun yang pasti dalam beberapa artikel menyebutkan bahwa kekalahan kerajaan Melaka dan pendudukan bangsa Portugis di Melaka pada tahun 1511 menyulut kemarahan beberapa kerajaan Islam yang berada di sekitar Melaka. Selain Aceh dan Bugis, tentara kerajaan Kalinyamat dari Jepara, tentara kerajaan Demak, dan tentara kerajaan Johor juga tercatat pernah menyerang Portugis di Melaka. Aceh sendiri beberapa kali menyerang Portugis di Melaka, yaitu pada tahun 1537, 1567-1568, 1571, 1615-1616, dan 1628-1629. Hampir semua serangan Aceh bisa dipatahkan oleh Portugis. Penyerangan tentara Aceh pada 1628-1629 yang pada waktu itu kerajaan Aceh berada di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, bisa dikatakan cukup berhasil. Dalam sebuah artikel yang saya baca, pada masa itu Aceh bisa menguasai St. John Hill dengan menghancurkan sebuah chapel yang dibangun Portugis dan menggunakan bukit ini sebagai basis untuk menyerang Portugis yang berlindung di balik A Famosa Fort. Bahkan, pada masa itu Aceh sempat menguasai Melaka selama 8 bulan. Namun penguasaan Aceh selama 8 bulan di Melaka itu tidak pernah dibahas dalam buku-buku sejarah Malaysia. Sedangkan di artikel lain menyebutkan, tentara Aceh pada masa itu kalah telak melawan Portugis dengan hancurnya kapal-kapal perang dan 19.000 orang pasukan. Mana yang benar? Saya lebih memilih untuk mempercayai bahwa kekalahan telak tentara Aceh tersebut terjadi setelah pendudukan Aceh di Melaka selama 8 bulan.

Lalu mengapa Aceh menyerang Portugis di Melaka pada masa itu? Dalam sebuah artikel yang saya baca, Portugis mengakui bahwa Melaka adalah lokasi yang sangat penting dan strategis.  Bukan strategis untuk perdagangan, namun strategis untuk lokasi basis penyerangan Portugis ke Jawa. Dan mengapa Jawa? Karena Jawa dianggap sebagai ancaman serius oleh Portugis yang pada waktu itu berambisi menjual rempah-rempah ke Dunia Barat. Dan sepertinya memang Jawa sudah diincar oleh Portugis sejak lama.     Dengan adanya perang antar kerajaan di Jawa pada akhir abad 15 dan awal abad 16, Portugis melihat kesempatan untuk mendekati Spice Islands (saya yakin yang dimaksud adalah Kepulauan Maluku). Portugis menyadari bahwa tidak mungkin mereka bisa mendekati Jawa dari posisi mereka di Goa, India. Oleh karena itu, mereka memilih Melaka sebagai pusat militer untuk menyerang Jawa. Dan mengapa Portugis memilih menguasai Melaka? Tindakan bodoh dan bunuh diri seandainya mereka memilih menguasai Aceh atau Pasai, karena pada saat itu, Aceh dan Pasai adalah kerajaan yang sangat kuat.

Panorama Melaka dari St. John Hill

Dan tentu saja dalam artikel-artikel yang saya temukan, tak ada satu pun yang menerangkan secara jelas tentang alasan penyerangan Aceh ke Melaka. Mungkin karena Aceh terancam dengan penguasaan Portugis di Melaka. Mungkin karena keinginan Aceh untuk menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka. Mungkin pula karena Aceh berhasrat memperluas daerah kekuasaan setelah berhasil menaklukkan Pahang (sebagai penghasil timah pada waktu itu), maka melanjutkan ekspansi ke Melaka. Saya hanya mengira-ngira. Namun, mengutip dari wikipedia, “The conflicts between Aceh and Johor and Portuguese Melacca, as well as the numerous pepper-producing ports in the sultanate’s domain, were the main causes of the military conflict.”

Ah, apa pun itu, saya senang dengan kejutan di Melaka ini. Saya tidak menyangka akan menemukan secuil jejak sejarah Aceh di sana yang akhirnya membawa saya cukup dalam kembali ke abad 16 dan 17 mengenang perjuangan bangsa Aceh.

Sejenak saya merenung. Seandainya dulu antar bangsa, ras, suku, kerajaan, agama, dan segala bentuk perbedaan bisa saling menghargai, menghormati, dan memperlakukan sesama sesuai hak dan kewajiban yang manusiawi, saya rasa perang dan pertempuran tidak akan pernah ada. Dan, kalau saya pikir-pikir, ketamakan dan keinginan manusia untuk berkuasa, selalu memicu perang, pertempuran, dan konflik.

Referensi : 
About Melaka: History of Malacca 
Iskandar Muda 
Portugese Malacca 
St. John Fort 
Sultan of Aceh 
The port of Malacca was